Pages

Tuesday, June 22, 2010

Manusia Tidak Pernah Puas - Anthony de Mello SJ

Pada suatu ketika hiduplah seorang penatah batu. Setiap hari ia pergi ke gunung-gunung untuk menatah batu. Sementara bekerja, ia bersenandung. Meskipun ia adalah orang miskin, ia tidak menginginkan lebih daripada yang ia miliki, sehingga ia tidak merisaukan dunia.

Suatu hari ia dipanggil untuk bekerja pada suatu rumah besar seorang bangsawan. Ketika ia melihat keindahan rumah itu, untuk pertama kali dalam hidupnya ia mengalami rasa sakit yang timbul dari suatu keinginan.

Ia berkata sambil menghela nafas panjang, “Seandainya saja saya kaya! Lalu saya tidak harus mencari nafkah dengan susah payah dan mengeluarkan keringat seperti sekarang.”

Bayangkan, betapa ia keheranan ketika ia mendengar suara, “Keinginanmu dikabulkan. Mulai sekarang keinginan apa pun yang kau punyai akan dikabulkan.”

Ia tidak tahu arti kata-kata itu sampai pada sore hari itu ketika ia kembali ke pondoknya, ia menjumpai suatu rumah besar seindah rumah di mana ia bekerja selama ini di tempat pondoknya dulu berdiri. Maka ia berhenti bekerja sebagai penatah batu dan mulai menikmati hidup sebagai orang kaya.

Suatu hari, ketika hawa sore begitu panas dan lembab, ia melihat keluar lewat jendela rumah dan melihat raja lewat diiringi oleh para bangsawan dan budak-budak.

Ia berpikir, “ Saya ingin menjadi raja, duduk dalam kereta kerajaan yang sejuk.”

Keinginannya segera terkabul. Duduklah ia bersandar dalam kemewahan kereta kerajaan. Akan tetapi kereta itu lalu menjadi lebih panas daripada yang semula ia pikirkan. Ia melihat keluar melalui jendela kereta dan mulai kagum akan kekuatan matahari yang panasnya dapat menyusup masuk melalui badan kereta yang tebal itu.

“Saya ingin menjadi matahari,” katanya kepada dirinya sendiri.

Sekali lagi keinginanannya dikabulkan. Ia menjadi matahari yang memancarkan gelombang-gelombang sinar panas ke jagat raya.

Semua berjalan baik untuk sementara. Lalu pada suatu musim hujan, sang matahari itu berusaha untuk menerobos segumpal awan, namun tidak berhasil. Maka ia mengubah diri menjadi awan dan berjaya dalam kekuatannya yang mampu menahan matahari, sampai ia berubah menjadi hujan dan berjumpa dengan karang yang menutup jalannya sehingga ia harus mengalir berputar mengelilingi karang ia terheran-heran.

“Apa ini?” serunya. “Karang lebih kuat daripada saya? Kalau begitu saya ingin menjadi karang.”

Demikianlah terjadi, ia berdiri tegak menjulang di lereng gunung. Tetapi ia hampir tidak mempunyai kesempatan untuk bergembira sebagai karang. Ia mendengar suara memecah yang aneh yang berasal dari kakinya. Ia melihat ke bawah dan menjadi kecewa karena ia melihat seorang manusia kecil duduk di sana dan sedang bekerja menatah bongkah-bongkah batu dari kakinya.

“Apa ini?” teriaknya.

“Makhluk kecil seperti itu lebih kuat daripada karang perkasa seperti saya? Saya ingin menjadi manusia! Demikianlah sekali lagi ia menjadi seorang penatah batu, naik ke gunung menatah batu untuk mencari nafkah dengan susah payah dan keringat, dengan hati penuh senandung karena ia merasa bahagia menjadi penatah batu seperti dulu dan hidup dengan yang ia miliki.

“Tidak ada sesuatu pun yang sebaik seperti kelihatannya ketika kita belum memperolehnya.”

No comments:

Post a Comment