Pages

Tuesday, June 22, 2010

Santa Agnes - Riwayat Santa

Pada permulaan abad keempat, didirikanlah di kota Roma sebuah gedung pusaka besar lagi indah. Gedung seindah istana itu, kepunyaan seorang bangsawan ternama di kota Roma. Telah berabad-abad lamanya pengaruh kaum bangsawan memegang peranan penting dalam kota. Tetapi, meski pun begitu, kehidupan keluarga bangsawan itu berlainan sekali. Mereka tidak pernah mengadakan pesta-pesta bagi umum, sebaliknya ia pun tidak pernah juga mengunjungi pesta malam. Lagi pula, segala sesuatu yang tampak di rumah bangsawan itu sederhana saja.

“Tentu karena kikirnya, si kaya itu tak mau berpesta!” kata orang-orang.

“Lihatlah, gedung besar lagi indah itu terbagi dua. Bagian yang kecil, didiaminya, sedangkan yang besar terlindungi tembok tinggi yang tebal dan selalu tertutup. Pastilah di situlah disimpannya kekayaan yang tak ternilai banyaknya!”

Syukurlah, persangkaan orang-orang itu tak benar.

Sebenarnya, karena keluarga bangsawan itu menginsafi, “Hidup berpesta, lambat laun membawa keruntuhan!”

Pun, sudah lebih dari seabad lamanya keluarga bangsawan itu membanggakan namanya sebagai Penganut Yesus Kristus.

Sayang, orang-orang itu juga belum pernah menyaksikan suasana tenang dalam rumah indah itu. Dan bagian yang tertutup, dipergunakan untuk bermacam-macam pekerjaan amal. Melalui pintu belakan, yang sakit, yang tua, yang miskin, yang terkutuk badannya, dapat minta pertolongan yang dibutuhkannya. Namun, ruang yang terbesar serta terindah selalu tersedia bagi Misa Kudus.

Satu hal boleh dikatakan kurang ialah, tak adanya seorang putera pun yang dapat mempertahankan dan tetap menjunjung nama mulia itu. Hanya Agnes, penghibur orang tuanya yang telah lanjut usianya.

Alangkah cantiknya lagi ramah tamah gadis itu. Pekertinya lemah lembut sesuai benar dengan tubuhnya yang elok itu. Budinya terang. Tak heran bila seisi rumah suka bergaul dengan Agnes.

Sejak dari kecil, Agnes dididik ibunya menurut kedua belas fasal kepercayaan Yesus Kristus. Dan Agnes, mencintai Kristus dengan sepenuh hati. Setiap hari makin tumbuh cinta yang halus lagi suci itu. Pada suatu hari, timbullah keinginan yang berkobar-kobar di dalam kalbunya. Setelah dipikirkan masak-masak, Agnes pergi kepada ayah bundanya. Dengan terus terang diuraikannya cita-citanya dan memohon izin.

Tidak hanya menyetujuinya, bahkan kepuasan dan kegembiraan membayang pada wajah orang tuanya. Berlangsunglah peristiwa yang mengharukan tetapi mulia ini.

Hari masih agak gelap ketika ruang yang luas itu setengah kosong sehabis Misa Kudus. Tak heran juga, karena waktu itu musim dingin dalam bulan Desember. Di atas meja altar lilin tinggal menyala.

Dari belakang terdengar lagu merdu, bunyinya, “Yesus, corona virginum” yang artinya “Yesus, mahkota para perawan”.

Saat itu pula beberapa lampu emas terpasang dan menyinarkan cahayanya yang lembut. Di sebelah altar, Imam Agung bersemayam menunggu dengan sabar.

Agnes berpakaian serba putih, bermahkota mawar putih, tampil ke muka. Berlututlah ia dihadapannya. Nyaring suaranya menggema dalam jiwa para hadirin.

Agnes sedang berikrar, “Atas Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Saya akan tetap serah setia kepada Yesus Kristus Tuhan kita. Diriku serta pribadiku semata-mata akan kuperuntukkan Kerajaan Ilahi saja. Atas Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.”

Kemudian sebagai tanda bahwa maksudnya bersungguh-sungguh, Agnes meninggalkan perhiasannya.

Upacara selesai. Imam Agung serta para hadirin telah pergi.

Agnes masih berlutut di tangga altar, tidak bergerak. Gadis itu seperti sudah melupakan segala sesuatu. Rambutnya serupa benang emas, berombak-ombak terurai di punggungnya hingga pahanya. Tangannya terkatup di dada, sedangkan matanya yang besar bulat itu, mengarah ke atas. O Agnes, sungguh molek engkau, boleh dikatakan malaikat duniawi yang sedang menyembah Pencipta semesta.

Matahari pagi mulai menampakkan diri, akan mengusir embun yang sedang mencair. Berkilau-kilauan bagai perak mencair mengalir dalam kelopak bunga yang tengah membuka diri. Seluruh alam memberi ucapan selamat datang kepada musim semi.

Tetapi tak ada waktu bagi kota Roma untuk mengarahkan perhatiannya dalam hal itu. Hanya siap sedia menyambut kesibukan sehari-hari.

Rumah Agnes pun tak ketinggalan, pintu gerbang di muka dan di belakang telah terbuka lebar-lebar.

Seorang pemuda masuk ke halaman muka. Pakaiannya indah, bertatahkan intan. Sikapnya gagah berani, nyata biasa bergaul dengan para bangsawan. Hanya pandang matanya yang gelisah itu, menimbulkan syak wasangka.

Tiba-tiba tampak oleh Agnes. Cepat gadis itu berjalan di antara rumpun bunga. Agnes hendak pergi ke gedung yang di kelilingi tembok tinggi itu. Bajunya putih dan amat sederhana. Meski jauh dari berhias, kecantikannya tidak berkurang. Tidak pucat karena kekurangan perhiasan. Malahan dalam keadaan yang bersahaja itu, Agnes yang muda lagi riang itu bertambah cantiknya.

Ketika dilihatnya pemuda itu, Agnes berhenti. Memang Agnes mengenalnya. Pada suatu hari, waktu Agnes mengunjungi saudara sepupunya, pemuda itu ada juga di rumah pamannya.

“Saya tidak sabar menunggu sampai hari siang, karena ingin mencatatkan namaku sebagai langganan rumah ini, “kata pemuda itu sambil mendekat.

Dan pandangan matanya menunjukkan kekurang ajaran.

“Rumah ini tidak membutuhkan langganan atau kehormatan tuan,” jawab Agnes dengan pendek.

“Maaf, rumah ini tentu dihormati karena penghuninya,” kata pemuda tadi pula.

“O ya, betul, kata tuan. Ayah selalu dihormati orang.”

“Tapi hormatku terhadap yang cantik. Kecantikan kupuja.”

Mata Agnes yang hitam terang lagi jernih diarahkan ke arah lain, ke langit! Sebab, itu juga kepada yang Tercantik, kepada yang dipuji oleh alam semesta.

“Sebab, itu juga kepada yang Tercantik, kepada yang dipuji oleh alam semesta, daku mempersembahkan jiwaku!” suara Agnes bagai berlagu.

Fulvius bingung, sulit benar pekerti Agnes! Sekonyong-konyong dia berlutut, hendak meraba tangan Agnes. Terperanjat pemudi bangsawan itu, surutlah ia ke belakang. Tak jauh dari tempat itu, lewatlah serdadu kawal.

“Jangan marah, tuan ini tersesat rupanya. Tunjukkan kepadanya jalan raya!” titah Agnes dengan halus. Lalu ia pergi!

Fulvius mengikuti serdadu itu. Pikirannya gelap bagai benang kusut.

