Pages

Tuesday, June 22, 2010

Santa Katarina Dari Siena - Riwayat Santa

Tepat pada pesta Minggu Palem tahun 1347 yang jatuh pada tanggal 25 Maret, lahirlah seorang anak yang ke-23 dari keluarga Jacomo Benincasa dari Siena. Sungguh berbahagia Mona Lapa isteri Jacomo ini, karena bayi yang dilahirkannya itu di kemudian hari menjadi pemudi termasyhur yang mengagungkan kota Siena, kota kelahirannya.

Lapa seorang wanita yang baik budi lagi sangat cekatan dalam menyelenggarakan rumah tangganya. Namun keinginan akan kehidupan abadi belum dapat menggetarkan hatinya. Lapa selalu giat penuh perhatian bagi peristiwa-peristiwa dunia sekitarnya. Maka dari jantung ibu Mona Lapa mengalir sifat keberanian yang selalu siap giat ke dalam kalbu anaknya, sedangkan kebaktian serta kelembutan hati diwarisinya dari bapa Jacomo.

Katarina kecil, anak kesayangan penghuni Via dei Tintori, amat riang lagi lemah lembut tingkah lakunya. Mulut Katarina tak mungkin diam! Tutur katanya ringan lagi cepat, bagai ombak air yang tak pernah surut. Katarina kecil selalu berlompat-lompatan sambil berlagu merdu.

Hanya bila para pastor Santo Dominikus lewat, barulah Katarina tenang sejurus. Diamat-amatinya langkah para biarawan yang berjubah hitam putih sehingga lebih pucat kelihatan muka mereka.

“Aku pun menjadi pastor Santo Dominikus kelak!” seru Katarina ketika barisan mereka telah lalu.

Dan gadis kecil itu tak mengerti mengapa ia ditertawakan. Bibirnya menjorok ke muka seakan-akan hendak menangis.

“Tak mengapa manis, tapi pastor Santo Dominikus harus banyak berdoa dan berdiam diri,” bujuk seorang wanita.

“Aku pun dapat,” jawab Katarina kecil.

Keteguhan hatinya mulai memancarkan keindahannya. “Sejak hari itu, Katarina belajar berdiam dan berdoa beberapa saat setiap senja,” kata Mona Lapa.

Pada suatu senja ketika Katarina berumur kurang lebih 6 tahun, bersama Stephano yang lebih tua sedikit, pulang dari rumah kakak Bonaventura yang letaknya dekat menara San Ansana. Tiba-tiba, dekat bukit Camporeggi yang menghijau sekeliiing gereja San Domenico, Katarina berhenti. Matanya terbeliak tiada berkedip memandang jauh ke langit seakan-akan dilihatnya sesuatu yang indah bukan buatan. Stephano, yang tiada melihat apa-apa, marah kepada Katarina.

Dipegangnya dan diguncang-guncangnya bahu adiknya sambil berteriak, “Katarina, gilakah engkau? Ayo! Kita harus pulang sebelum gelap!”

Katarina mengeluh sambil memandang Stephano dengan penuh keheranan.

Bisiknya dalam hatinya, “Ah! Sekarang hilang lenyap! Jika engkau pun dapat melihatnya tentu tak mengganggu.”

Tanpa bercakap-cakap mereka beriring berjalan terus. Beberapa wanita nampak sedang menanti di sumber mata air dan anak-anak sedang bermain di halaman rumah. Tapi Katarina tak mengacuhkan lagi hal itu. Segala sesuatu seakan berubah baginya. Ya, sejak senja itu Katarina terpikat pada penampakan surgawi di langit terbelah. Dan dalam sanubarinya tak akan membiarkan lagi ajakan mesra dari dunia abadi.

Pada suatu hari ketika ajakan itu menghebat mengganggu kalbunya, pergilah Katarina meninggalkan rumah ayah ibunya. Dan, ketika dilihatnya pintu gerbang Sant Sano terbuka lebar-lebar, ditinggalkannya pula kota Siena. Tiada lama antaranya, tibalah Katarina di lembah Vallepiatta yang kaya akan bukit karang dan gua-gua yang terbentuk oleh tetesan air hujan yang meresap ke dalam batu karang kapur.

