Pages

Monday, June 28, 2010

Hiasan Bermata Embun - 11 Cerita Dari Jerman

Pada zaman dahulu kala, berkuasalah seorang Kaisar yang sangat disegani dan ditakuti oleh rakyatnya. Semua harus tunduk pada segala kemauannya dan tak seorangpun berani melawannya. Kecuali satu orang, ya, hanya satu orang yang berani menghadapinya. Yaitu putrinya sendiri yang masih kecil. Kaisar sangat mencintai putrinya dan sangat memanjakannya.

Pada Suatu hari, Sang Putri datang menghadap Kaisar dan berkata, “Aku ingin hiasan rambut yang bermata tiitk-titik embun, yang pada pagi hari gemerlapan dengan indahnya, jauh lebih indah daripada permata biasa. Ayah, cepatlah suruh pandai emas membuat hiasan itu.”

Begitu berani putrid kecil itu. Tetapi Kaisar tidak gusar, karena beliau sudah biasa dengan sifat putrinya. Segera beliau memerintahkan supaya pandai-pandai emas segera berkumpul di istana.

Lalu beliau berkata kepada mereka, “Tuan Puteri ingin hiasan rambut yang bermata titik-titik embun yang berkilau-kilauan. Besok hiasan itu sudah harus selesai. Jika besok tidak siap, kamu semua harus membayarnya dengan nyawamu.”

Para pandai emas tetap berlutut di depan kursi kebesaran Kasiar. Mereka terkejut dan takut sekali mendengar perintah Kaisar!

Apakah mereka tidak salah dengar? Titik-titik embun harus diikat dengan emas? Mereka terkenal sebagai pandai emas yang akap, ahli dalam mebuat hiasan emas dan permata. Tetap itidak ada yang sanggup membuat hiasan rambut bermata titik-titik embun. Maka semua tetap berlutut dan tak seorangpun bersuara.

Detik-detik berlalu dan mereka masih diam saja. Apakah mereka semua harus menyerahkan jiwanya begitu saja?

Tiba-tiba seorang pandai emas yang sudah lanjut usianya berkata, “Besok pagi waktu subuh saya akan dating kemari membawa perkakas lengkap, karena pada waktu subuh, titik embun paling indah gemerlapan. Saya akan menunggu di halaman istana dan di tempat itu juga akan saya kerjakan kalungnya. Kalau putri pada waktu subuh dapat hadir di halaman, beliau dapat memilih sndiri titik-titik embun yang terindah untuk diikat dengan emas.”

Para pandai emas yang lain heran sekali mendengaaar perkataan pandai emas tua itu.

“Mungkin si tua itu sudah gila,” mereka berpendapat.

Tetapi mereka juga sangat gembira, karena ada yang berani memajukan diri dalam soal yang membahayakan jiwa mereka semua itu.

Keesokan harinya waktu subuh, pandai emas tua itu dating di halaman istan. Juga Putri hadir di situ dengan gembira. Ia menjerit kegirangan, ketiak melihat titik-titik embun mulai berkilau-kilauan disinari matahari pagi. Tidak ada intan permata kepunyaannya yang seindah kilauan-kilauan embun itu.

“Saya ingin ini,” ia berteriak dan mengambil setetes embun yang besar dan bulat dengan jari-jarinya yang halus.

Tetapi embun itu segera pecah dan menjadi air biasa. Ia mencoba dengan tetes embun yang lain. Ia mencoba memegang sepulah, ya, duapuluh titik embun. Tetapi semuanya pecah bila tersentuh tangannya.

Di dekat tangga yang menuju ke halaman, pandai emas tua itu menunggu dengan sabar. Alat-alat perkakasnya sudah disiapkan semuanya dan tinggal menunggu titik-titik embun saja.

Akhirnya Putri kecil itu berjalan menuju pandai emas itu. Tapi ia hanya melewati si pandai emas tua itu sambil berkata, “Saya tidak ingin lagi hiasan dari titik-titik embun.”

Lalu ia masuk ke istana. Tangan dan sepatunya sutranya basah.

Si pandai emas tua hanya membungkuk menghormatinya. Lalu ia mengumpulkan semua alat-alatnya, menuju ke pintu halaman dan pulanglah ia.

Sejak tadi Kaisar berdiri di jendela istana di tingkat atas memperhatikan semua kejadian itu. Melihat pandai emas itu pulang, beliau menggaruk-garuk hidungnya dan berkata, “Ah, hmm… hmm… begitu jadinya.”

No comments:

Post a Comment