Pages

Monday, June 14, 2010

Zal Dan Rudaba (3) - Persia

Sam adalah seorang Raja Muda dari Zabulestan. Kerajaannya yang kecil termasuk wilayah Per­sia. Dia berkewajiban membayar upeti kepada Raja Agung Persia. Dalam peperangan melawan Tur dan Salm, Sam termasuk jendral Persia yang gagah berani.

Kini musuh-musuh Persia sudah dikalahkan. Sementara kerajaan Persia beserta semua wilayahnya berada dalam ketenteraman.

Sementara itu permaisuri Sam yang cantik melahirkan seorang putera. Putera ini sangat ditunggu-tunggu kelahirannya. Namun, setelah putera Sam lahir, tidak ada seorang pun yang berani memberitahukan kelahirannya kepada Sang Raja. Sebabnya, tak lain karena si anak mempunyai kelainan dari anak-anak pada umumnya.

Putera Sam tubuhnya sama sekali tanpa cacat. Kulitnya bersih tanpa goresan sedikitpun. Anggota badannya lurus dan kuat. Kelak dia pasti akan menjadi orang yang kuat dan perkasa. Matanya hitam seperti mata ibunya. Yang lain daripada yang lain ialah rambutnya. Rambutnya putih, seputih rambut orang tua berumur lima puluh tahun atau lebih.

Permaisuri menangis melihat rupa anaknya yang aneh. Para dayang-dayang istana gemetar ketakutan. Selama tujuh hari tak ada yang berani mengatakan kepada Sam bahwa puteranya sudah lahir. Tapi akhirnya ada juga seorang yang memberanikan diri. Dia adalah seorang wanita tua pengasuh permaisuri. Dia sangat sayang kepada majikannya.

Dia berkata kepada permaisuri, “Kita tidak bisa menyembunyikan hal ini lebih lama lagi. Tentu akan timbul bencana kalau raja melihat sendiri. Lebih-lebih kalau dia tahu bahwa kita bermaksud menyembu­nyikan kenyataan ini, seakan-akan ini satu kenyataan yang memalukan. Tentu dia akan segera datang dan menanyakan keadaanmu, permaisuri tersayang! Jadi lebih baik kalau kita katakan saja apa adanya, sebelum dia melihat sendiri sebelum kita beritahu.”

Wanita yang tabah ini menghadap Sam. Da menghadap dengan muka cerah dan senyuman tersungging di bibir. Dia berlaku seolah-olah sedang mengabarkan berita yang paling menyenangkan.

Padahal sebenarnya hatinya berdegup kencang sekali. Dia hampir-hampir tidak kuasa mencegah supaya tangannya tidak gemetar.

“Bersukacitalah, wahai yang mulia raja,” katanya.

“Sebab Ormuzd memberkatimu, dan kau mendapat seorang putera. Dia sangat cantik. Dia merupakan bayi idaman setiap ayah. Tangisannya keras dan anggota badannya kuat. Kelak dia pasti menjadi seorang kuat dan prajurit perkasa. Pendeknya sebagai putera raja dia takkan mengecewakan….”

Sam melompat dari tempat duduknya. Dia bersorak dan tertawa gembira.

Si pengasuh melanjutkan kata-katanya dengan segera, “Dari kepala sampai ke ujung jari dia benar-benar tanpa cacat, yang mulia raja. Hanya ada satu hal yang berbeda dengan anak-anak yang lain…. yah, memang putera raja harus berbeda dengan anak-anak kebanyakan…. Anggota badannya laksana gading. Matanya hitam legam laksana sayap kumbang. Bibirnya merah laksana delima merekah. Tapi rambutnya putih laksana perak yang tak ternilai harganya, putih lak­sana sinar bulan, seputih salju yang menyelimuti puncak gunung. Puteramu benar-benar seorang putera yang paling cantik, yang mulia raja. Maka bersuka­citalah, dan panjatkan syukur kepada Ormuzd…”

Sedikit demi sedikit kening Sam mulai mengerut. Matanya mulai memancarkan kemarahan. Kata-kata wanita pengasuh terputus.

“Apa yang kaukatakan kepadaku, perempuan?” kata raja.

“Rambutnya putih laksana salju? Jangan bergurau denganku. Tak ada bayi baru lahir yang ram­butnya putih seperti salju.”

“Sungguh, yang mulia raja,” bisik pengasuh. ketakutan.

“Coba antar aku kepadanya. Aku akan menyaksikan sendiri keajaiban ini,” kata Sam.

Para dayang-dayang istana menyingkir sejauh-jauhnya waktu raja masuk ke kamar permaisuri. Hanya pengasuh tua yang berani berdiri di sisi tempat tidur. Raja menghampiri anaknya, yang berbaring di samping permaisuri. Permaisuri masih menangisi keadaan anaknya memang sesuai dengan yang dikatakan wanita pengasuh tua. Rambut si bayi memang putih.

“Kau menyuruhku berterimakasih kepada Ormuzd perempuan,” kata Sam akhirnya.

“Tapi anak ini bukan anugerah Ormuzd, Dewa Kebaikan. Ini pasti olok-olok yang keterlaluan dari Ahriman, Dewa Kejahatan. Dia ingin membuatku malu di muka semua orang…”

“Dari ujung ke ujung kerajaan Persia, orang akan mentertawakanku. Mereka akan membicarakan raja Zabulestan yang anaknya sudah tua pada saat dilahirkan. Lebih dari itu, siapa yang tahu, kelak anak ini akan menjadi makhluk jahat macam apa?”

Kemudian Sam berdoa, “Ya Ormuzd Yang Agung! Maafkanlah kalau aku salah, bertindak kejam atau keliru. Sebab aku bertindak menurut apa yang kukira benar. Aku akan menyingkirkan bayi pemberian Ahriman ini.”

Raja memerintahkan supaya anaknya segera di­bawa dari istana. Anaknya harus dibawa ke tengah padang pasir dan ditinggalkan supaya mati.

“Dengan demikian kita akan bebas dari kutukan Ahriman,” kata Sam.

Setelah berkata begitu dia pun menangis seperti permaisuri dan wanita-wanita lainnya.

Demikianlah, karena takut anaknya kelak men­jadi makhluk jahat kesayangan Ahriman, anak Sam yang berambut putih dibawa pergi dari istana. Bayi itu ditinggalkan di atas padang pasir, di kaki Pegunungan Elburz.

Bayi terbaring di atas tanah berbatu-batu. Sinar matahari yang sangat terik memanggang kulitnya.

Makin lama tangisannya semakin lemah. Tapi sebelum tangisannya terhenti sama-sekali, suaranya tertangkap oleh telinga burung raksasa Simurgh. Simurgh sedang melayang-layang di angkasa mencari mangsa. Telurnya sudah menetas semua. Kini anak-anaknya memerlukan daging empuk untuk makanannya.

Matanya yang tajam segera melihat bayi yang terbaring di tanah. Dia menukik dan menyambar si bayi. Kemudian bayi dibawanya terbang ke sarangnya.

Sarang si burung Simurgh di puncak Gunung Demavend, di puncak tertinggi Pegunungan Elburz. Si bayi dibawanya ke sana, untuk makanan anak-anaknya.

Namun anak-anak Simurgh tidak mau memakan makhluk yang aneh. Maka Simurgh pergi mencari mangsa yang lain. Kembalinya dia membawa bangkai anak rusa. Si bayi berbaring di tengah-tengah anak burung, seakan-akan salah satu dari mereka.

Simurgh memelihara anak Sam seperti anaknya sendiri. Dia memberinya makan daging rusa yang pa­ling empuk. Sementara anak-anaknya sendiri tumbuh menjadi besar, demikian pula anak Sam. Pada waktunya dia tumbuh menjadi anak laki-laki yang cakap. Kemudian dia menjadi laki-laki muda yang kuat dan tampan.

Rambutnya yang putih memanjang sampai sebatas pinggang. Dia bermain-main, berlari dan melompat di pegunungan dan di kaki bukit. Orang-orang yang melakukan perjalanan melalui padang pasir seringkali melihat sekilas makhluk aneh yang cantik. Mereka menyebarkan berita yang ajaib ini di Zabul atau kota-kota lain.