“Ha, ini padang gurun tempat para pertapa tinggal,” pikir Katarina sambil memasuki sebuah gua.

la berlutut dan mulai berdoa hingga lupa segala sesuatu di sekelilingnya. Ketika Katarina kecil sadar kembali, matahari telah terbenam dan bunyi cengkerik telah ramai membelah kesunyian alam. Tiba-tiba Katarina merasa takut kalau-kalau pintu gerbang kota telah ditutup. Entah bagaimana, bagaikan melayang saja, Katarina telah tiba dekat Sant Sano. Cepat-cepat Katarina pulang.

“Apakah nanti jawabnya, jika ditanya bunda?”

Untung Mona Lapa tak menanyakan apa-apa … pikirnya, Katarina tadi pergi ke rumah Bonaventura.

Dan Katarina telah jera hidup serupa pertapa, hanya satu hal yang terang baginya, Katarina berjanji kelak tak akan menikah, hanya akan mengabdikan hidupnya dengan cara lain pada Tuhan. Sejak hari itu juga Katarina mulai berpantang bahkan haram baginya makan daging … Mona Lapa membiarkan saja perbuatan anaknya hingga Katarina berumur 12 tahun. Kemudian Mona Lapa mulai mempengaruhi anaknya.

Dibujuknya Katarina, supaya ia mau bersolek sedikit dan dilarangnya bepergian seorang diri. Rupanya Katarina terbujuk oleh ibunya hingga … bulan Agustus tahun 1362. Bonaventura kakak yang sangat dicintainya meninggal dengan tiba-tiba. Tiba-tiba pula sadarlah Katarina akan ketidaksetiaannya akan tujuannya … Katarina sangat menyesali masa lalainya, dan berjanji akan membelakangi kehidupan yang lancung itu.

Tapi ibu Mona Lapa tak mengindahkan perubahan sikap anaknya. Mona Lapa bersama Jacomo bersepakat pula hendak mencarikan jodoh yang patut lagi tampan bagi anak mereka yang bungsu itu. Sia-sia belaka, Katarina menolak. Untuk pertama kalinya gadis itu berani membantah kehendak ibu bapanya.

Mona Lapa ber-sungut-sungut keberangan, “Akan kusuruh bekerja hingga jera si keras kepala itu!”

Namun Mona Lapa salah sangka. Katarina bekerja dengan rajin sekuat tenaganya dengan penuh hormat dan ramah tamah tiada bedanya. Tetapi tetap teguh memegang pendiriannya. Akhirnya bapa Jacomolah yang membantunya. Tak sampai hatinya melihat Katarina makin pucat lagi kurus. Maka pada suatu hari dilarangnya Mona Lapa mengganggu Katarina.

“Biarlah anak itu menuruti dorongan kalbunya,” katanya.

“Masakan kita berhak merintangi pergaulan yang suci itu. Malahan kita akan terberkati oleh doanya!”

Mona Lapa tidak menjawab. Memang Katarina dibebaskannya pula. Tapi dalam hati, Mona Lapa tetap berharap bahwa Katarina lambat laun akan terpikat akan kesenangan duniawi …

Kota Siena berhutang budi terhadap Suster-suster yang dinamakan “Mantellate”. Gaun seragamnya yang bercorak hitam putih menyatakan bahwa perkumpulan biarawati itu berhubungan dengan Santo Dominikus, pendiri Ordo Santo Dominikus itu. Mereka tinggal sendirian atau dengan teman di tengah masyarakat.

Nah, ke arah inilah kecondongan angan-angan Katarina. Setelah dipikirkannya masak-masak, serta ditimbang baik buruknya, Katarina memutuskan akan memohon ijin kepada ibu Mona Lapa. Tetapi, tiada lama antaranya, ketika Katarina sedang mencari jalan untuk membuka hati ibunya, ia jatuh sakit. Katarina terserang penyakit cacar dengan hebatnya. Siang malam Mona Lapa tak meninggalkan tempat tidur anaknya. Tapi, meski bagaimana jua bujuknya, Katarina tiada suka makan dari segala masakannya yang lezat. Karena putus asa Mona Lapa mulai meratap penuh keluh kesah.

