Pages

Tuesday, June 22, 2010

Surat - Kuasa Doa Itu Nyata

Saya memandang dengan tatapan tak percaya pada surat yang ada di tangan saya ini. Menantu laki-laki saya, Mike, baru saja memberi tahu saya bahwa saya tidak akan pernah dapat bertemu dengan ketiga cucu perempuan saya.

Anak perempuan saya, Kari, baru berumur 24 tahun ketika ia didiagnosa menderita tumor otak yang tidak dapat dioperasi. Saat itu ia memiliki dua orang anak perempuan dan sedang mengandung anaknya yang ketiga. Tindakan kemoterapi dan radiasi yang intensif menghentikan pertumbuhan tumor itu untuk sementara. Namun kini, delapan belas tahun kemudian, Kari sakit parah karena tumor tersebut sudah menjalar ke sel otak yang lain.

Sesuai dengan permintaan Mike dan Kari, saya pindah ikut keluarga tersebut pada musim panas ketika gejala penyakit Kari semakin parah dan ia mulai menjalani perawatan lagi. Saya lebih banyak berperan sebagai ibu bagi anak-anak mereka ketika Kari semakin lemah.

Saya mulai melihat sikap Mike yang semakin gelisah ketika saya ada. Saya tahu ia sedang mengalami stres berat, tetapi saya merasa bahwa ia merasa jengkel atas hubungan saya dan Kari, dan juga atas kedekatan saya dengan anak-anak. Saya terluka. Bagaimana mungkin saya dapat menolong apabila saya tidak ikut terlibat dalam kondisi mereka?

Kari menghabiskan sisa hidupnya selama enam bulan di rumah sakit perawatan bagi penderita kanker yang sudah kronis. Selama masa itu Mike sama sekali tidak mengizinkan saya untuk berkomunikasi atau bertemu dengan anak-anak mereka. Bermalam-malam saya menangis seorang diri. Saya kerap mengunjungi Kari ketika ia bergumul untuk menerima apa yang sedang terjadi. Hati saya hancur ketika menghibur anak-anaknya, karena mereka melihat bahwa ibu mereka se­dang sekarat.

Kari meninggal dua minggu sebelum Hari Raya Pengucapan Syukur. Kini Natal sudah hampir tiba ketika saya memegang surat dari Mike. Kata-katanya sangat menusuk hati.

“Tuhan, saya memohon, bagaimana mungkin aku tahan untuk tidak bertemu dengan Megan, Amanda, atau Sarah lagi, sementara hati saya hancur karena kehilangan Kari?”

Malam itu saya tidak dapat tidur. Saya berjalan menyusuri lantai, memohon kepada Tuhan untuk memberi saya sesuatu untuk bertahan, sesuatu yang dapat memberi harapan.

Ayat Alkitab yang saya pelajari beberapa waktu silam muncul dalam benak saya, “Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepadaNya sebab Ia memelihara kamu.”

Kebenaran ini akhirnya, memberi saya cukup damai sejahtera untuk dapat tidur.

Namun, keesokan paginya, saya kembali tenggelam dalam depresi. Bagaimana dengan Natal nanti? Apakah saya boleh memberi kado bagi anak-anak itu?

Sekali lagi kalimat itu berlarian di benak saya, “Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepadaNya….”

Saya berdoa, “Tuhan, Engkau tahu tentang semua ini. Aku menyerahkan seluruh situasi ini ke dalam tanganMu. Aku akan menunggu dan melihat apa yang akan Engkau lakukan.

Saya meyakini apa yang saya ucapkan, tetapi sebagian dari diri saya merasa hancur dan marah terhadap cara Mike berbicara dengan penuh kemarahan terhadap saya. Apakah saya adalah kambing hitam atas kepedihan dan kemarahannya? Dan mengapa saya? Saya ingin melakukan sesuatu untuk menunjukkan betapa tidak adilnya Mike. Saya ingin membenarkan posisi saya.

“Tuhan, apakah aku sebaiknya membawanya ke pengadilan?” saya bertanya-tanya.

“Tidak adakah hukum untuk situasi seperti ini? Tuhan, apakah aku sebaiknya menulis surat balasan dan dengan jelas menunjukkan ayat-ayat Alkitab tentang bagaimana kita selayaknya memperlakukan sesama orang kristiani?”

Namun, setiap kali saya berpikir tentang hal itu, saya ingat bahwa saya berjanji untuk memercayai penyelesaian dari Tuhan.

“Bantulah aku untuk menyerahkan semua ini ke dalam tanganMu, Tuhan ….”

Natal semakin dekat dan belum terjadi apa-apa. Saya bertanya-tanya apa yang dipikirkan para gadis itu. Apakah me­reka tahu tentang surat ayah mereka itu, atau apakah mereka berpikir bahwa Nenek tidak mau bertemu dengan mereka lagi?

