Pages

Tuesday, June 22, 2010

Santa Lucia - Riwayat Santa

Kekejaman Kaisar Dicletianus terhadap penganut Kristus telah terkenal. Namun bagi penganut Kristus sendiri bukan merupakan empang yang dapat membendung bertambahnya jumlah mereka. Makin banyak darah yang tercurahkan, makin besar pula jumlah yang timbul lagi. Darah beku dari para martir merupakan benih kekal agama Katolik.

Akibat kekejaman musuh Kristus tak dilupakan para Kristiani baru itu. Mereka datang mengunjungi makamnya… Berdoa sambil memohon kekuatan agar dapat melanjutkan perjuangan keyakinannya dengan tabah.

Kaisar telah jemu, maka mereka pun yang tadinya terancam hidupnya, dengan aman dapat hidup bersama keluarganya lagi. Mereka berani bertindak ke luar dengan mendirikan gereja-gereja, mengadakan upacara-upacara persembahan, perarakan mengelilingi kota dan lain-lainnya.

Begitu pula halnya bagi kota Syracusa, ibukota pulau Sicilia, yang karena akibat kekalahan Kartago dalam perang Punis I menjadi negara jajahan Roma. Semua undang-undang yang diciptakan Kaisar Roma berlaku juga bagi negara Sicilia.

Pagi itu Syracusa masih berselimutkan embun dingin, namun Lucia dan ibunya yang sakit-sakitan telah meninggalkan rumahnya…. gedung indah di tepi jalan besar, untuk menikmati keindahan taman yang melingkarinya.

Lucia adalah puteri bangsawan kaya lagi ternama. Sayang sekali, meski pun keluarganya beragama Katolik, ia telah dipertunangkan dengan Tertullus, bangsawan yang tak seagama dengan Lucia. Orang tuanya mengambil keputusan ini dengan harapan agar Lucia dapat mempengaruhi hidupnya, sehingga Tertullus menjadi Katolik pula.

“Ibu,” kata Lucia memecah kesunyian.

“Kabarnya banyak peziarah di makam Santa Agatha yang dikabulkan doa dan permohonannya. Orang-orang sakit banyak yang disembuhkan! Baik kita coba juga.”

“Berziarah…aku?” tanya ibunya keheranan.

“Ya, mengapa tidak! Sambil bertamasya, mencari pemandangan lain!”

“O, jadi itu maksudmu! Memang, betul kejam aku selalu mengikatmu di rumah.”

“Ah bu,” seru Lucia terperanjat.

“Sungguh bukan begitu pikiranku! Sungguh senang hatiku dapat merawat ibu!”

“Dan tunanganmu, juga kau ajak nanti?” tanya ibunya pula sambil mengusap-usap tangan Lucia.

“Ya, boleh kucoba juga. Tapi, ibu tahu, makam Santa Agatha bukan tempat untuk beramai-ramai serta bersenang-senang. Agaknya dia tak mau!”

Sambil mengamat-amati paras Lucia dan kemudian pandang matanya diarahkan jauh ke muka… ibunya berkata, “Nah Lucia, baiklah! Selesaikan saja apa yang perlu untuk perjalanan kita!”

Lucia melompat-lompat kegirangan sambil berseru, “O ibuku tercinta, belum pernah aku memimpikan boleh mengunjungi tempat sakti itu!”

Ibunya tersenyum melihat Lucia seriang itu. Ya, begitulah tabiat anaknya. Penjelmaan pancaran rasa yang tidak terhambat. Air mata dan gerak silih berganti di mukanya seperti siang dan malam. Sebentar iba, sebentar berderai gelaknya yang segar. Segala sesuatu di sekitarnya dikenangi dengan sepenuh kalbunya.

Beberapa hari kemudian, berangkatlah sebuah kafilah kecil dari kota Syracusa, menuju ke makam Santa Agatha. Di muka sekali dua buah tandu bertenda, lengkap dengan tirainya. Dugaan Lucia benar, tunangannya tidak sudi menyertainya.

“Apa gunanya mengunjungi makam batu,” katanya.

“Sunyi yang membisu tak usah kucari, akan datang padaku sendiri! Pergilah kau, asal aku tidak terbawa-bawa.”

“Terserah,” sahut Lucia dengan pendek dan matanya menjadi pudar lagi. Bibirnya bergerak-gerak seperti orang yang sedang menahan tangisnya. Hatinya kecut sekali. Itukah orang tempat di mana dia harus berlindung kelak? Dan ibunya rupanya tidak mengetahui tingkah laku tunangannya yang kasar dan loba!

Namun pemuda bangsawan yang hanya mengindahkan kepentingannya sendiri, tidak menghiraukan perubahan pada paras Lucia.

Setibanya di tempat yang dituju, Lucia menolong ibunya turun dari tandu. Lalu mereka meninggalkan para pengiring dan berdoa di makam Santa Agatha. Dan, pada waktu berdoa, yang tidak disangka-sangka terjadi. Tiba-tiba ibunya sembuh sama sekali.

Karena perasaan terharu, Lucia meniarap di atas batu kubur sambil mengucapnya beberapa kali. Sedangkan ibunya tak berkuasa mengatakan apa pun. Air matanya berlinang-linang lebih nyata memaparkan isi hatinya.

Sebagai tanda terima kasihnya kepada Tuhan dan SantaNya, Lucia meminta kepada ibunya agar uang yang akan dipakai untuk mendirikan rumah dan membeli perabotnya bagi Lucia, dibagikan saja kepada para fakir miskin.

Matanya ibunya membeliak keheranan, “Ah Lucia, sayang, kau itu tidak kenal ukuran dalam segala perbuatanmua! Jadi kau mau tinggal di rumah ibu saja sesudah kawin?”

“Kawin, barangkali…. Bukankah masih banyak gadis lain tinggal di kota Syracusa!”

Ibunya ternganga keheranan.

“Lucia,” serunya.

Malam itu, mereka tidak membahas lagi tentang hal itu.

Tapi keesokan harinya, ibunya berkata, “Ibu pun merasa berhutang budi terhadap Santa Agatha. Maka uang simpanan yang hendak kau bagi-bagikan, ambillah! Tapi pertalian yang telah mengikat dirimu, tak boleh kau putuskan, Lucia. Kau harus menikah dengan Tertullus.”

“O tentu ibu, namun hanya bila dia tahan uji dan tidak gila harta!” sahut Lucia.

“Aku tidak mengerti pikiranmu, Lucia,” ujar ibunya pula dengan agak sedih.

“Tak mengapa bu, kelak ibu akan mengerti!”

“Jangan putus asa, Lucia! Mudah-mudahan, karena pengaruhmu, Tertullus akan mau beragama Katolik sesudah menjadi suamimu.”

Seketika sunyi senyap.

Lalu Lucia berkata, “Karena pengaruhku? Ah tidak bu, mungkin karena pengaruh uangku. Coba ibu saksikan saja.”

Tiap-tiap hari segerombolan para miskin di kota Syracusa, mendapat surat undangan datang di rumah Lucia untuk menerima pemberiannya, yang diterimanya dengan sangat gembira pula. Tiap hari Lucia membagikan sebagian dari uang simpanannya yang banyak itu. Orang menggeleng-gelengkan kepalanya dan menyiarkan kabar yang aneh itu dan sampai pula di telinga Tertullus yang menerima dengan marahnya.

Segera ia pergi ke rumah Lucia, “Gilakah engkau, Lucia? Apa maksudmu memboroskan uang sebanyak itu?”

Lucia memandang kepada Tertullus dan dengan tenang berkata, “Gilakah aku jika mempunyai keinginan kaya raya kelak? Aku sedang membayar dan semoga dapat melunasi rumah kita di surga.”

Marah Tertullus makin menjadi, “Omong kosong….takhayul belaka. Besok akan kuusir mereka dari halaman!”

“Kau belum berhak bertindak di halaman ini, Tertullus. Tambahan pula, menurut perjanjian, uang simpananku telah menjadi hak milik para miskin.”

“Kularang kamu menepati janji itu,” teriak Tertullus dengan sangat marah.

“Jika tidak…..”

“Apa jika tidak,” tanya Lucia.

Tertullus tak menyelesaikan kalimatnya dan terus pergi. Sejak saat itu, ia tak tampak lagi datang di rumah Lucia.

Panas hatinya dan kelobaannya akan harta, membuatnya berusaha untuk membalaskan dendamnya. Ia sendiri menjadi pendakwa tunangannya. Hakim yang tidak beriman pun mempersembahkan surat tuduhannya kepada Sri Baginda Kaisar Roma.

Maka, api yang telah lama padam, dengan tiba-tiba saja mulai bergelora lagi. Lucia disalahkan dan dituntut di muka hakim.

Ibunya menangis tersedu-sedu mendengar kabar itu. Dan Lucia mencoba menghiburnya.

Katanya, “Jangan khawatir bu! Tunangan pilihan ibu tak sudi menerimaku karena merasa kehilangan harta. Namun, kekasihku yang sejati telah menyediakan tempat kediaman bagiku di Firdaus Surga. Sebab itu agaknya ibu disembuhkan lebih dahulu, supaya tidak membutuhkan perawatan lagi.”

Lalu Lucia memeluk ibunya dan berangkatlah dia akan menghadap ke pengadilan.

Ruang yang luas telah penuh sesak orang yang ingin mengetahui bagaimana keputusan perkara istimewa itu. Tepat pada waktunya pintu sebelah muka terbuka.

Seorang puteri bangsawan, cantik lagi muda, diiringkan masuk.

“Lucia,” bisik sekalian hadirin.

Mata mereka seperti hendak menelan gadis itu.

Lucia menunggu dengan tenang, kepalanya terangkat sedikit, senyum kecil menghiasi bibirnya. Gaunnya dari sutera, putih halus. Kain tudungnya cerah bertepikan sulaman benang emas. Pada tangannya yang tampak ke luar sedikit dari ujung kain tutup itu, kelihatan sepasang gelang indah buatannya. Sedangkan kakinya yang kecil beralaskan sepasang selop yang sedang tinggi tumitnya.

Pada hari-hari yang terakhir, dapatlah Lucia menyusun pikirannya. Yang kecil-kecil, yang meragukan hatinya, tak dipedulikannya lagi. Hanya satu perkara yang terang teringat olehnya. Ia harus mempertahankan kesucian jiwanya dan mempertahankan kepercayaannya!

Sekali lagi pintu muka terbuka, masuklah Paschasius, pembesar kota Syracusa.

“Daulat tuanku,” seru sekalian hadirin sekuat-kuatnya yang dijawab Paschasius dengan senyuman.

Apakah senyuman itu timbul dari kesenangan hati ataukah mengandung kebanggaan karena insyaf ia sedang disanjung-sanjung? Entahlah!

“Lucia!” suara hakim menyebabkan seisi bangsal membisu.

“Atas nama Sri Baginda Kaisar Diocletianus, sembahlah berhala itu dan taburkanlah beberapa butir kemenyan dalam pendupaan itu!”

Lucia tidak bergerak, namun suaranya nyaring terdengar, “Maaf, tapi menurut pendapatku, hanya Kristus yang boleh disembah secara begitu.”

Para hadirin mulai gelisah.

Maka berteriaklah si hakim, “Tak kusangka engkau sejahat itu! Engkau telah berani memboroskan uang ayah bundamu, dan sekarang berani melanggar titah Kaisar. Perbuatan anak yang durhaka itu tiak boleh kubiarkan saja. Rasakan nanti pukulan cemeti, anak jahanam!”

Sambil menarik nafas panjang Lucia menjawab, “Tuduhan ini tidak beralasan. Seumur hidup aku jaga baik-baik kemurnian jiwa serta tubuhku. Cinta itu tak akan kuabaikan.”

O, alangkah besarnya bencana yang menimpa Lucia kini!

Paschasius terhasut setan rupanya. Dengan bermacam-macam cara, Paschasius mencoba merusakkan kekuatan Lucia. Namun Lucia tak dapat diganggu atau digerakkan lagi. Kemudian seorang algojo menikam leher Lucia dengan kejamnya.

Seorang wanita bangsawan yang tidak mengindahkan coreng angus pada gaunnya, membungkuk di samping Lucia. Sebentar Lucia membukakan matanya…. “Ibu!”

“Berbahagialah Lucia.” bisik ibunya sambil menunjukkan seorang Imam yang siap sedia menerimakan Ekaristi Suci.

Lucia menyambut untuk terakhir kalinya. Senyum bahagia menyinari parasnya yang sudah memucat. Sejurus kemudian, bercerailah roh Lucia dengan badannya yang murni itu.

Dan manusia yang oleh keangkuhannya menyangka, bahwa dunia inilah tempat yang seutama-utamanya dan semulia-mulianya tidak memahami hal Lucia. Mereka pergi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun Tuhan Yang Mahaadil, berpendapat lain sekali.

Pada tanggal 13 Desember 304, Santa Lucia diangkat sebagai puteri Surgawi.

Irama pujian tercipta bagimu,

Akan dikenang putera-puteramu,

Semoga peri teladanmu,

Jadi warisan puteramu selalu!

1 comment:

  1. Betapa berat masa Kekristenan jaman dulu. Ini bisa jadi refleksi jaman saat ini, ketidakadilan yang kita alami saat ini bukanlah apa-apa, hendaknya kita tetap semangat dalam iman kita. Kekuatan datang dari nama Yesus, seperti Santa Lusia yang percaya pada Yesus, hingga wafat Santa Lusia penuh keselamatan.

    ReplyDelete