Pages

Monday, June 28, 2010

Raja Dan Ketiga Putrinya - 11 Cerita Dari Jerman

Cerita ini terjadi pada zaman dahulu kala. Ada seorang Raja tua yang mempunyai tiga putri yang cantik jelita tak ada taranya. Ia sangat mencintai ketiga putrinya itu.

Suatu ketika, timbullah satu pikiran di benak Raja. Siang dan malam ia terus menerus terganggu oleh pikiran ini, “Apakah ketiga anakku benar-benar mencintaiku? Dan berapa besar cinta mereka pada diriku?”

Raja yang tua itu kemudian memanggil putri-putrinya dan bertanya pada mereka, “Anak-anakku, berapa besarkah cintamu pada diriku?”

Putri yang sulung berlutut dan mencium tangan kanan ayahnya. Ia berkata, “Ayah, cinta saya pada ayah lebih berharga daripada emas!”

Raja tua itu menjawab, “Anakku sayang, banyak terima kasih! Dan engkau, anakku yang kedua, berapa besar cintamu pada diriku?”

Putri yang kedua berlutut dan mencium tangan kiri ayahnya. Ia berkata, “Ayah, cinta saya pada ayah jauh lebih berharga daripada mutiara dan intan permata!”

Berlinang-linang air mata Raja, ketika mendengar ini. Dengan sangat terharu ia menjawab, “Anakku yang manis, banyak terima kasih! Dan engkau, anakku yang bungsu, berapa besar cintamu pada diriku?”

Putri yang bungsu berlutut. Ia mencium tepi jubah Raja yang terbuat dari bulu yang indah dan sangat mahal. Lalu dengan matanya yang jernih ia memandang wajah ayahnya. Kemudian ia berkata, “Ayah, cinta saya sama berharga dengan garam.”

Langsung Raja lompat dari kursi kerajaan. Napasnya sesak karena ia amat marah. Dengan terputus-putus ia berteriak, “Enyah kau dari sini, anak yang tidak tahu berterima kasih! Cintamu pada diriku hanya seharga garam biasa! Huh!”

Juga kakak-kakaknya sangat marah dan putri bungsu itu diusir dari kerajaan.

Dengan hati yang sedih putri bungsu ini meninggalkan istana. Ia pergi ke hutan. Ia tahu bahwa di sana tinggal seroang wanita yang pandai dan bijaksana. Padanya ia ingin minta nasehat dan pertolongan.

Wanita yang arif itu telah mengetahui semuanya. “Jangan menangis,” ia berkata.

“Waktu akan menolongmu.”

Bulan dan tahun terus berlalu. Seorang putra raja berkunjung ke istana. Ia melamar putri yang sulung. Degnan sengan hati ia ikut putra raja itu. Rupanya putra raja itu mempunyai satu ruangan yang penuh dengan emas di rumahnya.

Kemudian datanglah seorang putra saudagar. Ia melamar putri yang kedua. Dengan senang hati ia ikut putra saudagar itu. Rupanya di rumahnya ada satu ruangan penuh dengan mutiara dan intan.

Raja yang tua tinggal sendirian di istana. Lalu negara mengalami suatu kemalangan besar. Barang-barang makin hari makin kurang dan harga-harga membubung tinggi. Pedagang-pedagang tidak kunjung datang. Garam makin kurang persediaannya… Harganya setinggi emas. Tak lama kemudian, juga dengan emas orang tidak dapat membeli garam.

Raja tua itu menjadi sakit. Ia merasa sangat kesepian. Dan ia tidak suka makan, karena semuanya tawar.

Putri bungsu di hutan mendapat berita tentang penyakit ayahnya. Wanita yang bijaksana itu sendiri membawa berita sedih itu. Wanita itu memberi satu kantong kecil penuh garam kepada putri itu dan memerintahkan, “Pergilah sekarang ke ayahmu.”

Putri raja itu mengenakan pakaian yang buruk, supaya orang tidak mengenalnya. Ia pergi ke istana ayahnya. Di dapur istana ia meinta pekerjaan. Ia diterima dan dijadikan pembantu dapur.

Siang hari, sop untuk Raja mulai dimasak. Tapi, karena tidak ada garam, sop itu dimasak tanpa sebutir garampun.

Lalu putri itu minta, “Bolehkah saya mengantar sop ini pada tuan Raja?” Permintaannya dikabulkan.

Di tengah jalan menuju kamar ayahnya putri itu memasukkan garam sedikit dari kantongnya ke dalam sop.

Raja berbaring di tempat tidurnya. Ketika melihat sop, ia membuang mukanya. Ia menolak memakannya. Llau putri itu pergi duduk di dekatnya. Ia mengangkat kepala Raja yang sudah tua dan putih rambutnya dengan tangan satu dan dengan tangan lain ia menyuapkan sesendok sop.

Sedap rasanya. Sop itu telah di beri garam. Sekarang Raja merasa lapar. Dalam sekejap mata piring sop sudah kosong.

Baru kemudian ia memandang anak gadis yang duduk di tempat tidurnya. Biarpun pakaiannya begitu buruk, ia masih mengenal putrinya.

“Oh, anakku, anakku!”

Airmata raja tua itu keluar mengalir sampa ke jenggot yang sudah putih.

“Bagaimana saya dapat membalas kebaikan hatimu? Apa yang harus saya lakukan untuk menghapuskan segala penderitaanmu yang pahit?”

Putri itu hanya mencium kepala ayahnya yang sudah mulai membotak dan berbisik, “Cintailah saya seperti ayah menyukai garam. Saya tidak minta lebih dari itu!”

Demikianlah cerita tentang Raja yang dicintai putri bungsunya seharga garam biasa, cerita yang sudah beribu-ribu tahun lamanya.

No comments:

Post a Comment