Pages

Tuesday, June 22, 2010

Santa Caecilia - Riwayat Santa

Roma di pagi hari.

Kabut pagi masih menyelimuti tipis. Penghuni kota Roma belum nampak meninggalkan rumahnya. Hanya burung-burung dengan ria bebasnya bersiul-siul sambil beterbangan kian ke mari.

Tetapi lihatlah di jalan raya Trastevere… seorang anak kecil berjalan dengan girangnya dipimpin oleh pengasuhnya.

Caecilia…. melepaskan tangannya dari pengasuhnya. Ia berlari-lari kecil sambil berteriak-teriak kesenangan. Rambutnya hitam terurai lepas.

“Jangan lari, Caecilia, nanti engkau jatuh!” seru pengasuhnya.

“Tidak! Tidak!” teriak anak itu seraya tertawa tergelak-gelak.

“O boleh juga jika kau mau,” jawab pengasuhnya.

“Tentu bajumu akan sobek atau kotor, dan ibumu tak akan mengizinkanmu ikut aku lagi.”

Caecilia kecil terhenti. Matanya berkedip-kedip serupa bintang di langit yang jernih. Ia memandang kepada pengasuhnya seperti hendak menimbang baik buruknya.

“Jangan marah, Cil anak manis,” katanya dengan lemah lembut.

Pengasuhnya tersenyum, “Mari kita lekas pergi, nanti terlambat!”

Digendongnya Caecilia kecil dan ia mempercepat langkahnya.

Mereka akan menghadiri Misa Kudus yang diadakan di Katakomba-katakomba ( kuburan para martir ) di jalan Appia.

Caecilia adalah puteri kecil bangsawan Roma. Ayahnya tergolong terpandang di mata kaisar. Tetapi seluruh keluarganya tak ada yang mengenal Kristus. Hanya di antara pelayan-pelayannya terdapat pengikut Kristus yang setia. Mereka dibiarkan menganut agamanya. Malahan puteri kecilnya Caecilia pun diizinkan ikut pengasuhnya menghadiri Misa, meski pun dengan merengek-rengek terlebih dahulu.

Sehingga sejak kecil, Caecilia telah mengenal agama Katolik dan mencintai Yesus Kristus dengan sepenuh hatinya yang murni itu.

Caecilia kecil yang dimanjakan, mempergunakan kelemahan ayah bundanya. Dengan merengek-rengek pula ia berhasil memperoleh izin untuk dipermandikan. Lama kelamaan, cinta Caecilia yang suci itu membuatnya tak bebas lagi. Caecilia ingin mengikat dirinya dan berkaul akan serah setia.

Peredaran waktu membawa perubahan pula. Caecilia akan dinikahkan dengan Valerianus, pemuda bangsawan kaya lagi cakap pilihan ayah bundanya. Sayang ia masih kafir, tetapi kehendak ayah bundanya tak dibantahnya sedikit pun. Segalanya dihadapinya dengan tenang, jauh dari kekhawatiran hingga menjelang hari pernikahannya. Caecilia yakin, Tuhan akan membelanya.

Pengantin Caecilia yang cantik, menambah keindahan pagi. Pernikahan yang memang dirayakan besar-besaran. Dari tangan ayahnya ia menerima Valerianus dengan hati yang tenang.

Meski pun bunyi-bunyian di luar tetap menggema, Caecilia telah menutup dirinya dalam bilik. Ia memainkan harpa bagi Tuhannya.

“Maksudku memuja Dikau, Allah Yang Maha Esa,” bisik Caecilia.

“Ya Tuhan, sudilah kiranya mempertahankan kemurnianku kini.”

“Caecilia, Caecilia!” teriak orang dari luar.

Caecilia bangkit membukakan pintu.

“Ya, aku di sini sebentar karena agak lelah.”

“Mengapa di sini, sedangkan tamu sekalian menantikan pengantin perempuan?”

“Aku akan keluar, marilah dayang-dayang, iringkan puterimu.” jawab Caecilia sambil bergurau!”

Senja tiba, ruang tamu sudah lengang. Tinggallah Valerianus dan Caecilia berdua.

“Valerianus, janganlah engkau berbuat yang tak senonoh padaku, karena Malaikat Tuhanlah yang selalu mendampingiku!” kata Caecilia dengan tenangnya.

“Jika dapat kulihat Malaikat Tuhan itu, aku baru percaya!” jawab Valerianus agak terkejut.

“Tapi jika penjagamu itu seorang manusia, Caecilia, akan kubunuh dia bersama-sama dengan engkau.”

“Kau akan melihatnya, tetapi sebelumnya, kau harus percaya dan dipermandikan!” kata Caecilia.

Minat Valerianus telah dihidupkan. Ia ingin tahu mengenai agama, yang kemudian diterangkan oleh Caecilia dengan sejelas-jelasnya.

“Aku akan datang ke sana, bila Uskup Urbanus juga mempunyai Malaikat Pelindung!” kata Valerianus.

“Tetapi kemana aku harus pergi?” tanyanya dengan kemalu-maluan.

“Pergilah ke jalan Appia. Di sana kau akan berjumpa dengan fakir miskin. Mintalah kepadanya, supaya kau diantarkan kepada Uskup Urbanus. Sebut saja namaku,” jawab Caecilia.

Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Valerianus berangkat. Ketika Uskup Urbanus mendengar pesan dari Caecilia, beliau berdoa.

Yang tidak disangka-sangka terjadi. Tiba-tiba nampak seorang tua berpakaian serba putih duduk di sampingnya. Ia memegang buku yang terbuka, yang bertuliskan huruf emas “TUHAN ADALAH SATU, KEPERCAYAAN DAN PERMANDIAN HANYA ADA SATU.”

“Percayakah kau, Valerianus?” tanya Uskup Urbanus.

“Ya saya percaya,” sahut Valerianus terharu.

Pada saat itu juga, pembawa buku ajaib itu hilang lenyap. Uskup Urbanus yang menganggap kejadian ini sebagai tanda dari Surga, beranilah ia mempermandikan Valerianus. Kembalilah Valerianus ke rumahnya, sebagai orang Katolik.

“Caecilia, di manakah engkau?” seru Valerianus sambil membuka pintu rumahnya.

Karena tak ada yang menjawab, teruslah ia ke kamarnya. Sesaat Valerianus tertegun di ambang pintu, seperti takut menyaksikan apa yang akan dilihatnya nanti. Dengan memberanikan dirinya, masuklah ia selangkah, dua langkah. Sekonyong-konyong, Valerianus terhenti… gemetar. Tampak olehnya Caecilia berlutut asyik berdoa. Di sampingnya nampak seorang yang bersayap indah bukan buatan.

Seluruh kamar bagai diliputi cahaya ajaib yang memancar daripadanya. Tangan kirinya memegang sebentuk mahkota bunga bakung, yang berkilau-kilauan seperti sutera halus. Mahkota itu akan dilekatkannya di atas kepala Caecilia agaknya. Tangan kanannya memegang sebentuk mahkota bunga mawar, yang harum semerbak. Mahkota mawar putih itu direntangkannya ke arah Valerianus. Matanya yang tajam pandangannya, mengamat-amati kedua mempelai dengan tenang.

Lalu terdengar suaranya yang merdu, “Simpanlah kedua mahkota ini dengan hati yang murni serta badan yang tubuh yang bersih. Maka tak akan layu segarnya, tak akan berkurang harumnya. Aku bawa anugerah ini bagimu dari taman Surga. Masih ada keinginanmu yang lain, Valerianus?”

“Ya aku ingin adikku Tibertius juga mengenal Tuhan,” sahut Valerianus.

“Permintaanmu itu sangat berkenan bagi Tuhan,” sabda Malaikat pula.

Kemudian lenyaplah Roh Yang Mulia itu meninggalkan Valerianus yang masih tercengang keheranan. Caecilia masih tetap berlutut, akan bersyukur. Sementara itu seseorang mengetuk pintu.

“Silahkan masuk,” seru Caecilia sambil bangkit.

“Masuklah Tibertius…!”

“Selamat siang kakak berdua,” salamnya sambil tertawa dan matanya memandang ke kanan dan ke kiri.

“Aku mencium wangi bunga mawar dan bunga bakung!”

“Tak salah Tibertius! Kedua mahkota kami, anugerah dari Malaikat Tuhan yang kau cari. Tapi hanya dapat tampak olehmu jika kau pun percaya kepada Tuhan,” jawab Valerianus.

Kemudian Caecilia mencoba membujuk Tiberius supaya dia mau mengunjungi Uskup Urbanus.

