Pages

Tuesday, June 22, 2010

Jeanne D'arc - Riwayat Santa

Cerita ini terjadi pada permulaan abad yang ke-15.

Jakobus d’Arc dengan isterinya Isabella Romee tinggal dalam sebuah kota kecil bernama “Domremy”. Domremy letaknya di Perancis, di perbatasan Propinsi Champagne-Bourgondie dan Lotharingen.

Jakobus d’Arc dan Isabella hidup saleh, berdamai dengan tetangganya, serta sopan santun dalam segala perbuatannya, da­lam segala percakapannya. Mereka tidak kaya. Sebaliknyalah, Jakobus d’Arc dan Isabella terpaksa membanting tulang. Dari pagi sampai petang mereka bekerja dengan rajin dan teliti untuk mencari nafkah.

Meski pun demikian, kedua suami isteri itu berhati tenteram. Lagipula dengan senang masih menolong sesama manusia yang miskin. Keadaan di sekeliling kota Domremy sunyi, indah dan subur. Nyata benar daerah yang elok itu diberkati oleh Tuhan.

Padang rumput yang menghijau seluas-luas mata memandang banyak terdapat di situ. Bidang gandum yang bermasakan menyerupai gelombang emas yang tertiup angin. Kebun buah-buahan serta bukit-bukit anggur tidak kurang pula.

Dan di antaranya sungai Meuse yang masih kecil itu mengalir berliku-liku tidak teratur. Begitulah keadaan tanah air Jeanne, pemudi kota Orleans.

Jakobus d’Arc beranak 5 orang. 3 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan. Anak-anak itu dididiknya secara Katolik sejati dan secara sederhana. Dari kecil anak-anak itu sudah menolong ibu bapanya di kebun dan di rumah. Demikian pula anaknya yang bungsu, yaitu Jeanne. Gadis itu amat menyenangkan ibu bapanya. Mujurlah, rupanya pada Jeanne tertanam berupa-rupa benih kebajikan.

Tingkah lakunya bersahaja, menarik hati orang. Jeanne itu pengiba, lemah lembut, berhati rendah dan rajin bekerja. Lagipula rupanya Jeanne kuat berbakti kepada Tuhan dan Santa maria. Tetapi Jeanne yang pandai bekerja di kebun dan di rumah, Jeanne yang cekatan mengantih dengan penyering itu tidak pandai belajar. Membaca dan menulis tak dapat ia! Bila ia berdoa tak pernah ia memakai buku. Ceritera ini membuktikan. bahwa Tuhan tidak membutuhkan kepandaian.

Kepandaian itu berfaedah, tetapi hanya kebajikanlah yang berjasa. Jeanne bertabiat riang juga. Tetapi, meski pun demikian, kadang-kadang mukanya yang jernih itu menjadi muram, cahaya matanya berganti pudar. Jeanne termenung. Apakah yang terpikirkan oleh gadis itu?

Domremy letaknya terpencil, jauh di pegunungan. Meski pun demikian, sekali-sekali juga berita yang mengkhawatirkan sampai di kota Domremy. Sri Baginda Raja Charles yang ke 6 ditimpa penyakit gila. Puteranya, Pangeran Charles yang ke-7, belum tentu akan dinobatkan.

Negeri Perancis sedang kacau! Bangsawan yang bergelar “le Due de Bourgondie” bermusuhan dengan “le Due d’Orleans.” Ya, kedua bangsawan itu berusaha sekuat-kuatnya untuk mengembangkan kekuatannya. Dengan cerdik dicarinya tipu muslihat, supaya Charles yang ke-7 jangan bertakhta di Perancis.

Mereka tahu betul mempergunakan pepatah, “Tahanlah jerat di tempat yang genting!”

Tetapi, bila gajah berjuang sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah. Begitulah juga di Perancis. Rakyat terdesak, menderita. Laskar Perancis teradu, bagian yang satu melawan yang lain. Dan Charles ke-7 tidak berdaya, tidak mempunyai kepastian! Kadang-kadang murka, mengamuk amat dahsyat, dan ada kalanya pula beliau termangu-mangu, berputus asa.

Biduk satu, nakoda tiga! Mana boleh! Musuh tanah Perancis mengintai dengan senang! Menunggu saat yang terbaik akan menyerang! Itulah yang menyebabkan pikiran Jeanne menjadi cerai berai. Ia cinta kepada tanah airnya! O, Jeanne sudi mengurbankan dirinya, asal saja tanah Perancis terpelihara. Tentu, tak dapat tidak, waktu sembahyang juga, Jeanne tidak melupakan hal ini yaitu berdoa dan memohon rahmat dan pertolongan Tuhan untuk Kerajaan Perancis yang malang itu.