“Apakah gerangan yang dapat ibu lakukan bagimu, Katarina?” bujuknya dengan suara yang putus-putus kesedihan.

Mendengar ratapan ibunya, Katarina membukakan matanya. Seperti hidup kembali, bersinar pula matanya yang telah pudar itu.

“Ibu,” bisiknya.

“Kalau sungguh ibu ingin saya sembuh usahakanlah supaya saya diterima oleh pembesar Suster Mantellate. Jika tidak, kukira bapa Santo Dominikus sendiri akan bertindak …”

Sebagai disengat kala Mona Lapa terlonjak serta memucat. Matanya terbeliak seakan-akan melihat sesuatu yang ngeri. Kemudian, setelah bangkit, Mona Lapa pergi dengan tiada mengucapkan sepatah kata pun. Seperti orang yang diburu, Mona Lapa lari ke luar rumah, langsung pergi menghadap Suster Kepala para Mantellate.

Katarina yang muda remaja diterima dan kabar gembira itu bagai obat mujarab menyembuhkan dan menyegarkan kembali badannya yang telah lemah itu. Di belakang rumah keluarga Benincasa ada sebuah kamar sempit, panjang lebarnya tiga meter. Itulah kamar yang dipilih Katarina untuk menyesuaikan dirinya dengan peraturan Mantellate.

Sebuah balai-balai dari kayu tanpa kasur, sebuah meja beserta kursinya, dan sebuah peti untuk menyimpan pakaiannya, itulah perabotnya. Dan dindingnya yang putih bersih terhias dengan sebuah salib, tergantung agak tinggi sehingga tersinari cahaya surya yang menerobos masuk melalui jendela sempit yang tinggi pula letaknya.

Tapi, tidak begitu saja Katarina dapat mencapai ketenteraman batinnya. Memang, sejak ia mengenakan seragam Mantellate,_ ajakan membisu dapat dilaksanakan. Namun gangguan yang jauh lebih hebat kadang-kadang menggetarkan seluruh badannya. Ialah yang timbul dari hasrat hatinya yang muda yang mulai dewasa.

Kadang-kadang seperti berwujud, menjadi bayang-bayangan yang hidup yang bersuara merdu membujuk, “Ah Katarina, apakah gunanya berdoa dan berpantang, mengapa kau sesah sekejam itu rohmu yang tak bersalah … bolehkah kau rugikan sedemikian banyaknya tubuhmu yang muda lagi elok rupanya. Marilah, turut dengan kami, tanggalkan gaunmu yang aneh itu, dan kamu akan bahagia!”

Untung Katarina anak ibu Mona Lapa yang berani lagi kuat, anak bapa Jacomo yang teguh hati berbakti terhadap Tuhan, berhasil mengatasinya. Lambat laun, berkat pertempuran mati-matian yang berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan mengharu kalbunya, Katarina berhasil mengalahkan seteru yang tak terperikan liciknya.

Pikirannya menjadi terang lagi hening kembali. Minatnya dapat dikumpulkannya dan diarahkannya pula ke keluhuran. Ya kini, sebagai anugerah yang luar biasa terwujud juga kemenangannya, pada jari manisnya tampaklah oleh Katarina sebentuk cincin indah bukan buatan. Cincin yang tak pernah kelihatan oleh orang lain, tapi lebih berkilau-kilauan dalam pandangan Katarina.

Kadang-kadang muram muka Katarina, yakni bila ia kurang sempurna dalam keputusannya, hingga cincin ajaib itu tak tampak pula pada jari manisnya. Namun setelah disesalinya perbuatan itu, dan dikejar pula cita-citanya yang luhur, tampak juga kembali cincin berlian ajaib, lambang cinta murni yang mengikatnya kepada Yesus Kristus …

Maka, setelah selesai perjuangan batinnya yang dahsyat, setelah tercapai ketenteraman hati yang hampir sempurna itu, layaklah Katarina untuk menerima anugerah baru. Wahyu menyadarkan jiwanya, bahwa Cinta kepada Tuhan ialah sama dengan cinta murni terhadap segala manusia. Dan Katarina yang setia taat kepada wahyu, sejak saat itu mulai meninggalkan kamar pertapaannya. Akan bergaul pula dengan seisi rumah dan siap menolong yang memerlukannya. Ya lambat laun perhatian Katarina tertarik oleh bencana yang boleh dikatakan selalu mengembangkan sayapnya di atas setiap kota.

Katarina mulia beriba melihat yang sakit, yang sengsara karena kemiskinan, yang bersusah karena akibat dosa. Katarina dapat melupakan dirinya, melupakan keinginannya akan menyucikan jiwanya dalam pertapaan. Dia menjelma sebagai seorang perawat yang sabar tak ada taranya, berani mengorbankan tenaga serta waktunya pro Deo saja.

Katarina menolong si miskin sedapat-dapatnya, dan rahasia gaib, Katarina seperti berkuasa memperbanyak persediaannya bagi kebutuhan si miskin. Wahyu yang seakan-akan tak undur lagi dari bisikan kalbunya mendidik Katarina sebagai seorang ibu rohani yang bijak luar biasa. Dengan mudah dia menyelidiki keadaan lahir batin. Dengan pandangnya yang tajam dan dengan akalnya yang panjang, berhasillah dia membebaskan orang dari belenggu dosa.

Setelah kematian ayahnya, Jacomo penyayang kedamaian, pada bulan Agustus 1368, Katarina tak sanggup lagi tinggal di rumah keluarga Benincasa yang kini ramai oleh percekcokan. Katarina pindah ke rumah seorang Mantellate lain, Lisa namanya.

Sementara itu wahyu terus-menerus jelas menerangkan kehendak Tuhan. Tugas yang sebenarnya, kepadanya. Katarina amat kecut, takut tak terperikan hingga … lelah rasa urat sarafnya … bingung, dan pikirannya kusut laksana benang. Namun suara wahyu itu tetap mendorong … mendesaknya.

Akhirnya Katarina jatuh sakit, sakit payah. Penyakit yang ajaib pula, aneh-aneh gejalanya yang makin menghebat. Sekonyong-konyong Katarina memuntahkan darah amat banyaknya dan beberapa detik kemudian jantungnya berhenti berdenyut. Tetapi, bapa pengakuannya Fra Thomas yang tahu betapa tinggi tingkat kemuliaan yang telah tercapai oleh Katarina mencoba akalnya yang tiba-tiba terbit dalam ingatannya. Dipegangnya tangan Katarina dan diletakkannya di atas dadanya. Ketika itu juga darah berhenti mengalir, jantung Katarina turun naik pula, dan ia membuka matanya …

“Sembuhkah kau, Katarina?” tanya Fra Thomas.

“Ah untuk keselamatan jiwa manusia,” keluh Katarina.

Suara wahyu terdengar pula nyata sekali, “Ayo, Katarina, siaplah! Tinggalkan kota serta negerimu. Kau harus mengembara dari kota yang satu ke kota yang lain. Akan Kuberkati perkataanmu dengan kejujuran tiada bandingnya. Kamu harus melaksanakan PerintahKu yang utama dan menjadi perantara antara pembesar Gereja serta Negara.”

Dan Katarina tunduk.

Kepada ibunya Mona Lapa dia menulis, “Jangan khawatir, bu, memang kita wajib mempersembahkan hormat dan hasil kerja kita bagi sesama manusia sebagai persembahan kita pada Allah yang Maha Tinggi.”

Mula-mula kota Siena yang merupakan gelanggang dalam perjalanan Katarina guna mengejar dan memikat kembali jiwa manusia yang celaka, telah dilarikan jauh-jauh oleh si setan licik. Namun, semakin masyhur lagi harum nama Katarina karena berhasil mendamaikan musuh dengan musuh, semakin ganas juga suara fitnah mendengung-dengung. Katarina terperanjat mendengar ocehan fitnah itu. Betapa sakit hatinya, bagai tersayat-sayat ketika dialaminya bahwa fitnah tersebut mendalam di pikiran orang. Bahkan sampai terjadi pula, pastor berbuat seperti tak melihat Katarina bila dia menghadapi meja suci.

Kepala dari Suster-suster Mantellate sedang menimbang apakah tidak lebih baik jika Katarina dibebaskan saja dari kaulnya. Tapi herannya, Katarina berlaku seperti bisu tuli. Sekali pun ia tak membantah atau mendakwa algojo batinnya itu. Teguh kepercayaannya atas perlindungan Tuhan. Dan kepercayaan itu tidak sia-sia. Satu per satu mereka tercekik oleh suara fitnahnya sendiri. Dan harum semerbak kesucian Katarina mewangi menghambur ke mana-mana.

Kata orang, Katarina dapat menyelami lubuk hati siapa jua pun. Katarina hampir selalu berpuasa hanya bersantapkan Ekaristi. Sekali peristiwa, Katarina sedang sakit tak berdaya ke gereja. Dan seorang pastor hendak menguji kesucian Katarina. Seperti biasa pastor itu datang dengan membawa peralatan upacara, tetapi dengan hosti yang belum dikonsakrir. Tapi Katarina tiada bergerak, tiada menyatakan hormatnya.

“Mengapa,” demikian tegurnya.

“Pastor membawa roti dan bukan Ekaristi Suci kepadaku?”

Tahun 1373 seluruh dunia gugup gelisah. Rupanya tiada lagi terdapat makhluk yang tak akan memungkiri janjinya. Rakyat melawan para pemimpinnya. Hanya bayang-bayang bencana kejam meliputi dunia semesta. Ketika itu Katarina bertindak menyampaikan pesan Tuhan kepada bapa Paus Gregorius XI, juga kepada beberapa pembesar yang berpengaruh menurut suara wahyu yang tetap nyaring terdengar.

Lambat laun Katarina memperoleh bantuan dari beberapa orang (pria maupun wanita) yang percaya atas tugasnya. Mereka turut mengembara mengikuti suara wahyu yang merangsang agar mendamaikan kota yang satu dengan kota yang lain. Di antara mereka ada pula Alessia (Lisa) dan Raymond da Capa yang pada tanggal 12 Mei 1380 dipilih sebagai jenderal dari Ordo Santo Dominikus. Pembantu pria yang lain semuanya menjadi biarawan sepeninggal Katarina.

Paskah tahun 1380, Katarina mencapai umur 33 tahun. Dan ia tak berdaya lagi pergi ke gereja. Badannya hanya tinggal tulang terbalut kulit. Beberapa minggu Katarina sakit dirawat oleh Lisa dan ibu Mona Lapa. Pada tanggal 29 April tepat jam 12 siang Katarina berpulang. Harum mewangi sekeliling jenazahnya. Dan, meski jenazah itu tiga hari tinggal terbaring di meja mati, tetap bagus dan mudah digerakkan anggotanya bagai orang yang hanya tertidur saja.

Pada makamnya terjadi peristiwa yang mengherankan seperti pada makam para kadis yang lain. Sekali lagi pohon-pohon zaitun di Via Romana akan melambai-lambaikan dahannya kepada puteri kota Siena, Santa Katarina. Yaitu, pada tanggal 5 Mei 1383, ketika jenazah Katarina diusung kembali akan dimakamkan di kota yang masyhur karenanya!

Hari pestanya dirayakan pada tanggal 30 April.

Santa Katarina, semoga tindakanmu,

yang penuh keberanian namun dapat dipertanggungjawabkan,

dapat pula menggerakkan jiwa kami dalam mencari kehidupan abadi

sesuai dengan bakat panggilan diri kami!

No comments:

Post a Comment