Pages

Tuesday, June 22, 2010

Hanya Seekor Anjing - Kuasa Doa Itu Nyata

Dari kaca jendela ruang tamu, saya melihat anak-anak tetangga dan keempat anak kami sedang bermain dengan riuh di halaman depan bersama anjing kami yang besar, Rex. Apakah saya berkata bahwa anjing itu besar? Maksud saya anjing itu raksasa. Saya tersenyum ketika anjing peranakan collie/husky kami melemparkan anak bungsu saya yang terkekeh-kekeh ke tanah, menjilati wajahnya seolah-olah itu gula, kemudian mengejar bocah yang lain dengan semangat yang sama.

Rex selalu menyenangkan suasana. Pada musim dingin yang lalu, saya mengikat Rex di kereta salju kami, dan ia tanpa mengeluarkan banyak tenaga menarik kereta yang penuh de­ngan anak-anak menyusuri jalanan bersalju! Ia kuat sekaligus lembut. Kesalahannya hanyalah suka mengejar mobil dan truk.

Beberapa tahun belakangan ini memang agak sulit memelihara hewan. Ada orang di kota kami yang suka meracuni hewan peliharaan. Kami telah kehilangan dua ekor anjing dan seekor kucing, serta entah seberapa banyak rasa sakit hati. air mata, dan pertanyaan setiap kali hal itu terjadi. Sejauh ini sepertinya Rex, yang kini berumur tiga tahun, lolos dari ketiga peristiwa tragis itu.

Keempat anak kami berumur lima sampai sebelas tahun telah jatuh cinta dengan bulunya yang lebat. Saya mendesahkan doa, Tuhan, lindungilah Rex. Kami membutuhkan kehadirannya selama beberapa waktu ini.

Saya menggelengkan kepala dan kembali ke buku akunting untuk pertanian keluarga. Saya tidak dapat percaya bahwa saya telah berdoa untuk seekor anjing, lebih dari segalanya. Yang benar saja, Bob. Tuhan tidak punya waktu mengurusi hal-hal kecil.

Saya percaya kepada Tuhan yang penuh kuasa dan adil, tetapi tampaknya masuk akal juga jika Tuhan sibuk mengurusi hal-hal yang berat seperti perang, kanker, dan sebagainya.

Tiba-tiba pekikan anak-anak kepada Rex menghentikan pikiran saya. Saya melemparkan pandangan ke luar dan melihatnya melayang di belakang truk yang melaju. Jangan lagi, pikir saya, mengeluh sambil berusaha untuk mengejarnya. Lalu sesuatu yang menakutkan terjadi, saya mendengar seruan yang menyakitkan dan melihat peristiwa yang terjadi tanpa daya. Roda belakang truk itu tiba-tiba menabrak Rex. Dengan gerakan menggeser, tubuhnya yang gemuk berputar seperti boneka compang-camping seiring dengan putaran roda, sebelum akhirnya terkapar di bawah truk.

Saya berlari ke luar dan menuruni tangga menuju tempat anak-anak mengelilingi binatang peliharaannya. Napasnya tersengal-sengal dan tidak teratur, kaki belakangnya terkulai dan kaki depannya bergerak-gerak di bebatuan. Hati saya hancur. Akan tetapi, anak-anak saya berlutut mengelilingi Rex. Masing-masing dari mereka menumpangkan satu tangan di atasnya, dan tangan yang lainnya terangkat ke atas. Mereka berdoa dengan lantang untuk anjing kesayangan mereka.

Kemudian istri saya, Pauline, berlari-lari dari belakang menghampiri kami.

“Oh, Bob. Jangan Rex!”

Pandangan matanya menyusuri mata saya untuk mendapatkan berita yang akan meredakan ketakutannya.

“Pauline, aku tidak tahu apa yang dapat kita lakukan. Aku pikir aku akan merelakannya.”

“Oh, Ayah, tidak! Ayah tidak bisa begitu. Kami berdoa, tidakkah Ayah melihat? Yesus akan menyembuhkannya.”

Russel, anak sulung kami, memandang saya dengan tatapan memohon dari tempat ia berdiri di samping Rex.

Saya ingin mengatakan kepada mereka, “Orang saja bisa meninggal dalam kecelakaan. Kalian tidak bisa mengharapkan Allah untuk menyelamatkan seekor anjing.”

Tetapi saya tidak mampu menghentikan doa mereka.

Pauline berbisik kepada saya, “Bob, aku tahu ini jam sibuk lalu lintas, tetapi mari kita bawa dia ke perawatan hewan. Aku tidak ingin anak-anak berpikir engkau mengabaikannya.”

Pauline membawa mobil station wagon kami yang berwarna keemasan, dan saya berusaha sehati-hati mungkin mengangkat Rex. Ia menatap saya dengan tatapan kosong sambil berusaha menarik napas. Saya meletakkannya di belakang. Di situ empat orang anak kami masih dapat menumpangkan tangan di atasnya.

Sepertinya perjalanan panjang itu tidak ada habisnya, dan kekhawatiran saya semakin memuncak. Bagaimana saya dan Pauline akan menjelaskan kematian Rex kepada anak-anak? Ya Tuhan, bantulah kami untuk mengetahui apa yangperlu kami lakukan dan katakan, sehingga kami tidak menghancurkan iman anak-anak kami.

Ketika kami sampai di kantor Dr. Macintosh, ia meletakkan Rex di meja baja tahan karat yang dingin di ruang periksanya. Anak-anak saya berdiri di belakang meja ketika dokter itu menekankan stetoskopnya di sana sini, dan menekan-nekan.

Setelah memeriksa sebentar, Dokter mendongak, “Bob, keadaannya tidak bagus. Saya membutuhkan bantuan Anda untuk mendirikannya dengan hati-hati di atas kaki belakangnya. Jika ia tidak dapat bernapas, berarti diafragmanya patah dan saya tidak bisa berbuat apa-apa.”

Anak-anak bersama-sama menahan napas ketika Dr. Macintosh dan saya mengangkat Rex, tetapi mata anjing itu terbelalak dan rahang bawahnya turun ketika ia tersengal-sengal berusaha menarik napas. Kami segera membaring-kannya lagi. Dokter menggelengkan kepala.

“Saya akan memberinya obat tidur supaya ia dapat mati tanpa rasa sakit.”

Serempak keempat anak kami berkata, “Jangan, Ayah!”

“Jangan boleh!”

“Yesus akan menyembuhkannya.”

“Tolong, jangan diperbolehkan.”

Pak Dokter menggamit lengan saya dan menuntun saya keluar sehingga pembicaraan kami tidak akan terdengar. Sementara itu Pauline tetap tinggal di dalam dan berbicara dengan anak-anak. Saya tidak iri dengan usahanya untuk menjelaskan keadaan ini kepada anak-anak.

“Bob, saya lihat Anda menghadapi masalah. Kita coba saja begini, Rex biar di sini selama semalam. Kadang-kadang memang ada kuasa yang lebih besar daripada kuasa kita. Jika keadaannya tidak membaik, saya akan merawatnya besok pagi, oke?”

“Sepertinya itu ide yang baik.”

Saya tahu kami hanya me-nunda sesuatu yang tidak dapat dihindari. Malam itu anak-anak dapat dengan mudah diajak tidur. Mereka semua kelelahan, dan mereka masih bersemangat untuk mendoakan sahabat mereka yang sedang tidak ada di rumah. Saya dan Pauline berbaring tanpa dapat memejamkan mata, berusaha keras untuk mencari tahu bagaimana kami dapat menangani situasi ini.

Pagi harinya, Pauline menuangkan kopi dan saya mengaduk krim serta gula ke dalam kopi. Anak-anak masih tidur semua. Kemudian telepon berdering. Saya dan Pauline saling berpandangan tahu sama tahu ketika saya mengangkat telepon.

“Halo?”

“Hai, Bob? Ini Dr. Macintosh.”

“Ya?”

Saya menatap Pauline sambil memberi isyarat dengan anggukan kepala tentang siapa yang menelepon.

“Bob, saya tidak tahu apa yang terjadi. Sepertinya doa anak-anak Anda didengarkan, karena anjing itu sekarang sudah bisa berjalan-jalan. Saya sudah memeriksanya, dan tampaknya ia hanya agak terkilir. Saya tidak mendapati adanya masalah pada tubuhnya. Apakah Anda akan menjemputnya?”

Apa? Saya bersandar pada rak dapur dan berusaha untuk bersuara.

“Uh, ya! Saya.., saya akan memberi tahu anak-anak. Kami akan datang ke sana.”

Saya bingung dan memberi tahu Pauline apa yang dikatakan Dokter tadi. Bahunya melorot ketika ia mengembuskan napas kuat-kuat. Senyum lebar menghiasi wajahnya.

“Mari kita bangunkan anak-anak,” kata saya.

“Kita perlu memberi tahu kabar gembira kepada mereka.”

Saya tahu anak-anak saya tidak akan terlalu terkejut. Sepanjang malam saya merasa khawatir bagaimana saya menjelaskan keadaan kepada mereka, tetapi ternyata melalui teladan, mereka mengajarkan kepada saya tentang iman mereka yang sederhana. Saya tahu, saya tidak akan pernah lupa bahwa tidak ada yang terlalu kecil untuk diperhatikan Allah bahkan tidak juga seekor binatang peliharaan.

Note:

Tuhan tidak hanya menyentuh Rex secara ajaib, tetapi Bob juga. Walau pun Bob sudah memercayai Allah selama bertahun-tahun, ia hanya mengetahui tentang mukjizat sebatas pendengarannya.

Dengan melihat sendiri apa yang telah dikerjakan Tuhan kepada anjing kami dan keluarga saya, iman saya menjadi diperbarui. Hal itu menimbulkan keberanian yang belum pernah ada dalam diri saya. Kini saya ingin orang lain mengetahui bahwa Tuhan sungguh nyata dan betapa Dia benar-benar memelihara kita. Bahkan di dalam hal-hal kecil sekali pun.

No comments:

Post a Comment