Dekat rumah Jakobus d’Arc adalah bukit. Di puncak bukit itu, di bawah tebing batu yang curam itu tampak air membual-bual. Air kolam itu bening laksana kaca. Dan, begitu kata orang, air itu baik juga dipakai obat. Di pinggir kiri ada sebatang pohon. Umurnya sudah lanjut. Daunnya yang rimbun membayang di dalam air. Di tengah dan di tepi sebelah sana tumbuh sejenis rumput yang panjang tempat burung-burung bersembunyi. Di tempat yang dalam terapung daun-daun pohon yang baru gugur. Dekat di situ berdiri sebuah patung Bunda Maria, yang selalu terhias bunga.

Jeanne suka sekali duduk beristirahat di bawah pohon itu. Pada suatu hari Jeanne sedang duduk lagi di atas akar pohon itu. Sambil menjaga kambing ayahnya yang mencari rumput muda, Jeanne merajut. Tiba-tiba terperanjatlah ia! Cahaya, terang cuaca mengelilinginya! Jeanne berdiri, hendak mengumpulkan kambingnya. Pada sangkanya, itulah sinar halilintar yang biasanya mendahului hujan badai. Tetapi apa itu?

Dalam cahaya, Jeanne melihat seorang manusia! Seorang manusia yang bersayap! Dengan tenang manusia yang ajaib itu memandang pada Jeanne.

Karena dilihatnya gadis itu takut, ia memperkenalkan dirinya, “Jangan takut Jeanne! Aku Malaikat Mikael. Bersiaplah Jeanne! Berdoalah yang sungguh-sungguh! Pergilah ke Misa Kudus setiap mungkin. Tuhan akan menolong Perancis! Dan … Tuhan akan memakai tenagamu! Sekian Jeanne, sampai berjumpa lagi.”

Sekonyong-konyong hilanglah cahaya itu, Hilanglah Malaekat Mikael, tak tentu ke mana arahnya. Jeanne menggosok-gosok matanya. Bermimpikah ia? Terang kelihatan, nyata terdengar! Jeanne duduk kembali, bertopang dagu, termenung sejurus. Kemudian gadis itu pulang. Rahasianya akan disimpannya baik-baik.

Pada bibirnya, yang terkatup itu bermain senyum simpul. Pada matanya yang memandang jauh ke muka itu terbayang harapan besar. Jeanne mulai, menyiapkan dirinya sekehenndak Tuhan. Betulkah, Malaekat Mikael akan datang lagi??? . . .

Ya betul, Malaekat Mikael datang lagi, didampingi oleh Santa Katarina dan Santa Margareta. Berulang-ulang mereka mengunjungi Jeanne. Gadis itu dibujuknya, supaya berani bertugas. Berani melawan dan mengatasi kesukaran yang banyak itu.

Pada suatu ketika bertitahlah Malaekat Mikael, “Jeanne, sekarang saat yang dinantikan telah tiba. Engkau harus berangkat!”

“Pergilah kepada tuan Gubemur di kota Vaucouleurs. Mintalah kepadanya, kiranya sudi mengantarkan engkau menghadap Raja Charles.”

Jeanne terkejut! Berangkat akan menghadap raja?

“Saya tidak pandai bahasa Perancis yang tulen. Masakan diterima! Dan apakah yang harus kukatakan?”

Tetapi Malaekat Mikael tetap mendesak, “Jangan khawatir, Jeanne! Pikiranmu akan diterangi ilham ilahi!”

Maka pada suatu hari Jeanne berani meminta izin kepada ibu bapanya. Ibu bapanya tentu saja heran mendengar permintaan yang aneh itu.

Mula-mula bapanya tertawa, “Apa, Jeanne? Engkau seorang gadis hendak berperang, hendak membebaskan Perancis!? Mustahil, jangan engkau gila begitu! Bermimpikah engkau!?”

Kemudian, karena Jeanne terus memaksa, Jakobus d’Arc amat marah kepada anaknya. Hanya pamannya yang percaya atas kelurusan gadis itu. Paman itu juga yang mengantarkannya ke kota Vaucouleurs. Gubernur Robert de Baudricourt memandang kepada Jeanne dengan takjub … dan mengatakan bahwa ia sama sekali tidak percaya. Bahwa peristiwa itu tak mungkin juga pada hematnya. Jeanne disuruhnya pergi.

Tetapi Jeanne tidak sombong, tidak berkecil hati, tidak berputus asa! Berulang-ulang ia kembali. memohon dengan sangat, supaya dapat menghadap Charles. Akhirnya, karena kesal, Jeanne dibawanya ke tempat kediaman Charles.

Ketika Jeanne tiba, banyak yang sudah hadir di situ. Raja Charles berpakaian sederhana saja, dan tiada juga yang menunjukkannya. Walau pun begitu, oleh suatu penerangan batin, Jeanne mengenalnya.