“Tuhan, bantulah aku supaya terbebas dari masalah, aku toh tidak dapat mengendalikan Mike.”

Namun kemudian, telepon berdering di suatu malam.

Ketika saya angkat dan berkata, “halo.”

Terdengarlah suara seorang laki-laki, “Hai … ini Mike.”

Mulut saya terasa kering ketika saya berusaha menjawab dengan sopan, “Ya?”

“Aku…. aku ingin meminta maaf atas perlakuanku terhadap ibu,” katanya.

“Ini bukan salah Ibu.”

la selanjutnya berkata, bahwa ia mencurigai saya tanpa alasan. la mencoba untuk meyakinkan diri bahwa saya telah mencuri kasih saya anak-anaknya dari dirinya.

Kemudian ia berhenti sejenak, “Saya mencoba bertumbuh dalam relasi dengan Tuhan, namun saya masih menyimpan kemarahan terhadap Ibu. Saya tidak beranjak ke mana-mana.”

Jantung saya berdegup kencang ketika Mike menjelaskan, bahwa Megan mengatakan kepadanya mengenai sikapnya dengan berkata, “Ketika Amanda dan aku bertengkar, ayah menyuruh kami meminta maaf. Ayah harus memaafkan nenek.”

la mengatakan bahwa teman-temannya mendoakan dan memberikan nasihat kepadanya, agar tidak memisahkan anak-anaknya dari sang nenek. Sikapnya itu justru menambah kesedihan mereka.

Mike mengakhiri percakapan selama hampir dua jam dengan meyakinkan saya bahwa anak-anak itu diperbolehkan datang ke rumah saya kapan saja.

Ia menambahkan, “Kapan Ibu dapat bergabung dengan kami merayakan Natal?”

Sebelum menutup telepon, Mike berkata, “Ketahuilah, aku menyayangi Ibu.”

Alangkah mudahnya saya berkata kepadanya, “Mike, aku juga menyayangimu.”

Saya menutup telepon dan berseru, “Terpujilah Tuhan!”

Doa saya yang tersendat-sendat pun cukuplah. Tuhan masih bekenan, bahkan ketika saya tidak tahu harus berbuat apa.

Setelah Natal itu, Mike mengatur agar anak-anak gadisnya menginap pada akhir minggu setiap bulan dengan saya, sehingga mereka dapat melakukan aktivitas cewek. Mereka menghabiskan waktu bersama ketika liburan, dan Mike selalu menelepon agar saya tahu jadwal acara-acara sekolah, se­hingga saya dapat menghadiri konser dan pertunjukan drama anak-anak gadis itu. Keluarga tersebut juga berlibur bersama pada musim gugur berikutnya. Saya senantiasa bersyukur kepada Tuhan atau peran yang saya nikmati di masa saya menjadi seorang nenek.

NOTE:

Tuhan tidak menuntut kesempurnaan doa.

Sebagian orang jatuh dalam perangkap pemikiran bahwa mereka tidak tahu cara berdoa yang benar. Alkitab mengatakan bahwa berdoa itu lebih mudah daripada yang kita pikirkan. Marilah kita lihat contohnya dalam Alkitab.

Ketika para murid datang kepada Yesus dan berkata, “Tuhan, ajarkanlah kami berdoa.”

Jawabnya sederhana dan ringkas. Seba­gian besar dari kita tahu bahwa doa yang Ia ajarkan adalah doa Bapa Kami.

Yesus menghargai doa sederhana yang diucapkan seorang pemungut cukai, “Ya Tuhan, kasihanilah aku orang berdosa ini.”

Yesus mengatakan kepada kita, “Janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Tuhan. Mereka menyangka bahwa dengan banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan.”

Yesus menyembuhkan mereka yang semata-mata menggemakan kata-kata dalam Mazmur, “Kasihanilah aku, ya Tuhan.”

Anda tidak perlu berdoa dengan sempurna. Doa yang Anda ucapkan juga tidak selalu harus orisinil. Juga tidak harus berupa kata-kata indah.

Anda dapat sekadar datang kepada Tuhan dan berkata, “Tuhan, aku tidak tahu apa yang harus aku doakan. Bantulah aku untuk menyerahkan kekhawatiranku kepadaMu dan menanti jawabanMu.”

Semua itu adalah sungguh-sungguh penting dalam doa Anda.

“Tuhan, sepanjang hidupku aku berusaha untuk berdoa de­ngan benar. Kerap kali aku takut untuk membuka mulutku karena takut mengucapkan doa yang salah atau menggunakan kata-kata yang keliru. Sejak saat ini, aku mau datang ke hadapanMu dengan penuh keyakinan bahwa RohMu akan membantuku untuk berdoa kapan saja, tentang apa saja.” Amin.

No comments:

Post a Comment