Suatu hari berita yang mengherankan ini sampai ke telinga Sam. Tadinya dia mengira bahwa anaknya sudah mati. Kini mendengar berita itu Sam berpendapat bahwa anaknya telah diselamatkan oleh Ormuzd. Dia segera memutuskan mau pergi ke Pegu­nungan Elburz. Dia ingin melihat dengan mata kepala sendiri, seperti apa rupa anaknya sekarang.

Dengan beberapa orang pengiring, Sam naik kuda ke padang pasir, ke kaki Gunung Demavend. Dari situ dia bisa melihat sarang Simurgh jauh di atas di celah-celah karang. Dia melihat burung raksasa bersama dengan seorang anak muda berambut putih.

Sam mencoba mendaki gunung. Tapi lereng gu­nung terlalu terjal. Berapa kali saja dicobanya, selalu gagal. Akhirnya dia putus asa.

Dia berdoa kepada Ormuzd, “Ya Dewa penguasa alam semesta! Yang kulihat benar-benar anakku. Kalau memang dia bukan makhluk kiriman Ahriman, perkenankanlah aku memeluk dan berbicara dengan dia.”

Setelah selesai berdoa, Sam menunggu jawaban doanya. Di atas sarangnya Simurgh melihat ke bawah de­ngan matanya yang tajam. Dengan kebijaksanaan yang ajaib, Simurgh tahu, siapa laki-laki yang ada di kaki gunung.

“Di bawah sana,” kata Simurgh kepada anak angkatnya.

“Berdirilah Sam, raja Zabulestan. Dialah ayahmu, yang meninggalkanmu di padang pasir supaya mati. Sekarang dia menyesal dan pergi mencarimu. Dia punya kasih sayang seorang ayah, sebuah kerajaan dan hidup secara terhormat. Semuanya akan diberikan kepadamu. Sebenarnya aku merasa berat sekali berpisah denganmu, sebab kau sudah kuanggap anakku sendiri. Tapi kau seorang manusia. Kau lebih cocok hidup di tengah-tengah manusia sebangsamu. Kini tibalah waktunya bagimu untuk meninggalkanku.”

Simurgh mengangkat si anak muda dengan cakarnya. Kemudian dibentangkannya sayapnya. Dia terbang ke kaki gunung menghampiri Sam.

Sam melihat anaknya. Dilihatnya dia sama saja seperti anak-anak muda lainnya. Bedanya hanya dia jauh lebih cantik, dan rambutnya putih. Tapi kini Sam melihat rambut anaknya sebagai perlambang kebersihan dari segala cacat. Dengan sukacita ayah dan anak saling berpelukan. Kemudian mereka keduanya menyampaikan terimakasih kepada Simurgh.

“Ini saat kita untuk berpisah,” kata Simurgh kepada anak angkatnya.

“Tapi sampai kapan pun kau tetap anakku, sama seperti waktu kau masih bayi dan tidak berdaya. Untuk masa-masa mendatang aku ma­sih tetap mencintai dan menyayangimu.”

Simurgh mencabut sehelai bulu sayapnya, diberikannya kepada anak Sam.

Dia berkata, “Kalau kau membutuhkan pertolonganku, bakarlah bulu sayapku ini. Aku akan tahu dan datang kepadamu, dimana pun kau berada.”

Sekali lagi Simurgh membentangkan sayabnya. Seperti awan hitam dia terbang kembali ke sarangnya, di batu karang tertinggi di puncak Gunung Demavend.

Sam mengajak anaknya pulang ke istana. Kemudian dengan suatu upacara meriah Sam memberi anaknya nama Zal. Dia juga menyatakan kelak, Zal akan menjadi pewarisnya.

Tidak antara lama Zal berhasil membuktikan bahwa dia jauh melebihi orang kebanyakan. Dia menjadi seorang yang gagah perkasa seperti ayahnya. Dia juga seorang penunggang kuda yang tak ada tandingannya.

Segera seluruh isi kerajaan Zabulestan menyayanginya. Dalam masa mudanya Zal banyak sekali melancong untuk mencari pengalaman. Dia bukan saja mengembara di dalam lingkungan kera­jaan kecil ayahnya, tapi juga ke seluruh wilayah Raja Agung Minucher.

Suatu hari Zal melalui kerajaan kecil Kabulestan. Dia bermaksud berhenti selama beberapa hari untuk beristirahat. Zal menyuruh para pengiringnya mendirikan tenda. Tenda didirikan di tepi sebuah sungai yang jernih airnya.

Kabulestan diperintah oleh Raja Mehrab. Dia juga berkewajiban membayar upeti kepada Raja Agung Persia. Tapi Mehrab keturunan Zohak. Zohak dikenal sebagai orang jahat, yang jiwanya disesatkan Iblis. Dia juga terkenal sebagai penyembah Ahriman.

Mehrab tidak menyayangi Minucher, sebab Feridun leluhurnya dulu yang mengalahkan Zohak. Tapi mau menentang Minucher dengan terang-terangan, Mehrab juga tidak berani. Dia hanya seringkali mencatut upeti kalau ada kesempatan. Itulah sebabnya maka Sam yang setia kepada Minucher merasa kurang senang kepada Mehrab.

Zal sendiri waktu berhenti di Kabulestan memilih tinggal di tenda. Dia menolak undangan Mehrab untuk beristirahat di istananya. Mula-mula Zal bermaksud tinggal di Kabulestan ti­dak lebih dari beberapa hari saja. Tapi kemudian Zal mendengar bahwa Mehrab punya anak perempuan yang sangat cantik. Anak Mehrab bernama Rudaba. Menurut berita, kecantikannya terkenal sampai ke mana-mana.

“Dia lebih bercahaya daripada matahari,” kata orang kepada Zal.

“Tubuhnya tinggi dan berdirinya tegak. Kulitnya pucat dan halus seperti gading. Rambutnya yang hitam panjang, sehitam .bulu burung gagak. Matanya seperti bunga narsis. Alis matanya seperti sepasang busur. Bibirnya delima merekah, dan senyumnya laksana surga.”

Zal sangat terkesan mendengar berita tentang Ru­daba. Dia belum ingin melanjutkan pengembaraan, sebelum melihat Rudaba barang sekilas.

Di seberang sungai terletak kota Kabul. Di situlah istana Raja Mehrab berdiri, dikelilingi taman yang meluas sampai ke tepi sungai. Zal berharap suatu hari Puteri Rudaba akan memetik bunga atau berjalan-jalan di taman. Maka Zal tinggal di seberang kota Kabul selama lebih dari sebulan.

Para dayang-dayang istana menceritakan apa yang terjadi di luar istana. Mereka menceritakan bahwa Zal sedang berkemah di seberang sungai.

“Zal adalah pangeran muda dari Zabulestan,” kata mereka kepada Rudaba.

“Dia dibesarkan oleh seekor burung. Kecantikannya tidak ada yang mengalahkan, walau pun rambutnya putih.”

Kata-kata dayang-dayangnya sangat terkesan pada hati Rudaba. Dia menanyakan kepada ayahnya, cerita mengenai Zal benar atau tidak.

“Benar, anakku,” kata Mehrab.

“Zal adalah seorang prajurit perkasa seperti Sam, ayahnya. Ketampanan wajahnya tak ada yang mengalahkannya, walau pun rambutnya putih. Warna rambutnya bahkan menambah ketampanannya. Aku tahu, sebab aku pernah melihatnya.”

Kata-kata ayahnya membuat Rudaba semakin gelisah. Kini setiap hari dia hanya memikirkan diri Zal. Setiap malam dia memimpikannya. Hal itu berlangsung sampai beberapa bulan.

Di antara dayang-dayang istana, Rudaba mempunyai budak lima orang gadis Turania yang cantik. Mereka pun setia kepada Rudaba. Suatu hari Rudaba membukakan rahasia hatinya kepada mereka. Dia yakin bahwa dia sudah jatuh cinta kepada Zal, walau­ pun dia belum pernah melihatnya.

“Puteri tersayang,” kata salah seorang gadis Tura­nia.

“Kau belum pernah melihatnya, tapi kau sudah jatuh cinta kepadanya? Lagipula, dia menolak undangan ayahmu untuk tinggal di istana. Dia jelas se­orang pangeran yang sombong. Lebih-lebih, belum pernah ada orang yang begitu lahir di dunia sudah tua dan berambut putih…. Maukah kau bersuamikan orang semacam itu? Kau cantik. Banyak pangeran lain di dunia yang lebih cocok untuk suamimu…”

“Bicaramu tidak keruan,” kata Rudaba.

“Bagaimana aku bisa mencintai orang lain, kalau hatiku sudah tertambat oleh Zal? Aku tidak minta Caesar dari Barat atau Minucher sebagai suamiku. Aku hanya minta anak Sam, yang kekuasaannya tidak melebihi ayahku. Apakah itu mustahil? Tentang warna rambutnya aku tidak peduli. Baik rambutnya hitam atau putih tidak ada bedanya. Pokoknya aku mencintainya.”

Kemudian Rudaba mulai menangis.

Melihat sikap Rudaba, kelima gadis tahu betapa besar cinta Rudaba kepada Zal. Mereka berjanji akan melakukan apa saja untuk mempertemukan Rudaba dengan Zal.

“Ya, lakukan apa saja untukku,” kata Rudaba.

“Aku akan berterimakasih dan berbahagia selama-lamanya.”

Keesokan harinya kelima gadis keluar dan pergi ke tepi sungai. Waktu itu sedang musim bunga. Bunga-bunga sedang bermekaran, sangat indah dipandang. Mereka mulai memetik bunga di seberang tenda Zal dengan pengiringnya. Mereka juga bergurau dan berteriak-teriak. Suara mereka sampai terdengar ke sebe­rang sungai.

Zal keluar dari tenda. Dia melihat ke seberang, dan melihat kelima gadis yang sedang memetik bunga.

“Siapakah mereka?” tanya Zal kepada pelayannya.

“Mereka adaiah budak kesayangan Puteri Rudaba, anak Raja Mehrab,” jawab pelayan.

“Mereka pelayan Rudaba, bukan? Hmm…. coba ambil busur dan anak panahku!” kata Zal.

Kemudian cepat seperti pikirannya, Zal memanah seekor itik liar yang sedang terbang di atas sungai. Itik jatuh ke se­berang sungai dengan anak panah menancap pada tubuhnya. Zal menyuruh seorang perajurit mendayung sampan ke seberang untuk mengambil itik.

Waktu prajurit sampai ke seberang, gadis-gadis Turania bertanya kepadanya, “Katakanlah, orang asing, siapa yang telah memanah itik? Bidikannya sangat tepat. Dan melihat rupa dan tindakannya, rupanya dia seorang bangsawan.”

“Memang dia seorang bangsawan,” jawab prajurit.

“Namanya Zal. Dia anak Sam, raja Zabulestan. Dia juga seorang yang tampan. Tak ada seorang pun yang mengalahkan kebagusan rupanya, baik pria mau pun wanita.”

Kelima gadis tertawa.

“Itu mustahil kawan!” seru mereka.

“Di istana Raja Mehrab hiduplah seorang yang kecantikannya tanpa tandingan. Namanya Puteri Rudaba.”

Prajurit menggelengkan kepala.

“Ah, tidak mungkin,” katanya.

“Siapa pun juga dia, tidak mungkin dia melebihi kecantikan Pangeran Zal.”

“Mari kita jajarkan mereka!” seru gadis-gadis Turania.

“Mari kita lihat, siapa yang lebih cantik. Majikanmu, atau majikan kami!”

“Mungkin Pangeran Zal satu-satunya orang yang cocok menjadi suami Puteri Rudaba,” kata salah seorang gadis.

“Baiklah itu akan kukatakan kepada Pangeran Zal,” kata prajurit.

Dia mengambil itik dan kembali mendayung sampannya ke seberang.

Setelah Zal diberitahu tentang apa yang dikatakan para pelayan Rudaba, dia sangat gembira. Dia segera menyiapkan segala-galanya untuk membuat perjalanan ke seberang. Dia mengumpulkan emas intan dan permata untuk hadiah bagi Rudaba.