“Biarlah, kini tak berhasil, tetapi meski bagaimana jua pun, pemudi bangsawan yang tercantik dan terkaya di kota Roma, harus menjadi mempelaiku atau……”

Tanah landai di sela-sela ngarai di sepanjang jalan raya yang menghubungkan kota Roma dengan daerah di sebelah timur, menarik perhatian musafir. Di tengah-tengah keindahan itu, kira-kira setengah jam perjalanan dari kota Roma, sebuah menara bundar putih membubung ke langit. Itulah Villa kecil, tempat di mana Agnes beristirahat untuk beberapa minggu lamanya.

Mendengar itu, Fulvius berniat akan mencoba sekali lagi. Dipilihnya berjenis-jenis permata, yang maha.

“Masakan Agnes tidak dapat terjerat melihat buah tangan ini!” pikirnya.

Ketika Fulvius tiba di villa itu, hari hampir senja. Dan pemandangan sekeliling makin indah rupanya.

“Saya datang dari kota, perlu bicara denga puteri Agnes,” kata Fulvius kepada penjaga pintu.

“Silahkan terus saja, puteri Agnes ada di serambi,” sahut penjaga pintu.

Sangkanya kabar itu dari ayah Agnes.

Agnes asyik mengarang bunga, sedangkan Molossus anjingnya tidur di tangga. Melihat Fulvius datang, Molossus menggeram. Tapi Agnes mengacungkan telunjuknya dan Molossus diam pula. Sementara itu Fulvius sudah berdiri di samping Agnes. Hormat bercampur berani, Fulvius yakin akan menang, nampak dalam matanya.

“Dewi mulia, saya datang ke sini akan mengulangi permintaan saya. Maka hari ini boleh dikatakan cemerlang bagi saya.”

“Memang begitu adanya setiap hari, sesudah aku terikat seuatu perjanjian suci,” jawab Agnes sambil tersenyum simpul.

“Janganlah dewi mempermainkan seorang yang bermaksud murni!”

Dengan tenang Agnes menentang mata Fulvius.

Gadis itu bangkit, raut mukanya berubah memerah bercampur muram, “Pergilah dari sini. Hatiku telah tertambat pada Mahamurni yang tak akan mengusik ketenteramanku.”

Muka Fulvius memucat marah. Lupa dia akan buah tangan yang telah dibawanya. Tegak berpaling, dia mendekatinya.

Sekonyong-konyong berhenti pula, memalingkan mukanya dan berseru, “Puteri angkuh, saat ini tak akan kulupakan. Rasailah pengaruhku dan dendamku kelak!”

Dari jauh kedengaran bunyi langkah kuda makin lama makin mendekat. Dengan cepat Fulvius pergi, makin jauh ke arah jalan yang gelap.

“Ayo Molossus, kita mendapatkan ayah bunda. Tentu telah tiba kini!” kata Agnes dengan riang pula.

Sebagai seorang mata-mata kaisar Roma, Fulvius termasuk orang yang giat. Namun semenjak pertemuan terakhir ini, usahanya istimewa benar. Kaisar Diocletianus bertabiat kejam dan setiap hari dihasutnya.

Diocletianus percaya pada para penghasut. Sangka baginda, lama kelamaan penganut Sang Kristus akan merobohkan takhtanya. Sebab itu baginda benci kepada penganut Tuhan Yesus Kristus. Maka, barang siapa yang dapat mengadukan para penganut itu, dianugerahi baginda luar biasa.

Fulvius menimbang dengan sabar lagi teliti. Yang disebut Agnes, Tercantik dan Mahamurni, siapa lagi, jika bukan Sang Kristus? Ya, Fulvius yakin seisi istana bangsawan itu niscaya penganus Sang Kristus. Namun, buktinya harus ada! Kelelahan tak dirasakan, asal saja dapat menyelidiki hal itu. Nanti, bila segala-galanya sudah jelas, dia akan melepas panahnya.

Pada suatu pagi tersiarlah kabar, Agnes dihukum! Para bangsawan di kota Roma terkejut.

“Agnes pun seorang penganut Sang Kristus?” tanya seorang.

“Mustahil, salah sangak!” kata seorang lagi.

“Dan meski pun begitu, apa bahayanya?” membantah seorang lain.

Ke mana Agnes dibawa, tiada yang tahu.

Agnes menjalani hukuman yang berat. Hukuman untuk menggoncangkan dan merusak kemurniannya. Tetapi laksana menara gading yang putih bersih, tak gentar menghadapi segala daya musuhnya. Bahkan kesuciannya memancarkan ketabahan hati yang dapat menjengkelkan hati lawannya. Sehingga jaksa-jaksa busuk itu akhirnya memberi putusan lain, hukuman mati!

Pada waktu yang sudah ditentukan, penuh sesak penonton yang akan menyaksikan pelaksanaan hukuman itu. Di atas onggokkan kayu, Agnes berdiri. Badannya yang ramping lampai, seperti sudah lepas dari dunia ini, menantikan saat yang terakhir. Tangannya terkatup, bagai menyembah. Matanya melayang ke langit.

Agnes berdoa, “Saya mengucap syukur Bapa Yang Maha Kuasa, saya ingin memuji namaMu selama-lamanya.”

Nyala api mulai tampak, makin lama makin tinggi. Agnes tidak bergerak, anmpaknya tidak merasakan panas api itu.

“Hai!”

“Aduh!”

“Lihatlah!” begitu teriak orang menyela bunyi kayu api yang sedang terbakar.

Apa yang terjadi? Nyala api tadi seolah-olah ditiup oleh tenaga gaib, yang mengubah arahnya. Menjilat-jilat ke luar, hingga mengenai beberapa orang yang berdiri dekat onggokan itu.

Karena gempar, terpaksa api dipadamkan lagi. Agnes belum kena sedikit jua pun. Sekarang Agnes dibawa ke penjara dan ditutup dalam sel kecil, hingga surat keputusan dari Kaisar Diocletianus tiba.

Fulvius keluar dari rumahnya. Hawa malam yang sejuk meredakan gelora dalam kalbunya. Sebenarnya tiada bertujuan. Tetapi, entah mengapa, penjara Tullianus seolah-olah menariknya.

Sesal, kesombongan yang mengecewakan, loba yang mengganas, malu karena merasa terhina, itulah perasaan hatinya. Pada hematnya, kekayaan Agnes dibutuhkan benar untuk mempertahankan pangkatnya.

Fulvius telah tiba pada pintu penjara. Sebagai pembesar kota, dengan mudah saja dia dapat masuk ke bilik Agnes.

Agnes berbaju putih, sedang berlutu. Dalam kegelapan penjara, baju putih itu seperti bercahaya. Gadis itu tidak membayangkan takut.

Melihat Fulvius, Agnes berdiri lalu berkata, “Hormatilah daku di sini, tuan. Hanya beberapa jam lagi daku hidup.”

“Dewi, saya datang akan menambah jam itu. Ikutlah, bertahun-tahun lamanya kamu boleh hidup berbahagia.”

“Fulvius, kamu tak malu mengganggu, dengan usahamu, aku ditawan?”

“Bukan begitu, dewi, pilihlah sendiri nasibmu!”

“Bukankah saya sudah mengaku, dan hendak setia kepada Yesus Kristus?” seru Agnes.

“Mari, saat mendesak! Kita akan pergi ke negeri lain, supaya kamu dapat hidup. Dan sekehendakmu, bila kamu akan menganut Sang Kristus juga.”

“Biarkanlah daku dalam kesunyian. Pertalian Suci yang telah mengikat diriku, tak akan kuputuskan lagi,” jawab Agnes dengan jelas.

Fulvius tak sabar lagi. Matanya berapi-api. Tinjunya mengepal.

“Gadis keparat! Gila engkau! Tetapi baiklah, besok kamu boleh berpandang-pandangan dengan maut!”

Sesudah itu Fulvius sendiri seperti gila, meninggalkan penjara akan pergi ke…..

Agnes berlutut kembali akan memohon rahmat serta kekuatan batin bagi besok. Berdoa juga bagi Fulvius supaya pikirannya terbuka kelak.

Melalui gelanggang luas, Agnes diantarkan sampai ke muka kursi hakim. Gadis itu tidak mengindahkan kejadian sekelilingnya. Perhatiannya seperti tertarik ke tempat yang lain, jauh dari sini.

“Mengapa dia tidak terbelenggu?” tanya hakim dengan marah.

“Tidak usah tuanku, gadis ini mengikuti kami dengan sabar. Lagipula masih muda,” jawab seorang pengantar.

“Biar pun begitu, tapi dia keras kepala seperti yang tua. Segera, pakaikan belenggu!”

Dari antara pasangan belenggu dicarinya yang kecil, lalu dikenakan pada pergelangan tangan Agnes. Tetapi pergelangan yang terkecil itu juga terlalu besar baginya. Sebagai permainan, Agnes menggoyangkan tangannya dan berdering-dering rantai besi itu jatuh di lantai.

“Sudah yang terkecil kupilihkan! Memang anak ini patut memakai gelang lain,” kata orang tadi.

“Diam!” seru hakim.

Kemudian kepada Agnes, “Saya menaruh belah kasihan, gadis. Ingatlah kamu muda, kaya, berbangsa, pengharapan ayah bunda. Janganlah kamu keras kepala. Lupakan agama itu. Turuti sabda Kaisar! Marilah, Agnes, ambil beberapa butir menyan itu dan persembahkan kepada berhala ini!”

“Tidak berguna tuan mencoba. Hatiku sudah tetap, hanya kasih dan berbakti kepada Kristus.”

Sesudah itu mata Agnes mengarah ke langit, “Raja segala abad, bukakanlah daku pintu Surga!”

“Sia-sia usahaku!” teriak hakim.

“Griffier, tulis keputusan! Agnes dihukum mati oleh karena melanggar titah Kaisa Dicletianus. Akan dipenggal lehernya.”

“Di mana dan bilamana akan dilangsungkan?” tanya Griffier.

“Sekarang,” ujar hakim.

Agnes tersenyum. Sambil berlutut gadis itu menundukkan kepalanya. Dengan tangannya sendiri diuraikan rambutnya yang panjang lagi hitam itu ke muka. Tangannya menyilang di dada. Badan yang ramping berbaju putih itu, serupa tangkai ajaib lagi bersih, yang tunduk karena sarat bermuat bunga emas.

Sejurus tangan algojo gemetar.

“Patutkah seorang algojo dikalahkan iba hati?” tegur pembesar kota.

Seketika mata pedang berkilat, lalu, badan Agnes roboh. Baju putih… berwarna merah kini.

Roh Agnes yang bebas lagi cemerlang melayang ke atas.

Mengatasi bintang-bintang yang menurutinya sambil berkedip-kedip. Yesus melambai dan Agnes datang! Pada ambang cahaya di pintu surga, beribu-ribu malaikat telah menantikannya. Lagu gembira telah bergema! Agnes dipersilahkan masuk dalam kebahagiaan abadi, yang tak terbatas tempatnya dan waktunya.

Hari pesta Santa Agnes dirayakan pada tanggal 21 Januari dan sekali lagi pada tanggal 28 Januari.

Kata orang, pada tanggal 28 Januari, Agnes menampakkan dirinya kepada ayah bundanya yang sedang berdoa dan bersusah hati dekat kubur martir muda itu.

Acapkali Agnes digambar sedang mendukung anak domba.

Artinya, kemurniannya bagai anak domba yang baru lahir dan cinta Agnes terhadap Yesus Kristus, ialah Domba Allah Penebus dosa dunia.

Agnes yang baru berumur 13 tahun, sudah dapat menghindari segala sesuatu yang gelap lagi rendah.

Semoga karena kecenderungan hatimu kepada Martir Agnes, kamu pun dapat bebas dari segala yang gelap lagi rendah.

No comments:

Post a Comment