Dengan tiada ragu-ragu, ia memberi hormat secara adat Perancis. Suaranya jelas lagi nyaring, terdengar sampai setiap sudut, “Hamba, ialah pemudi yang akan membebaskan Tanah Perancis. Bukan karena kekuatan hamba sendiri, bukan karena kecerdikan akal hamba, bukan karena kebijaksanaan pikiran hamba, melainkan karena kekuatan yang Maha tinggi, yang telah memerintah hamba. Hanya karena inilah tugas kehidupan hamba.”

Raja Charles yang ke-7 serta sekalian hadirin termenung. Mereka mengamat-amati gerak-gerik badannya, yang tiada berlagak itu. Pinggangnya ramping, tangannya kecil. Betulkah gadis itu akan kuat berperang???

Raja Charles menimbang, “Baik juga dicoba. Jika benar gadis itu terdorong oleh suatu ilham, bukankah patut diterimanya kurnia semacam itu?”

Musuh tanah Perancis telah mendarat, bertambah hari bertambah mendekat ke hati Negeri. Baik ia berunding dengan Jeanne. Maka terjadilah, Jeanne mengepalai sepasukan serdadu. Sejak itu ia bertukar pakaian. Jeanne memakai pakaian seragam hulu balang raja.

la berpanjikan sehelai bendera putih terhias salib. Suara wahyu selalu terdengar olehnya. Dan Jeanne selalu menuruti kata itu. Malam hari, bila serdadu-serdadu tidur nyenyak, Jeanne berlutut dalam kemahnya. Berdoa, agar tanah Perancis terpelihara. Agar serdadu terlepas dari bahaya maut.

Keselamatan serdadu musuh juga tidak dilupakannya. O, tabiat gadis itu, tidak berubah. Hanya lahirnya! Jeanne pengiba, menjadi sedih bila memikirkan kecelakaan yang mungkin akan menimpa serdadu-serdadu. Sebelum berangkat akan menyerang, Jeanne biasanya berdoa dahulu.

Memohon rahmat dan pertolongan Tuhan untuk mereka yang akan menjadi korban. Dan bila diterimanya khabar, bahwa betul beberapa serdadu terbunuh atau luka, Jeanne acap kali menangis, seolah-olah seorang ibu yang menangisi anaknya.

Sekali pun ada yang bertanya, “Jeanne, apakah Tuhan hanya mengasihi tanah Perancis? Bukankah serdadu musuh itu juga makhlukNya?”

Jeanne tersenyum dan menjawab, “Tentu demikian, tuanku. Tetapi, kehendak Tuhan ialah semua bangsa tinggal dengan tenteram dalam negerinya masing-masing. Jadi berpergian hanya untuk meluaskan kekuasaan duniawi, itulah tidak berkenan pada Tuhan.”

Berkat pertolongan Yang Maha Tinggi itu, Jeanne menang! Keberanian dan kepercayaan serdadu-serdadu Perancis makin meluap. Laskar Perancis dengan sukarela mengikuti panji Jeanne. Perjuangan antara kedua orang bangsawan, segeralah selesai. Minat semua pemuda telah tertarik oleh hulubalang raja. Hulubalang Jeanne yang rupanya ahli dalam ilmu perang. Yang selalu membawa laskarnya kepada kemenangan. “Kemenangan” … Bukankah perkataan itu harum, masyhur lagi cemerlang?! Dan suasana laskar Jeanne ialah suasana persaudaraan. Maki-maki tiada terdengar. Beramai-ramai secara tidak senonoh, tiada yang berani.

Prajurit-prajurit itu yakin, bahwa Jeanne hidup bertapa, berpantang! Perasaan kebangsaan, sedang berkembang sebagus-bagusnya! Sebelum menyerang, Jeanne mengirimkan khabar, supaya musuh dapat menyelamatkan dirinya. Tetapi, biasanya, khabar itu dianggap penghinaan. Mereka malahan datang, mendapatkan laskar Perancis.

Dan bila serdadu-serdadu letih, bila mereka takut karena tentara musuh jauh lebih besar, jauh lebih sempurna senjatanya, Jeanne berkuda menuju ke muka sambil mengayunkan benderanya. Melihat itu tiada pula yang berhati kecil. Manakah ada seorang laki-laki atau seorang pemuda yang mau dikalahkan seorang pemudi?

Berkat pertolongan hulubalang Raja Sorga, Jeanne dapat membebaskan kota Orleans. Inilah pertempuran yang hebat benar. Kemenangan yang sungguh-sungguh penting. Sekarang mu­suh terpaksa meninggalkan Perancis. Sekarang terbuka jalan ke kota Rheims. Sekarang dapatlah Jeanne memenuhi perjanjiannya, mengantarkan Charles yang ke-7 ke Rheims, supaya ia dinobatkan secara adat Perancis.

Pada hari kemujuran dan penuh semangat itu kegembiraan bangsa Perancis memuncak. Dan mereka memuja-muja Jeanne d’Arc, pemudi kota Orleans. Tetapi tidak demikianlah halnya dengan musuh. Jeanne d’Arc, itulah seorang gadis yang tidak senonoh! Ia penipu, pembohong! Mungkin juga Jeanne itu jin yang menjelma. Sebab itu kudanya berlari secepat angin! Bagaimana pun juga, Jeanne itu harus tertawan! Kemudian harus ia dihukum mati, dibakar atas onggok kayu yang besar lagi tinggi! Dan Jeanne mengetahui hal itu.

Suara wahyu telah mengatakannya, “Jeanne, pekerjaanmu telah selesai. Sejak ini rejekimu akan meninggi. Engkau selalu berdoa untuk tanah Perancis, untuk keselamatan laskarmu, untuk musuhmu. Badanmu sendiri kau lupakan. Itulah baik Jeanne, itulah mulia. Sekarang terimalah kurnia Tuhan. Terimalah lambang kemenangan yang tak akan layu!”

Dengan hati yang berdebar-debar, dengan suara yang sayup-sayup bertanyalah Jeanne, “Apakah kurnia itu?”

Dan suara menjawab, “Engkau akan tertawan, akan dihukum mati, akan dibakar hidup-hidup.”

Jeanne mengeluh dan merintih, “O, aduh, masakan aku kuat!”

“Ya Jeanne, kau kuat, karena kekuatanmu pada Penebus yang terpaku pada kayu salib!”

Sejak itu pergaulan suci berhenti, Jeanne tidak mendengar lagi suara Malaekat Mikael. Demikianlah yang terjadi. Jeanne hendak pulang, tetapi tidak diizinkan. Terpaksa turut lagi dalam perang. Pada suatu hari Jeanne tertawan. Alangkah senangnya musuhnya. Gadis itu dibawanya ke pengadilan. Tetapi hakim-hakim yang mengadili tidak jujur.

Bila Jeanne berkata benar, maka tidak ditulis. Bila jawabannya boleh dianggap salah sedikit segera dicatat. Akhirnya Jeanne dihukum mati. Di dalam pasar di kota Rouan, di muara sungai Seine, telah tersedia onggokan kayu besar lagi tinggi. Sementara itu Jeanne mengalami kegelapan jiwa.

Suara yang menghibur, yang menjadi pelita pikirannya, tiada lagi. Betulkah ia berdusta? Jeanne agak bimbang. Kekacauan dan ketakutan hatinya waktu itu tiada terlukiskan…

Setibanya di atas onggok kayu, tiba-tiba teringat nasihat, “Kekuatanmu pada Penebus terpaku di kayu salib!”

Jeanne berseru minta salib. Seorang serdadu yang menaruh belas kasihan mematahkan sebuah tongkat. Diikatnya serupa salib dan diberikan kepada Jeanne. Salib itu ditekankan. Sejurus kemudian Jeanne berseru pula. Ia meminta sebuah salib dengan patung Penebus yang tergantung padanya. Ketika itu, api sedang berkobar-kobar. Karena keinginan seorang yang dihukum mati, mereka mengambil sebuah salib dari gereja. Pada saat itu juga kepastian Jeanne kembali.

Nyaring terdengar sampai ke segenap penjuru Jeanne berseru, “Aku tidak berdusta. Suara Malaikat Mikael sungguh-sungguh terdengar padaku. Tugas hidupku ini berasal dari sorga!”

Asap membubung ke atas menyelimuti badan yang ramping lampai itu. Tiada mata yang tinggal kering. Apa yang terjadi tidak tampak. Sejam sesudah itu hanya abulah yang tertinggal. Angin berembus sepoi-sepoi. Mengangkat abu yang ringan lagi murni. Kemudian disebarkannya ke mana-mana, seakan-akan hendak menandatangani warisan kasih Jeanne terhadap tanah Perancis.

Jeanne berumur 19 tahun. Lahirnya pada tanggal 5 Januari tahun 1412. Meninggalnya pada 30 Mei tahun 1431. Sesudah meninggal, perkara itu diselidiki sekali lagi. Hakim-hakim melakukan segala-galanya secara adil.

Maka nyatalah terbukti, bahwa Jeanne tidak bersalah, tidak berdusta. Kehidupan Jeanne yang benar agak aneh untuk seorang gadis remaja.

Tiada heran, bila sampai kini bangsa Perancis membangga-banggakan Jeanne d’Arc! Masih merindukannya, bila melepaskan laskar, yang akan berangkat ke medan peperangan. Niscaya jiwa Jeanne selamat di sorga!

Karena, dengan tidak mementingkan dirinya sendiri, pemudi Perancis itu selalu bertanya, “Apakah kehendak Tuhan?”


1 comment: