Pages

Tuesday, June 22, 2010

Santa Maria Goretti - Riwayat Santa

Di Negeri Italia, di tepi laut, terletak kota Corinaldo! Penduduk kota itu petani belaka, dan hidupnya amat sederhana. Demikian pula Luigi Goretti dengan isterinya yang bernama Assunta.

Bila orang bertamu di rumah keluarga Goretti, perhatian segera tertarik oleh sebuah gambar pada dinding. Gambar itu besar lagi bagus! Di bawahnya tertulis “BUNDA DUKA CITA”. Pastor kota Corinaldo yang memberi gambar itu, karena Assunta senang sekali menghormati Bunda Maria, bagai Bunda dukacita! Sebab itu juga anaknya yang sulung, Maria, dipersembahkan kepada Bunda dukacita! Untung waktu itu Assunta tak mengetahui bahwa persembahannya akan diterima sungguh.

Sayang, keluarga Goretti tak selamanya dapat tinggal di kota Corinaldo! Meski pun Luigi membanting tulang dari pagi sampai petang, meski pun Assunta rajin lagi hemat, keadaan keluarga Goretti makin buruk.

Seorang kawan Luigi mengajak mereka ke kota lain.

Katanya, “Mengapa kamu mau tinggal di Corinaldo? Pindahlah ke kota Gianturco! Pekerjaan tak kurang, ayuh ikut sajal Upah besar di Gianturco!”

Luigi berunding dengan Assunta dan . . .pada suatu dini hari, Luigi, Assunta, bersama-sama Maria dengan adiknya Angelo, berkereta . . . meninggalkan kota yang sejuk itu!

Benar, di kota Gianturco pekerjaan tak kurang. Tiap-tiap minggu mata uang berdering-dering di saku Luigi. Assunta tak pernah lagi memikirkan apa yang akan dimakan dan apa yang akan dipakai. Tetapi . . ., Luigi tidak kuat! setelah tiga tahun lampau, Luigi Goretti merasa capai. Tambahan pula, ada kabar yang mengacaukan pikirannya.

Kata orang, “Tuan tanah di daerah Ferriere di Conca membutuhkan petani! Bidang ladang yang akan diberikan luas, lengkap dengan rumah yang kukuh lagi besar.”

Demikian terjadi, keluarga Goretti pindah untuk kedua kalinya. Pada suatu dini hari pula, mereka berkereta lagi . . . agar dapat mengejar untung nasibnya!

Telah beberapa hari, hujan turun terus-menerus! Seorang laki-laki sedang menggali tembusan, yang akan menghubungkan paya-paya itu dengan sungai yang mengarah ke laut. Capai benar rupanya! Tak heran juga, hari telah pukul dua belas dan ia bekerja sendiri. Sambil mengeluh dicocokkannya cangkulnya ke tanah. Ketika menengadah, diiihatnya langit serupa timah. Hujan rintik-rintik bagai tirai tergantung sekelilingnya.

Tiba-tiba mukanya berubah! Bibirnya yang terkatup tersenyum! Dengarlah, . . . suara kanak-kanak nyaring lagi riang, sedang bernyanyi, . . . “Maria, Madonna mia!” . . Jelas perkataan itu bergema! Sesaat lagi,. . . tampaklah seorang gadis yang mengayuh sampannya ke tepi paya-paya. Dengan tangkas gadis itu melompat ke luar, akan mendapatkan ayahnya.

“Ini pa, makan dan minum!” katanya.

“Baik semuanya di rumah, Maria?” tanya Luigi Goretti, sambil membelai-belai kepala anaknya.

Ketika itu Maria berumur 11 tahun. Meski tak dapat disebut cantik luar biasa tetapi manis betul rupanya! Badannya ramping lampai, seperti hilang dalam baju yang bertampal, yang tak keruan lagi coraknya. Kain kepala yang diikatkannya di bawah dagu, amat tipis.

Lihatlah, rambutnya yang berikal terurai dengan bebas, dapat melambai waktu diembus angina. Pipinya kemerah-merahan. Dan matanya yang berwarna lagi jernih pula, bernyala dengan lemah-lembut atau . . . dengan gembira!

“Mengapa khawatir, pa?” tanya Maria pula.

“Ah, nakl Sangkaku daerah Ferriere di Conca subur lagi sehat . . . Sekarang inilah adanya, paya-paya! Moga-moga kita sekeluarga tinggal sehat!”

“Tentu, pa,” jawab Maria.

“Tunggulah hingga musim semi, keadaan tanah akan lebih baik.”

Maria tertawa. Gadis itu tidak mengetahui, pada musim semi penyakit malaria merajalela di Ferriere di Conca! Kadang-kadang membunuh berpuluh-puluh orang!

Lonceng gereja berbunyi sayup-sayup.

“Angelus,” kata Maria.

Maria bersama-sama bapanya berdoa. Berdoa, supaya Bunda Maria sudi mendoakan kita, sekarang dan pada waktu mati! Amin.

Musim semi telah tiba, penuh bunga, tetapi . . . penyakit malaria berjangkit pula.

Luigi Goretti yang sudah lama merasa kurang enak, jatuh sakit payah. Tiada lama antaranya, Luigi berpulang.

Assunta, seorang wanita yang bersifat keras, tinggal sendiri dengan 6 orang anak yang masih kecil-kecil semuanya. Ibu Assunta dapat menahan kesusahan hatinya. Dengan giat wanita itu bekerja di ladang bersama-sama tetangganya, Serenelli dan Alessandro. Maria, terpaksa menyelenggarakan rumah tangga. Sekalian juga untuk bapa Serenelli dengan puteranya Alessandro.

Maria, gadis yang lemah lembut suka bekerja di rumah sambil mengasuh adik-adiknya. Maria tidak ke sekolah, tidak pandai membaca dan menulis! Semua hal itu tak dipedulikannya.

Pikir Maria, “Aku tak butuh pandai untuk pekerjaan di dapur ini, dan untuk mengasihi Tuhan!”

Cita-cita Maria untuk dunia ini tidak luhur. Asal saja peker­jaan selesai, rumah bersih, suasana tenang, dan ibu nanti memuji kerajinannya, telah memuaskan hatinya. Sekali seminggu Maria boleh ikut dengan ibu ke gereja di kota. Dua jam perjalanan dari rumah! Hari minggu itu sejenis hari pesta baginya.

Sepanjang jalan mereka berdoa rosario, atau ibu Assunta berunding dengan Maria tentang beberapa hal. Demikian Maria turut bertanggung jawab. Meski pun baru berumur 12 tahun, Maria telah dewasa dalam pikirannya.

Gadis itu telah dapat membedakan yang baik dan yang jahat, yang patut dan yang kurang senonoh. Sebab itu Maria berusaha menjauhkan adik dan dirinya sendiri dari orang yang tak beriman. Terutama Serenelli dan Alessandro setiap hari mengecutkan hati gadis yang lemah lembut itu. Serenelli pemarah dan pemabuk, Alessandro pemalas, yang selalu menghabiskan waktu, menurut kata hati dengan semena-mena.

Petang hari, bila ibu Assunta pulang dari ladang, Maria menyongsongnya dengan senyum manis. Tak pernah gadis itu mengadukan adiknya, biar pun nakal. Tak pernah ia menceriterakan hal-hal yang akan menyedihkan ibu Assunta. Hidup ibu telah cukup berat, Maria tak akan melebihi beban ibu!

Sebab itu, gangguan Alessandro dan caci maki dari pihak bapa Serenelli, ditanggungnya dengan sabar.

Matahari telah tinggi naik ke langit, ketika Maria dan ibu Assunta pulang dari Misa Suci di gereja. Sudah beberapa kali Assunta mengamat-amati Maria. Mengapa gadis itu diam saja?

“Apakah yang mengganggu pikiranmu, Maria?” tanya Assunta.

Maria memandang dengan matanya yang terbuka besar kepada ibunya.

“Aku ingin sekali menyambut Komuni Suci, bu! Kapan aku boleh menyambutnya?”

“O, itulah! Kau belum pandai membaca, nak! Bagaimana kau mempelajari Katekismus?”

Tetapi Maria terus mendesak, “Ah bu, biarlah aku menyambutNya. Jika tahun ini tak jadi, mungkin aku tak sempat lagi!”

Assunta mengangguk, “Jangan khawatir, nak, ibu akan berusaha.”

Hal ini bukan mudah. Persiapan 11 bulan lamanya. Tiap-tiap minggu Maria pergi ke Elvira Sehiassi, bersama-sama Angelo. Nona Elvira akan mengajar kedua anak itu.

Tiada lama, orang heran semua karenanya! Memang, persi­apan Maria untuk hari besar itu luar biasa. Dahulu gadis itu rajin, tambahan sekarang amat teliti.

Maria yang memang tak pernah menghardik, sekarang ber­usaha supaya dapat lebih ramah-tamah. Maria lebih suka menolong! Gadis yang taat, setia waktu sembahyang, sekarang makin segan melepaskan rosarionya.

Entah berapa rangkaian Rosario Suci yang dipersembahkannya kepada Bunda Sorgawi, setiap harinya. Acap kali juga Maria mengajak Angelo dan Erselia ke kuburan ayah mereka. Di situ anak-anak itu berlutut. Mereka berdoa Rosario Suci untuk perdamaian jiwa ayahnya. Sesudah itu Angelo dan Erselia mulai bermain lagi. Tetapi Maria masih tinggal berlutut. Mungkin gadis itu memohon pertolongan ayahnya dalam hal yang sulit, yang tak pernah diceriterakan kepada ibu, karena tak sampai hatinya membingungkan hati ibunya.

Ibu Assunta sedang duduk di tangga muka. Hari ini tak usah ke ladang, boleh beristirahat. Maria sedang pergi, mengambil air di sumber. Itulah dia, sudah kembali, tampak pada liku jalan raya. Langkahnya cepat lagi ringan. Mukanya muram.

Ketika sudah dekat tanya Assunta dengan heran, “Mengapa kau sekeruh itu mukamu, Maria?”

Gadis itu meletakkan bebannya di tangga. Lalu duduk di sebelah ibunya.

“Ah bu!” jawabnya, “Betapa sedih hatiku! Ada kabar, kawanku berbuat yang tak senonoh.”

“Nah Maria, jagalah supaya jangan kau tiru teladannya!” jawab Assunta dengan pendek.

Maria berdiri tegak di hadapan ibunya.

Sungguh, bagai bersumpah katanya, “O tidak bu! Aku tak akan begitu! Aku lebih suka mati dibunuh.

Assunta tak memperhatikan mata Maria yang bernyala gembira bercampur duka. Tak mengindahkan kalimat yang agak aneh. Tetapi ada juga yang menyaksikan. Yaitu Tuhan, yang akan menguji kemurnian dan kesetiaan Maria. Dan . . . setan yang siap sedia akan menerkam mangsanya.

Menjelang hari “Penyambutan Pertama”, hari penuh kebahagiaan yang sangat dirindukan Maria itu. Ibu Assunta sibuk benar! Maria harus bagus besok, sebagus-bagusnya! Dengan susah payah Assunta dapat membuatkan baju putih. Sekarang dibentangkannya tudung tule halus, yang akan menutup rambut ikal Maria. Ya, kotak perhiasan yang telah lama tertutup saja, dibukanya! Besok hari Raya! Seisi rumah harus berpesta dan bergembira!

6 Juni tahun 1901 . . . Matahari telah naik memuncak! Daerah Ferriere di Conca menampak luas sejauh-jauh mata memandang. Tanah tandus merentang, di samping bidang lalang becek yang tersela paya-paya. Sebuah gerobak yang dipergunakan bagai kereta, menanti di muka rumah. Maria dipimpin Assunta menuruni tangga.

Bentuk kalung permata berwarna kuning, sepadan benar dengan warna matanya dan rambutnya. Selubung tule yang dieratkan dengan rangkaian mahkota mawar menjurai ke tanah. Serba putih bersih luar dan dalam! O Maria,. . . berbahagialah engkau!!

Serenelli dan Alessandro pun turut menghadiri Misa Suci. Waktu itu Serenelli menyesal. Ah, mengapa dia mudah marah kepada anak yang patuh itu? Allessandro agak bingung. O, mengapa dia tak dapat semurni gadis itu! Assunta memohon Rahmat dan Kurnia Tuhan bagi Maria. Moga-moga Maria tak usah mengalami kedukaan sebanyak dia! Dan Maria? Apa doa Maria? . . . Maria menyerah kepada Yesus! Minta supaya dapat tersimpan bagi noda dosa. Mohon kekuatan batin bagi mereka yang membutuhkannya.

Mula-mula Alessandro menganggap Maria sebagai adiknya. Ditolongnya di rumah, dibelanya bila Serenelli marah. Karena itu Alessandro berharap Maria akan tunduk dalam segala hal. Tetapi, pada sesuatu hari, ketika hukum Allah akan terlanggar, Marialah yang membantah, berani menentang dan mengatasinya. Sejak hari itu sikap Alessandro berlainan. Maria baginya seorang musuh yang harus dibinasakan jika tak sudi menyerah.

Sebenarnya Alessandro tak begitu kejam. Akan tetapi dia tak pernah mengatur dan menahan perasaan hatinya. Pikirannya telah teracun buku bacaan jahat. Gelora kalbu menguasainya, sehingga Alessandro menjadi….pembunuh.

5 Juli tahun 1902. Siang hari kira-kira jam 1, panas terik membakar bumi. Semuanya sedang bekerja di ladang, hanya Maria di rumah. Alessandro hendak mencoba sekali lagi.

Pikirannya, “Bila dilihatnya parangku yang tajam dan berkilat kedua belah tepinya, tentu dia takut dan menyerah.”

Tapi Alessandro kecewa, Maria tak takut sakit, tak gentar mati, asal saja bebas dari dosa! Dan Alessandro yang waktu itu sedang mata gelap, menikamnya dengan ganas. Ketika dilihatnya Maria berdarah, pucat, tak bergerak lagi, Alessandro lari kembali ke biliknya.

Maria diangkut ke rumah sakit. Dua jam lamanya seorang dokter pembedah, mencoba menolong Maria. Tetapi . . . sia-sia belaka! Sakitnya hebat tak terkatakan! Maria tak mengaduh sedikit pun. Matanya bernyala gemerlapan. Bibirnya masih dapat tersenyum.

“Aku lebih suka mati daripada berdosa!” bisiknya.

Malam itu juga Maria menerima Sakramen Perminyakan Suci, dan namanya dicatat sebagai Kongreganis. Keesokan harinya Maria menyambut Komuni Suci untuk penghabisan kalinya.

Sesudah itu Maria berkata, “Aku mengampuni Alessandrol Demi kasih Yesus aku ingin, dia pun kelak diangkat ke Surga pula.”

Maria meninggal . . ., dan . . . jiwanya membubung tinggi ke surga.

Alessandro dimasukkan ke dalam penjara, bertahun-tahun lamanya. Rupanya tidak menyesal!

Pada suatu malam pemuda itu bermimpi. Dilihatnya Maria Goretti, cantik bukan buatan. Puteri kahyangan itu sedang bercengkerama dalam taman bunga bakung. Sudah banyak yang dipetiknya.

Sekonyong-konyong . . . Maria memandang kepada Alessandro. Sinar sakti yang memancar dari matanya, menjadikannya gelisah. Alessandro gemetar. Waktu itu Maria tersenyum . . . mengulurkan tangannya yang sedang memegang sekuntum bunga bakung.

Lalu bersabda, “Mari Alessandro, terimalah bunga ini!”

Alessandro menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tak berani, aku tak kuat hidup murni!”

Kini Maria merentangkan kedua belah tangannya.

“Jika kamu tak kuat, masakah aku mengajakmu! Doaku akan membantumu! Kurnia Tuhan akan menguatkanmu!” sabda pemudi dengan cemerlang pula.

Alessandro menghampirinya, akan menerima bunga itul Ajaib, … baru saja disentuhnya, bunga bakung menjelma menjadi nyala api! Alessandro terlonjak, . . . jaga! Sekeliling malam gelap gulita.

Pedih rasa hatinya! Dengan tidak diketahuinya, air mata mengalir.

Tangannya menyembah, “Ampunilah daku, Tuhan!”

Sejak hari itu Alessandro mengubah sikapnya dan sifatnya. Ketika bebas pula, dia pergi ke Assunta akan meminta ampun.

Dan apakah jawab Assunta?

“Jika Maria mengampuni, mengapa saya akan menaruh dendam?”

Maka terlihatlah oleh orang-orang, Assunta di samping Alessandro berlutut di meja Suci. Hingga kini Alessandro hidup bertobat akan memperbaiki kealpaannya waktu muda. Pengharapannya atas pertolongan Maria teguh! Demikianlah kita!

Pada tanggal 27 April 1947 Maria Goretti diberi gelar “Santa.”

1 comment: