Pages

Tuesday, June 22, 2010

Santa Regina - Riwayat Santa

Pada tahun 235 lahirlah di kota Alise Perancis, seorang anak perempuan, Regina namanya. Ibunya meninggal tidak lama setelah Regina lahir. Regina rupanya kurang sehat. Ayahnya seorang hakim yang tersohor, mencari jalan untuk menyelamatkan anaknya.

“Di desa saya tinggal seorang wanita yang mampu lagi peramah serta sehat, tuan, mungkin dia mau….”

“O, sungguh kabar baik itu,” ujar hakim itu dengan gembira memutuskan kalimat pelayannya.

Beberapa hari kemudian berangkatlah dia ke rumah wanita itu yang bernama Natalie yang mempunyai perusahaan ternak.

Natalie yang pengiba dan penyayang menerima permintaan hakim itu dengan sepenuh hatinya. Maka sebulan kemudian Regina pindah ke rumah yang luas di desa yang berhawa sejuk, di pegunungan. Dan bertambah hari, Regina bertambah besar dan sehat.

Sayang jarang sekali hakim itu mengunjungi anaknya. Hingga pada akhirnya Regina tak kenal lagi akan ayahnya. Sebaliknya, hubungan Regina dengan ibu Natalie semakin erat lagi dan mesra. Natalie sungguh-sungguh mencintai anak pungutnya, seperti mencintai anak tunggalnya sendiri.

Pada suatu hari ada seorang lagi yang datang ke perusahaan ternak itu. Kini seorang imam Katolik yang sedang mengembara dari desa ke desa akan memperkenalkan penghuni desa itu dengan Kristus. Ibu Natalie menyambut kedatangan imam itu dengan penuh hormat. Disajikannya makanan yang lezat-lezat dan diperilahkannya bermalam dalam sebuah bangsal di pekarangannya yang luas itu.

“Jika sekiranya saya juga diperbolehkan mengajar pegawai perusahaan ini, maka kuterima ajakan ibu,” sahut imam.

“Tentu saja, Bapa,” seru Natalie.

“Akan saya bantu juga agar banyak orang desa turut hadir mendengarkan ajaran Bapa.”

Berkat bantuan ibu Natalie yang giat itu, pada akhir tahun, hampir seisi desa menyiapkan dirinya untuk menerima Sakramen Permandian Suci.

Tapi bagaimana dengan Regina? Ibu Natalie menimbang baik buruknya. Ayahnya pasti tak akan setuju. Tetapi apa boleh buat, Regina dalam pimpinannya. Bukankah jiwa lebih berharga daripada badan? Apa gunanya kesehatan badan bila jiwa terlantar?

Ibu Natalie mengambil keputusan tegas, Regina akan dipermandikan juga bersama dia. Begitulah Regina kecil terlepas dari kedunguan anggapan sesat…. Dan sekarang sesuatu yang tak disangka-sangka muncul dengan tiba-tiba dan mengubah ketenteraman itu.

Sang surya yang baru saja mulai menaiki gelanggangnya, menjanjikan hari terang. Seisi desa yang baru saja pulang dari Misa Kudus mulai bekerja di ladang dan di rumah. Dalam pekarangan ibu Natalie pun mulai ramai oleh suara ternak. Ayam berkeok-keokan, berebut-rebutan mencocok makanan yang berserakan di tanah.

Di antaranya berdiri seorang gadis kecil berumur 8 tahun. Agaknya geli melihat ayam-ayam yang rakus itu. Sebentar-sebentar, senyum manis bermain di bibirnya. Dari sela-sela daun-daun memancar sinar matahari pagi yang menyegarkan ke atas tubuh Regina yang ramping. Rambutnya yang ikal terurai di atas punggungnya.

“Ibu, si Hitam besar ini amat rakus, bu!” seru Regina.

“Ya, memang, perhatikan saja supaya yang lain pun dapat makan,” sahut Natalie.

Ketika itu terdengar bunyi pintu gerbang yang dibuka orang. Natalie menoleh dan tampaklah olehnya sebuah kereta terhenti di muka pintu. Seorang tuan telah memasuki pekarangannya.

“Hai, tuan Hakim, selamat datang!” seru ibu Natalie seraya mendapatkan tamunya.

“Salam dan hormatku, bu,” sahut tuan tadi.

Tapi matanya melayang ke arah gadis di bawah pohon itu.

“Alangkah manisnya anak itu, seperti gambar! Itukah anakku?”

“Ya, itu Regina,” ujar Natalie dengan bangga.

Beberapa saat kemudian, Regina telah duduk di atas pangkuan ayahnya. Sedang ibu Natalie sibuk menyediakan hidangan yang layak bagi tamu agung itu.

“Saya membawa kabar baru, bu,” demikian hakim membuka percakapannya.

“O ya, apakah gerangan kabar itu?”

“Kota Alise akan berpesta, dengan mengadakan perarakan yang luar biasa ramainya. Semua puteri dari warga terkemuka akan ikut serta. Maka saya ingin supaya Regina pun tidak ketinggalan. Lagipula anak itu sudah besar dan cukup sehat. Tibalah waktunya dia harus belajar. Maka silahkan ibu menyediakan apa yang perlu, supaya Regina dapat ikut nanti.”

Ibu Natalie memucat.

“Ah Regina dijemput,” keluhnya.

Senja itu, ketika sang surya terbenam di balik bukit-bukit yang kini menyuram berwarna lembayung, ibu Natalie pun bermuram durja karena kehilangan mustika hatinya. Suasana sekeliling rumah ibu Natalie kelihatan sepi. Seakan-akan alam pun turut berdukacita dengan kepergian Regina ke kota.

Kota Alise sedang hanyut dalam kenikmatan pesta. Jalan-jalan raya yang serupa lautan bendera penuh sesak dengan orang. Mereka menantikan perarakan istimewa itu

Di muka sekali, tampak Regina berseri-seri. Tidak heran ayahnya berbesar hati menyaksikan Regina yang mendapat hadiah pertama.

Namun beberapa hari kemudian, ada upacara lain yang menggaduhkan penghuni kota itu, yaitu persembahan kepada dewa dewi yang dianggap pelindungnya. Regina pun diajak ayahnya akan menyembah berhala dewa itu.

Tetapi Regina menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tidak boleh ayah, meski bagaimana pun juga, aku tidak mau. Aku hanya menyembah Kristus.”

Mendengar kata-kata anaknya, hakim itu tak dapat menahan amarahnya.

Dengan suaranya yang parau, dihardiknya anak itu, “Sungguh engkau telah gila agaknya!”

Ketika itu hilang lenyap kasih sayangnya pada anaknya dan keluarlah dari mulutnya ucapan-ucapan yang pedas dan menyakitkan. Tiba-tiba diusirnya anak itu. Regina tidak berpikir panjang. Secepat kilat ia melangkahkan kakinya menuju rumah ibu Natalie.

Pucat keletihan Regina merobohkan dirinya ke dalam pelukan ibu Natalie. Kemudian sepatah demi sepatah disela oleh sedunya, diceriterakannya nasibnya yang malang itu. Mula-mula ibu Natalie terkejut, lalu iba, kemudian bergembira karena keberanian anak pungutnya.

“Kau terlepas dari bahaya yang mengancam ketenteraman sukmamu nak,” jawabnya sambil mengusap-usap kepala Regina.

“Namun kita harus mencari akal, karena tak dapat dihindarkan, ayahmu akan menuntutmu kembali. Baik jika kau diam di rumah paman saja.”

Maka, keesokan harinya setelah Regina beristirahat, berangkatlah mereka ke rumah kakak ibu Natalie, yang letaknya lebih jauh di pegunungan. Di sana Regina menggembalakan domba-domba petani yang baik hati itu. Pekerjaan itu sangat disukainya. Regina kerap kali menuju ke tempat yang tersembunyi agar dapat berdoa sepuas-puasnya. Dengan demikian, Regina hidup semurni malaikat hingga tiba waktunya diuji oleh Tuhan.

Sekali peristiwa, waktu Regina berumur 15 tahun, datanglah seorang saudagar di daerah itu. Petang itu Regina baru pulang bersama dengan domba-dombanya. Di tengah jalan Regina bertemu dengan saudagar tersebut. Terharu hati saudagar itu melihat anak petani cantik itu.

Lalu dia bertanya, “Siapakah gadis itu?”

“Anak pungut petani yang tinggal di pangkal jalan ini, tuan, tapi asalnya dari kota Alise.”

“Dari kota Alise?” seru saudagar keheranan.

“Ya, karena diusir oleh ayahnya,” begitu kata orang.

“O, ooo!” jawab saudagar.

Rupanya ia mengerti.

Kembali di kota Alise, saudagar itu singgah ke rumah walikota dan menceritakan siapa yang dijumpainya.

“Sungguh cantik gadis itu, lagipula tingkah lakunya sopan.”

Tuan walikota seperti tidak mengindahkan hal itu, tapi sebenarnya amat berharga baginya. Telah lama ia menginginkan kekayaan hakim itu. Jika sekiranya Regina mau menjadi istrinya…..

Keesokan harinya telah diutusnya seorang pesuruh lengkap berkereta akan menjemput Regina. Karena pada sangkanya hal itu adalah kehendak ayahnya, maka tak patut ditolaknya. Regina ikut juga. Betapa kecut hatinya melihat tuan walikota yang loba itu.

“Jika kau sudai menjadi istriku, niscaya ayahmu tak akan marah lagi kepadamu!” kata walikota itu kepadanya.

Regina tersenyum, tangannya berlaku seperti menolak.

“Saya telah terikat pada Yesus Kristus yang tak layak kutinggalkan.”

Tuan walikota tidak putus asa. Dicobanya menarik perhatian Regina dengan perkataan yang lemah lembut. Tapi sia-sia belaka. Kemudian, karena melihat bujukannya tak berhasil, timbul amarahnya. Regina diantarkannya kepada ayahnya yang masih menaruh dendam.

“Adili Regina bila tak mau tunduk,” titahnya.

Mata hakim bersinar-sinar melihat anaknya, dan dari mulutnya keluar kata-kata pedih yang menyakiti telinga Regina. Memang hakim itu lupa akan dirinya. Maka dipaksanya Regina menyembah berhala kepada dewa.

Namun gadis itu tetap menolak, meski secara lemah lembut. Regina insyaf, bahwa ayahnya bertindak demikian karena putus asa, malu dan tidak mengerti akan dirinya. Hakim yang tak beriman, tidak sabar lagi. Regina ditutupnya dalam sebuah sangkar besai yang dirantai ke dinding bilik penjara.

Tiga hari tiga malam, Regina meringkuk dalam sangkar besi itu tidak dapat berdiri tegak atau berbaring dengan merentangkan kakinya. Makanan dan minuman hanya roti kering dan air.

Tapi Tuhan seakan-akan memancarkan Cahaya Ilahi ke dalam penjara yang gelap itu, sehingga sebentar saja rasanya waktu yang lama itu. Ketika Regina diperbolehkan keluar akan menghadap sekali lagi, rupa Regina bertambah cantik, keindahan jiwanya yang murni itu memancar ke luar.

Sejurus ayahnya terharu. Regina dibujuknya agar mau tunduk. Ya, diberinya harapan bahwa dia akan bebas, akan diperbolehkan memenuhi hukum-hukum agamanya, asal saja dia mau bersuamikan walikota tersebut.

Mata Regina memandang kepada ayahnya, membayangkan kasih sayang. Bibirnya bergerak-gerak seperti masih enggan mengucapkan isi hatinya.

Lalu perlahan-lahan digelengkannya kepalanya sambil berkata, “Ampun ayah, sungguh saya tak sanggup. Lebih baik saya mati daripada bersuamikan seseorang yang tidak percaya akan Kristus.”

Ayahnya sangat berang karena merasa dihina dan memutuskan hukumannya.

“Pukullah gadis itu! Kemudian bawa kembali ke penjara! Di sana dia boleh mati kelaparan.”

Seketika sunyi senyap, Regina tetap tenang.

Kemudian rakyat yang mulai kasihan kepada Regina mulai berteriak, “Tunduklah nak! Ingat, kau masih muda, se…..!”

Regina menoleh ke arah rakyat itu. Dan mereka langsung diam.

Regina tersenyum sambil menjawab, “Sayang, kalian tidak mengerti maksud perbuatanku ini.”

Terhuyung-huyung kesakitan, Regina diseret-seret kembali ke penjara. Tatkala pintu tertutup, dicobanya berlutut dan berdoa.

“Oh Tuhan,” bisik Regina.

“Biarlah hamba meninggalkan dunia yang fana ini! Biarlah hamba…..”

Mata Regina terbeliak, tiba-tiba tempat yang gelap itu terliputi cahay terang cuaca. Tampak olehnya sebuah salib dan di atas salib itu hinggap seekor burung dara putih bersih serta gilang gemilang.

Suara nyaring lagi merdu terdengar, “Salam Regina! Telah tersedia bagimua pahala kekal dalam surga abadi. Kau akan beratu dengan penghuninya dalam damai yang terbatas.”

Kegirangan yang luar biasa, meresap dalam kalbu Regina. Dan tiba-tiba juga, luka-luka di tubuhnya sembuh sama sekali.

Keesokan harinya, sekali lagi, Regina dipanggil menghadap hakim. Betapa herannya mereka sekalian melihat gadis itu sembuh, berkulit bersih dan cantik luar biasa.

“Ah, Regina, sungguh engkau anak kesayangan para dewa-dewa kita yang telah menyembuhkan badanmu pula. Maka patutlah bila kau bersyukur kepadanya dan menyebarkan kemenyan beberapa butir ke dalam perapiannya.”

Regina memalingkan mukanya seraya menjawab, “Bukan mereka yang tiada berwujud menyembuhkan, tetapi Tuhan. Maka relalah saya mengurbankan nyawaku untuk Dia!”

Akibatnya sekali lagi Regina didera dihadapan umum. Sambil berdoa disambutnya pukulan itu dengan sabar, seolah-olah tidak dirasakannya.

Ketika itu suara ajaib bergema pula, “Marilah, Regina, terimalah mahkotamu!”

Rakyat mulai gelisah, mulai memihak. Sebab itu pembesar mengambil keputusan. Regina dipenggal….! Akan tetapi, darahnya menyuburkan benih kepercayaan yang ditebarkannya ke dalam hati para hadirin. Mereka ingin mengetahui ajaran agama Regina.

Semua ini terjadi dalam pemerintahan Kaisar Decius. Tempat di mana Regina mencapai daun nipah, lambang kemenangan kekal yang kini terkenal sebagai “Sainte Reine” (Santa Regina), yaitu sebuah dusun di daerah Autun. Pada tahun 864, jenazah Santa Regina dipindahkan ke gereja pertapaan Flavigny. Namun biara Flavigny lebih terkenal sebagai, “Penjara Santa Regina”. Pesta martir muda ini dirayakan pada tanggal 7 September.

No comments:

Post a Comment