“Aku akan mengunjungi si tua bangka itu yang suka diam di bawah tanah!” jawab Tibertius sambil mengejek.

“Jika tempat persembunyiannya di dapatkan, niscaya ia akan ditangkap dan dihukum mati… dan kita….”

“Jika kita hanya berharap atas hidup di bumi ini, patutlah kita takut,” ujar Caecilia memutuskan uraian iparnya.

“Namun, masih ada kehidupan kekal yang kita harapkan,” kata Caecilia lagi.

Dan diterangkannya ke empat kepercayaan yang terpenting kepada Tiberius. Tiberius membisu, nyata kelihatan hatinya terharu.

“Mari kuantarkan,” ajak Valerianus sambil menepuk bahu adiknya.

Dengan tidak menjawab sepatah kata pun, Tibertius bangkit mengikuti Valerianus ke tempat Uskup Urbanus.

Penganiayaan terhadap pengikut Kristus merajalela pula dalam pemerintahan Kaisar Aurelius. Sehingga jenazah para Martir pun dilarang untuk dikuburkan dengan layak. Namun Caecilia, Valerianus dan Tibertius tidak menghiraukan larangan Kaisar yang lalim itu. Siang malam mereka berusaha akan merebut kembali jenazah-jenazah suci itu.

Harta benda tidak dipandang lagi, asal mereka dapat menolong yang dalam kesusahan atau dalam penghinaan. Sampai… yang dilakukan mereka diketahui oleh yang berwajib. Mereka diadukan kepada Almachinus, pembesar kota. Valerianus dan Tibertius dipaksa mempersembahkan beberapa butir dupa kepada patung berhala, tetapi sia-sia belaka! Malahan mereka berhasil meneguhkan iman Maximinus, penjaga penjara. Dan ketiga-tiganya dibunuh karena kesetiaannya terhadap Kristus.

Caecilia berkabung, menangisi suaminya yang setia, yang rela mempertahankan mahkota bakung serta mawar putihnya. Menangisi iparnya yang sejiwa dengan mereka.

Tetapi tak lama pula Caecilia sempat meratapinya, karena jenazahnya pun harus dimakamkan dengan diam-diam. Kesedihannya tidak membuatnya berputus asa, malahan ia harus lebih giat berusaha meski pun seorang diri.

Pada suatu hari, Caecilia pun tertangkap dan di hukum mati. Caecilia akan ditahan dalam kamar mandinya dan di bunuh dengan diuapi air panas. Meski pun telah sehari semalam ia dipanggang dalam asap hangat, Caecilia belum mati lemas. Malahan rasanya seperti ada beberapa kipas angin di kamar itu yang menghalau hawa panas terik itu.

Maka, keputusan terakhir adalah Caecilia harus dipenggal lehernya. Masih tiga hari tiga malam Caecilia hidup dalam penderitaan yang tak terkatakan. Meski pun penderitaan hebat dipikulnya, Caecilia mempergunakan saat terakhirnya untuk membagi harta kekayaannya pada fakir miskin.

Kepada Uskup Urbanus dipesankannya, “Harapanku agar rumah pusaka ini dijadikan gereja!”

Permintaan Caecilia dikabulkan. Hingga sekarang masih terdapat gereja Santa Caecilia di Jalan Raya kota Roma. Sedangkan jenazah Santa Caecilia dimakamkan di kuburan Jalan Appia bersama-sama kaum keluarganya.

Tiga abad kemudian, Santo Bapa Paus Paschalis, melihat melihat makam Caecilia dalam mimpinya. Maka dicarinya dan dipindahkannya jenazahnya ke gereja Santa Caecilia. Tubuh Santa Caecilia ketika itu masih utuh seperti orang yang sedang tidur saja.

Riwayat hidup Santa Caecilia, riang, tenang bagai nyanyian bagi Tuhan. Tidak hebat, tidak pernah menggemparkan penghuni kota.

Santa Caecilia diangkat sebagai Santa pelindung penyanyi gereja. Gema nama Santa Caecilia hingga kini masih semerdu lagu suci merayu ria. Terutama pada hari pertamanya yang dirayakan setiap tanggal 22 November.

Kepercayaan akan Tuhannya membuat segala yang dicita-citakannya terlaksana. Bawalah para pemuda pemudi kita ke gerbang muliamu!

No comments:

Post a Comment