Pages

Monday, June 14, 2010

Rustem Putera Zal (4) - Persia

Sam, ayah Zal, tidak mengetahui perkawinan anaknya dengan Rudaba. Zal kembali ke istana Zabulestan sepulang dari pengembaraan tanpa menceritakan apa-apa. Isterinya ditinggalkannya di kota Kabul, di istana ayahnya.

Sebenarnya Zal ingin selalu berada di sisi Rudaba. Tapi tugas-tugas kenegaraan memaksanya berpisah dengan isteri tercinta. Dalam hati Zal merasa sangat sedih. Lebih-lebih waktu didengarnya bahwa Rudaba akan melahirkan anak. Dia tahu bahwa dia tidak bisa menceritakan kelahiran anaknya kepada ayahnya, Sam.

Tapi kesedihan Zal bukan hanya itu saja. Waktu Rudaba melahirkan, Zal mendengar kabar bahwa isterinya sakit keras. Dengan segera Zal meninggalkan istana ayahnya. Dia sampai lupa untuk merahasiakan kepergiannya. Seperti orang gila dia memacu kudanya menuju ke Kabulestan.

Zal menemui Rudaba yang sedang terserang demam panas. Semua tabib di Kabulestan dipanggil dengan segera oleh Raja Mehrab. Namun tak ada seorang pun yang bisa meringankan penyakit Rudaba. Mereka mencoba menyembuhkan Rudaba, tapi tidak ada yang berhasil.

Mehrab sendiri hanya bisa menundukkan kepala dan menangis. Zal juqa tidak berdaya. Semua tidak berdaya meringankan penderitaan Rudaba, apalagi menyembuhkan sakitnya.

Dengan sangat sedih Zal duduk di tepi tempat tidur isterinya. Dipegangnya tangan Rudaba yang sa­ngat panas seperti terbakar.

“Apakah aku meninggalkan sarang Simurgh hanya supaya merasakan penderitaan ini?” tangis Zal.

Kemudian, tiba-tiba Zal teringat akan janji Simurgh waktu mereka berpisah dulu. Dikeluarkannya bulu sayap Simurgh, yang selalu dibawanya ke mana-mana. Dilepaskannya tangan Rudaba, dan dia berdiri. Tiba-tiba Zal merasa penuh harapan. Dia menunjukkan bulu sayap kepada Mehrab. Setelah Zal bercerita, Mehrab juga menjadi tidak begitu khawatir.

Mereka segera menyuruh orang meletakkan sebuah perapian di halaman istana. Zal menjatuhkan bulu di atas bara api.

Asap bulu terbakar membubung tinggi ke langit. Untuk beberapa waktu lamanya mereka menunggu. Zal merasa sangat gelisah menunggu kedatangan Simurgh. Mula-mula tidak ada apa-apa, kemudian di dalam ruangan kamar Rudaba gelap, seperti tertutup mendung. Kamar baru terang kembali waktu Simurgh melipat kembali sayapnya yang lebar.

“Kesedihan apa yang sedang mengganggumu anakku?” tanya Simurgh.

“Rudaba, isteriku yang tercinta, akan meninggal dunia.”

“Jangan takut, dia tidak akan mati,” kata Simurgh.

“Sudah ditakdirkan bahwa kalian berdua akan mengalami kebahagiaan. Kalian berdua akan menyaksikan anakmu tumbuh bersama-sama. Anakmu kelak akan sekuat dan seberani seekor singa. Kemasyhurannya akan sampai ke mana-mana, dan semua orang akan menghargai namanya.”

Kemudian Simurgh memberitahu mereka, bagaimana cara meramu obat untuk menyembuhkan Rudaba. Setelah obat diminumkan, demam Rudaba turun dan dia bisa tidur nyenyak. Di bawah petunjuk Si­murgh pula, para tabib menjaga dan mengobati Ru­daba.

Waktu Rudaba terbangun, dia mendengar tangis anaknya yang sudah lahir. Anaknya lebih besar dan lebih kuat daripada bayi orang kebanyakan.

Anak Zal tumbuh menjadi anak laki-laki yang kuat. Keadaannya sesuai dengan yang diramalkan Si­murgh. Mereka berdua mengucapkan terimakasih kepadanya. Sebelum pergi, Simurgh memberikan sehelai bulu sayap lagi kepada Zal.