Hadiah-hadiah dikirimkannya lebih dulu ke sebe­rang. Gadis-gadis Turania disuruhnya mengantarkan kepada Puteri Majikan mereka.

Rudaba menerima semua hadiah Zal. Dia mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan gadis-gadis Turania tentang apa yang mereka alami hari itu.

“Aku sangat berterimakasih kepadamu sekalian,” kata Rudaba.

“Sekarang berangkatlah kalian ke sebe­rang. Katakan kepada Pangeran Zal, bahwa aku ingin bertemu muka sendiri dengannya. Cepat berangkat! Tinggalkan saja dua orang untuk membantuku bersiap-siap menyambut kedatangannya.”

Ketiga gadis berangkat ke seberang. Mereka menyampaikan pesan Rudaba kepada Zal. Zal di­suruhnya pergi menemui Rudaba secara sembunyi-sembunyi setelah gelap nanti. Sementara itu dua orang gadis yang tinggal di istana membereskan tempat tinggal Rudaba, serta menghias beranda kamar Rudaba.

Zal menunggu dengan tidak sabar. Setelah kegelapan senja mulai turun, dia menyeberang sungai. Dia hanya ditemani beberapa orang pelayan untuk mendayung sampan. Gadis-gadis menunjukkan jalan menuju ke tempat tinggal Rudaba.

Rudaba melihat kedatangan Zal dari atas balkon. Setelah Zal dekat, Rudaba cepat-cepat menyambutnya, “Selamat datang, putera Sam yang terhormat…”

Tiba-tiba kalimatnya terputus. Setelah saat yang dinanti-nantikan tiba, tiba-tiba Rudaba menjadi pemalu. Dia tiba-tiba merasa malu akan kelancangannya. Zal menengadah melihat kepada Rudaba.

“Puteri yang lebih cantik daripada rembulan,” kata Zal.

“Aku sudah lama menunggu dengan hati gelisah, datangnya saat pertemuan ini. Maka terimalah salam sejahtera dariku!”

“Kau telah berjalan kaki dari tepi sungai, pangeran agung! Kau tentu lelah dan perlu istirahat. Naiklah ke sini. Lihat, inilah tangga untuk memanjat ke sini!”

Rudaba menjatuhkan jalinan rambutnya yang panjang dari balkon, seperti tali. Tapi Zal hanya mengangkat dan mencium ujung rambut Rudaba.

“Tidak,” kata Zal.

“Itu tangga yang terlalu rapuh. Lagipula aku tidak patut untuk memanjat dengan tangga tali rambutmu.”

Zal melemparkan seutas tali ke atas. Rudaba menangkapnya, terus mengikatkannya pada salah sebuah tiang kuat-kuat. Kemudian Zal memanjat tali. Sekejap kemudian dia sudah berada di sisi Rudaba.

Rudaba menggandeng tangannya, diajak masuk ke kamamya. Akhirnya mereka benar-benar bertemu. Mereka berpelukan dengan sangat mesra. Mereka berjanji akan hidup bersama, sehidup semati sampai akhir hayat mereka.

Raja Mehrab mendengar percintaan anaknya dengan Pangeran Zal. Dia sangat gembira. Dia menerima Zal sebagai suami Rudaba, sebagai menantunya. Namun Zal tahu bahwa ayahnya pasti takkan setuju dengan perkawinannya.

Raja Mehra keturunan Zohak. Lagipula, dia raja yang itikadnya tidak begitu dipercaya. Zal takut akan kemarahan ayahnya. juga khawatir tidak direstui Raja Agung Minucher.

Maka Zal kawin dengan Rudaba secara diam-diam. Hanya Mehrab dan beberapa orang penasihat istana saja yang mengetahuinya. Selama beberapa bulan Zal merahasiakan perkawinannya dengan Rudaba. Kelak Rudaba melahirkan anak Zal, seorang prajurit perkasa bernama Rustem.


Tamat

Lanjut ke RUSTEM PUTERA ZAL

No comments:

Post a Comment