“Kalau kau membutuhkan pertolonganku sekali lagi, panggillah saja aku. Aku pasti datang,” kata Simurgh.

Zal memberi nama anaknya Rustem. Dia tumbuh menjadi pemuda yang tegap dengan bahu bidang. Tak ada suatu apa pun yang ditakutinya, baik manusia, binatang, roh halus mau pun setan jahat.

Zal begitu bangga dengan anaknya. Kini dia tidak lagi merahasiakan perkawinannya dengan Rudaba. Dia juga tidak merahasiakan kelahiran anaknya.

Waktu melihat Rustem, jauh daripada kecewa, Sam bahkan merasa bangga melihat cucunya. Diberikannya kepada Rustem gada perangnya. Gada Sam sangat besar dan berat. Hanya dia sendiri yang kuat mengangkat dan mempergunakannya.

Dia yakin, tidak lama lagi Rustem akan bisa mengangkat gada tanpa bantuan orang lain. Rustem dengan cepat tumbuh menjadi besar dan kuat. Di mana-mana orang membicarakan dirinya, baik yang sudah pernah melihatnya atau belum. Banyak diceritakan kisah mengenai dirinya, pada waktu itu maupun masa-masa yang akan datang.

Menurut cerita orang, sejak baru lahir Rustem sudah bisa makan roti dan daging yang cukup banyak untuk makanan lima orang dewasa. Setelah dewasa tingginya sama dengan delapan orang yang berdiri bersusun-susun. Hanya mendengar suaranya saja seekor macan tutul mati ketakutan. Kekuatannya bukan kekuatan orang, melainkan kekuatan gajah. Hanya dengan satu jari saja dia bisa melemparkan batu sejauh dua mil atau lebih. Kalau menginjak batu, kakinya akan terbenam seperti menginjak pasir….

Itulah antara lain cerita-cerita yang tersebar dari mulut ke mulut. Tentu saja semua ini dibesar-besarkan. Tapi memang Rustem seorang yang sangat kuat. Dia segera bisa mengayunkan gada kakeknya. Hasilnya pun sama seperti kalau diayunkan oleh Sam sendiri. Peristiwa yang terjadi tidak lama kemudian membuktikan kekuatannya sebagai seorang pemuda.

Suatu malam, tidak lama setelah Sam memberikan tampuk pemerintahan kepada Zal, terjadilah sebuah kegemparan. Rustem terbangun dari tidurnya oleh suara ribut-ribut dalam istana. Rustem segera turun dari tempat tidur. Dia ingin tahu apa yang menyebabkan suara gaduh. Dia segera mengetahui sumber kegaduhan. Dilihatnya para pengawal dan pegawai istana berlarian ke mana-mana.

Ternyata gajah putih milik raja lepas dan menjadi gila. Dia berhasil memutuskan rantai yang mengikatnya, dan berlari-lari sambil mengamuk.

“Dia sudah menginjak-injak beberapa orang sampai mati,” kata orang kepada Rustem.

“Sekarang tak ada seorang pun yang berani mendekatinya. Kita harus membangunkan raja, dan melaporkan apa yang terjadi.”

“Jangan!” kata Rustem.

“Tak ada perlunya mem­bangunkan ayahku. Aku sendiri yang akan bertindak mengatasi kekalutan ini. Kau boleh melaporkan peristiwa ini kepadanya besok pagi.”

Rustem berlari kembali, mengambii gada perang pemberian kakeknya.

Kemudian dia kembali ke kandang tempat gajah-gajah kerajaan. Dari luar tembok kandang Rus­tem mendengar jeritan gajah gila, diikuti jeritan gajah-gajah lainnya. Gajah gila sedang menghancurkan kandangnya sendiri. Kayu-kayu patah terdengar berbunyi berderak-derak. Batu-batu bata dicabutinya satu persatu. Tidak lama lagi tembok kandang pasti segera runtuh. Kalau tidak segera dicegah, gajah pasti akan masuk ke istana dan merusakkan segala-galanya.

Seorang pengawal sedang berdiri dengan badan menggigil. Dia melarang Rustem masuk ke dalam kandang.

“Tak ada seorang pun bisa menghadapi amukan gajah dan tetap hidup,” kata pengawal.

Dia berdiri di muka Rustem, menghambat jalannya.

“Kalau kau masuk ke kandang kau tentu terbunuh. Aku tidak mau membiarkan kau masuk ke kandang dan terbunuh.”

Tapi Rustem tidak mengacuhkan kata-kata pengawal. Dengan sekali tampar, si pengawal roboh tak sadarkan diri. Kemudian Rustem menghancurkan kunci pintu kandang dengan gada Sam. Rustem terus menyerbu ke dalam.

Dalam halaman kandang yang luas semuanya porak-poranda. Di mana-mana bangunan dari batu banyak yang runtuh. Beberapa ekor gajah menggeletak mati. Kayu-kayu yang sudah hancur bertebaran. Juga tersebar di mana-mana mayat-mayat penjaga gajah yang sudah mati diinjak-injak. Beberapa ekor gajah yang masih hidup berdiri di sudut dengan badan gemetar.

Di tengah-tengah segala benda yang berantakan, berdirilah seekor gajah putih yang besar. Tubuhnya yang tinggi besar seperti sebuah bukit karang. Waktu dia melihat Rustem, dia berbunyi keras sekali dan langsung menyerangnya. Rustem tanpa ragu-ragu menggeram keras sekali, sekeras geraman seekor singa. Dia lari menghambur menyongsong gajah yang sedang menyerangnya.

Diangkatnya gada perangnya, diayunkan dan dihantamkan ke kepala gajah. Terdengar bunyi berderak yang sangat keras. Kepala gajah remuk. Tubuhnya roboh ke tanah dengan goncangan laksana gempa bumi. Kena pukulan gada Rustem gajah mati seketika.

Para pengawal dan pelayan lari menghampirinya. Mereka takut kalau-kalau Rustem juga mati diinjak-injak gajah. Tapi Rustem menyambut kedatangan mereka sambil tersenyum-senyum. Dia sangat puas dengan perbuatan yang baru dilakukannya.

“Aku tadi sudah bilang,” kata Rustem.

“Tidak perlu membangunkan raja. Aku sendiri akan mengatasi kekalutan ini untukmu.”

Semua yang melihat hampir-hampir tidak mempercayai penglihatan mereka. Mereka berganti-ganti memandangi gajah mati dan Rustem. Dengan tenang Rustem memanggul gadanya, terus kembali ke kamar tidurnya. Dia melanjutkan kembali tidurnya yang tadi terganggu.

Tidak lama setelah Rustem membunuh gajah putih milik Zal, Rustem menghadap ayahandanya. Waktu itu Rustem tidak lebih dari seorang pemuda tanggung.

“Ayah,” kata Rustem.

“Perkenankanlah aku maju ke medan perang, memimpin bala tentara Zabulestan. Ijinkanlah aku memimpin prajurit untuk menghancurkan bala tentara Turan di bawah pimpinan Afrasib.”

Zal percaya akan kekuatan anaknya. Namun dia tidak yakin, apakah anaknya juga mahir dalam ilmu peperangan.

“Anakku,” kata Zal.

“Aku masih ingat, kaulah yang membunuh gajah gila seorang diri, dengan sebelah tangan. Tapi seekor binatang, betapa pun besar dan buasnya, sama-sekali lain dengan pasukan Turan yang dipimpin Afrasib dengan jendral-jendralnya. Kurasa kau belum cukup umur untuk maju ke medan perang. Kau pun juga belum berpengalaman. Aku tidak mau menyia-nyiakan jiwamu. Begitu pula jiwa para prajurit Zabulestan lainnya….”

“Seorang pemimpin yang baik bukan saja menghitung kemenangan dengan menghitung mayat lawan, tapi juga melihat mayat anak buahnya sendiri. Sebaiknya kau menunggu dulu selama setahun atau dua. Tunggulah sampai kau lebih matang dalam ilmu pe­rang…”

“Sekarang waktu yang tepat bagimu untuk bersenang-senang, untuk musik, sajak dan lagu. Berkecimpunglah dalam kesenangan. Makan minumlah banyak-banyak, kalau mungkin kau boleh jatuh cinta. Nanti akan tiba waktunya kau berkecimpung di medan pertempuran. Aku yakin kelak kau akan membuktikan diri sebagai prajurit yang perkasa. Kemasyhuranmu akan sampai ke mana-mana. Tapi itu untuk hari esok, anakku. Sekarang nikmatilah dulu kehidupan semasa kau masih muda.”

“Ayah,” kata Rustem.

“Bahuku yang bidang ditakdirkan untuk mengenakan baju besi dan memanggul senjata. Bahuku tidak sesuai untuk diberi pakaian sutera dan emas berlian. Tanganku yang kekar cocok untuk membawa gada perang, bukan gelas anggur atau harta. Betul, aku tidak begitu menyukai musik atau sajak. Musik yang cocok untuk telingaku hanyalah ringkikan kuda perang, lagu yang kusenangi hanyalah pekik peperangan orang-orang yang kupimpin.”

Rustem terus-menerus membujuk ayahnya supaya diperbolehkan maju ke medan perang. Akhirnya Zal menyerah. Rustem diijinkannya maju memimpin pertempuran. Bukan main gembira hati Rus­tem. Dia segera bersiap-siap untuk berangkat.

“Aku punya pedang pusaka yang tidak ada tandingannya,” kata Rustem.

“Busurku bagus. Aku juga punya gada perang pemberian kakek Sam. Sekarang yang kuperlukan tinggal seekor kuda perang. Kuda perangku harus cukup kuat untuk kunaiki, dan membawa senjata-senjataku selama berhari-hari. Kudaku tidak boleh mengenal rasa takut, dan cepat larinya. Dan bukan hanya itu saja. Kuda perang Rustem juga harus mengerti kehendak majikannya serta sabar.”

Di dalam kandangnya maupun kandang ayahnya ti­dak ada kuda yang cocok dengan kehendaknya. Maka Rustem mengirim semua pedagang kuda ke seluruh Zabulestan. Mereka disuruh mencari kuda yang paling bagus dari para pemelihara kuda.

Tapi semua kuda-kuda yang dibawa ke istana tidak ada yang memenuhi syarat. Setelah beberapa hari mendapatkan kekecewaan, Rustem memutuskan akan mencari kuda sendiri.

“Aku harus berangkat mencari kuda sendiri,” pikir Rustem.

“Kalau dipilihkan orang lain, aku tentu takkan mendapatkan kuda yang cocok dengan seleraku. Aku harus melihat sendiri semua kuda yang ada di negeri ini. Aku akan memilih satu yang paling baik.”

Maka Rustem lalu pergi berkeliling negeri Zabu­lestan. Dia hanya disertai beberapa orang pengiring. Dia juga tidak menunjukkan dirinya sebagai seorang pangeran. Mereka pergi ke mana-mana untuk mencari kuda yang cocok menurut syarat-syarat Rustem. Kalau dia melihat kuda yang rupanya bagus, Rustem menyuruh si pemelihara mengantarkan kepadanya. Rustem tidak mempedulikan kata-kata si pemelihara untuk melakukan dagangannya.

Dia hanya menekankan telapak tangannya ke punggung kuda. Setiap kuda yang dibawa kepadanya melengkung punggungnya, kalau ditekan oleh Rustem. Banyak yang sampai perutnya menyentuh tanah.

Kalau sudah demikian, Rustem menggelengkan kepalanya dan berkata, “Bawa kuda ini pergi. Dia tidak dapat menahan telapak tanganku saja. Jadi mana bisa dia mendukung tubuhku? Bawa pergi! Kuda ini tidak cocok bagiku.”

Dengan cara demikian Rustem mencoba semua kuda di negeri Zabulestan. Semua tidak ada yang memenuhi syarat. Maka mulailah dia pergi mengembara. Dia tetap menyamar sebagai orang kebanyakan.

Rustem pergi ke negeri Kabulestan. Dia menemui pedagang-pedagang kuda yang ada di situ. Di situlah, di tanah tumpah darah ibunya, akhirnya Rustem menemukan kuda yang dicarinya.

Di sebuah padang penggembalaan kuda, Rustem melihat seekor kuda yang menarik hatinya. Dia seekor kuda jantan yang masih muda. Dia berdiri dekat induknya. Badannya lebih tinggi dari kuda-kuda lain-nya. Dia kelihatan langsing tapi kuat. Telinganya tegak. Warna kulitnya kuning dengan bintik-bintik merah pada lambungnya. Suri dan ekornya berwarna merah api. Dia tegak berdiri dengan gagahnya.

Pada saat pertama kali melihatnya, Rustem menunjuk anak kuda yang sangat menarik hatinya.

“Itulah kuda untukku,” katanya.

“Bawalah ke sini kepadaku.”

Namun si pemelihara kuda menggelengkan kepalanya.

“Jangan, tuan,” katanya.

“Pilihlah kuda lainnya saja, jangan yang itu. Itu adalah Raksh. Dia milik orang lain. Kumohon kepadamu, tuan, janganlah mengingini kuda milik orang lain.”

“Kulihat belum ada cap pada tubuhnya,” kata Rustem.

“Mengapa kaukatakan dia milik orang lain? Dan milik siapakah kuda yang bernama Raksh? Aku mengingininya untuk menjadi milikku.”

“Jangan, tuan,” bujuk pemelihara kuda.

“Dia ber­nama Raksh, tapi kami biasa memanggilnya Raksh Rustem. Dia begitu kuat, dan hanya cocok untuk tunggangan seorang raksasa seperti Pangeran Rustem dari Zabulestan.”

“Maaf, tuan. Walau pun tuan seorang yang tinggi tegap, tapi tuan bukan raksasa. Bagaimana kalau Pangeran Rustem datang ke sini? Dan dia pasti datang ke sini. Lagipula, sebelumnya sudah banyak orang yang mengingini kuda itu. Tapi waktu dia naik ke punggungnya, dia segera dilemparkan ke tanah oleh Raksh. Induknya juga tidak memperbolehkan kalau ada orang mendekati anaknya…”

Rustem tertawa.

“Kalau kau tidak mau membawanya kepadaku, maka aku sendiri yang akan menangkapnya.”

Rustem mengambil tali dan membuat jerat pada ujungnya. Tali dilemparkannya, jeratnya tepat masuk ke leher Raksh. Rustem menariknya sampai kencang. Seketika Raksh berdiri tegap dan tidak bergerak-gerak seperti batu karang. Induknya meringkik sangat keras. Kemudian dengan kaki depan terangkat tinggi, dia maju menyerang Rustem. Rupanya dia marah ada orang yang berani menjerat anaknya.

Orang-orang yang berkerumun segera lari menghindarkan diri. Sementara itu Rustem tetap tegak. Tali pengikat kuda dipegangnya erat-erat. Waktu kuda betina datang menyerangnya, Rustem mengeluarkan suara geraman seperti seekor singa. Kuda betina berhenti, kemudian berbalik dan lari meninggalkan Rustem.

Rustem menarik tali pengikat kuda. Sedikit demi sedikit si kuda terseret makin mendekati Rustem. Setelah kuda cukup dekat, Rustem menekan punggungnya dengan telapak tangannya. Rustem menekan punggung kuda sekuat-kuatnya.

Namun tulang punggung kuda tidak melengkung sedikit pun. Dengan sekali lompatan, Rustem sudah mendarat ke atas punggung kuda. Kuda tetap tenang, seakan-akan hanya mendukung beban seberat seekor lalat. Namun kuda juga tidak berusaha melemparkan Rustem ke tanah. Rupanya Raksh Rustem segera mengenal tuannya yang datang untuk mengambilnya.

Rustem memanggil pemelihara kuda, “Tidak usah kebingungan, kawan! Aku Rustem sendiri. Aku datang untuk mengambil Raksh milikku. Nah, kau telah memelihara kuda ini dengan baik untukku. Kusampaikan terimakasih kepadamu. Sekarang katakanlah berapa harganya. Aku akan membayarnya, supaya kuda ini sah menjadi milikku.”

Air mata kegembiraan meleleh di pipi pemelihara kuda.

“Bagi tuan, Pangeran Rustem, aku tidak menjualnya. Aku tidak memasang harga bagi kuda ini,” katanya.

“Kuda ini milik tuan, sejak dia baru dilahirkan. Tapi kalau tuan ingin membayarnya juga, bayarlah dengan membebaskan Persia dari ancaman Turan yang memusuhinya. Ambillah kuda ini, tuan. Mudah-mudahan kuda ini bisa membawa kemenangan tuan atas musuh-musuh kita.”

Maka Raksh diberi kekang dan pelana. Dengan gembira Rustem menungganginya, kembali ke kota Zabul. Sejak saat itu terjalinlah persahabatan antara Rustem dengan Raksh, manusia dengan kuda. Persa­habatan mereka kekal. hanya terputus waktu mereka menghembuskan napas penghabisan.


Tamat

No comments:

Post a Comment