Pages

Sunday, June 13, 2010

Si Bintang Kejora - Indonesia (Uncategorized)

Di suatu dusun tinggal seorang anak gadis. la miskin, dan ia harus mencari makan sendiri, karena orang tuanya tak ada lagi. Tapi gadis itu tak pernah mengeluh. la bekerja dengan rajin dan penuh kegembiraan. Tiap pagi terdengarlah nyanyiannya yang merdu di sela-sela air yang disiramkan pada pokok-pokok bunganya. Wajahnya yang sangat molek seringkali membuat orang-orang dan anak-anak yang memandangnya tertegun. O, alangkah molek ia, alangkah molek.

Ketika umurnya genap 15 tahun, kecantikannya telah menjadi buah bibir seluruh dusun yang berdekatan dengan dusunnya. Bahkan sampai juga ke dalam istana. Pangeran yang masih belia dan tampan, tertarik mendengar berita itu. la ingin melihat si Molek, demikianlah nama yang diberikan kepada gadis itu. Si Molek tentu tak akan menolak bila ia melamarnya, pikirnya.

Melamar? O, tidak. Pangeran adalah pemuda yang sangat angkuh. la putera tunggal baginda raja, yang segala kemauannya tak pernah ditolak. la tak akan meminta kepada siapa pun bila ia menginginkan sesuatu. la hanya akan memberi perintah agar apa yang diinginkannya itu dipersembahkan kepadanya. Begitupun halnya dengan si Molek. Si Molek harus datang kepadanya menyerahkan diri.

Pada suatu hari diutuslah seorang pengawal kepercayaannya ke rumah si Molek.

“Molek, kau diperintah pangeran datang menghadap,” kata pengawal.

“Untuk apakah?” tanya si Molek terperanjat.

“Pangeran ingin melihatmu.”

“Melihatku? Untuk apa?”

“Bersiap-siaplah. Kau akan mengetahuinya nanti di istana.”

Si Molek gemetar ketakutan. Salah apakah yang telah dilakukannya? Tapi ia tak berdaya. Ia pun berangkat ke istana bersama pengawal itu.

Pangeran terpesona melihat si Molek, dan seketika itu juga jatuh cinta. Duduk di atas permadani tebal yang indah berbunga-bunga, si Molek menundukkan wajahnya. Rambutnya yang panjang bergelombang tergerai di pundaknya. Alangkah molek ia, alangkah molek. Tapi pangeran yang angkuh menyembunyikan kekagumannya.

“Lihatkah aku,” katanya.

Si Molek menengadah, dan terpandanglah wajah pangeran yang tampan. Seketika itu pula ia pun merasa jatuh cinta. Tapi keangkuhan pangeran menyakitkan hatinya.

“Engkau harus mengucapkan terima kasih, karena engkau kupilih menjadi isteriku. Menyembahlah!”

Seketika itu pula si Molek membelalakkan matanya.

“Tidak!” katanya tiba-tiba.

Matanya yang lembut memancarkan api kemarahan. Pangeran berdiri dengan terkejut. Kedua tangannya terletak di pinggangnya.

“Hai, gadis dusun, engkau tak tahu akan dirimu. Aku, putera mahkota kerajaan ini, aku perintahkan engkau menyembahku. Lakukan!”

Si Molek sadar akan dirinya, lalu merundukkan tubuhnya di hadapan pangeran.

“Sebagai ganjaran atas keberanianmu, engkau akan kupenjarakan. Pengawal, masukkan dia ke dalam rumah kecil!”

Si Molek dibawa ke rumah kecil. Rumah itu terletak di sebuah sudut taman istana bagian belakang. Kecil molek. Tapi sekelilingnya dip agar besi yang kokoh dan tinggi. Tiap anggota keluarga istana yang dianggap berbuat tak senonoh, dimasukkan ke dalam rumah pengasingan itu. Ke situlah si Molek dibawa.

Beberapa saat lamanya si Molek tercengang-cengang. Alangkah indah semua yang ada di sini. Di depan rumah terhampar taman bunga yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Ia sangat senang. Diciuminya bunga-bunga itu. O, ia seakan mimpi.

Tapi kemudian ia sadar akan keadaannya. la terpenjara di sini. la tawanan pangeran. Dengan sedih dipandangnya pagar besi yang mengelilingi rumah itu. Tak mungkin ia meloloskan diri. Dan ia tak bisa menduga, berapa lama ia harus berada di sini! la teringat dusunnya. Dan orang-orang yang mencintainya. Siapakah yang mencintainya di sini?

Pagi-pagi sekali ketika kicau burung yang pertama terdengar, si Molek bangun. Dibukanya jendela kamarnya. Semilir angin mengusap-usap wajahnya. Dan harum bunga-bungaan memenuhi rongga dadanya. Alangkah senang! Apakah ia saat ini berada di alam khayal dan menjadi puteri raja?

Perlahan-lahan ia ke luar. Sinar matahari mulai nampak. Embun berkilauan di rumput-rumput dan di kelopak-kelopak bunga.

“Puteri raja aku kiranya!”

la melamun. Tiba-tiba terpandang olehnya pagar besi yang kokoh itu. Pintunya terkunci dari luar. Si Molek memegang bingkainya dan mengguncang-guncangnya. Bingkai itu sedikit pun tak bergerak. Seorang pelayan tua datang membawa baki berisi makanan. Dibukanya pintu yang kokoh itu, lalu ditutupnya kembali.

“Molek namamu?” tanya pelayan tua itu.

“Ya.”

“Tepat sekali. Mengapa engkau ada di sini?”

Si Molek tak menjavvab. Diletakkannya semua ma­kanan itu di atas meja.

“Jangan nenek menanyakan hal itu padaku. Aku tak tahu mengapa aku dipenjarakan di sini.”

Mata si Molek berlinang-linang. Pelayan tua itu terharu.

“Aku tak boleh lama-lama di sini. Makanlah, dan tak usah sedih,” ia menghibur si Molek seraya bangkit.

Si Molek tinggal sendiri lagi. Makanan itu tak dijamahnya. Siang datang, lalu malam, Ia tetap tak mau makan.

“Molek, jangan bodoh. Engkau akan jatuh sakit,” bujuk si pelayan tua.

Si Molek menatap ke luar jendela. la ingat kebun bunga di depan rumahnya. Kebun bunga itu dirawatnya dengan penuh cinta.

“Ah, mengapa itu tidak dikerjakannya juga di sini? Dengan demikian, kesedihannya karena di kurung bisa berkurang,” pikirnya.

Pagi-pagi esoknya ketika matahari mulai menyembul dari balik bukit, si Molek terbangun. Dibukanya pintu dan jendela. la melangkah ke dalam taman. Diciuminya bunga-bunganya. Sinar matahari menyentuh wajahnya, dan bunga-bunga itu bagaikan malu ditatapnya. Titik-titik embun nampak di kelopak-kelopak dan di daun-daun bunga, berkilau-kilauan bagai intan.

Si Molek sangat senang. Harum bunga-bunga itu memenuhi rongga dadanya, dan segera saja ia terlupa akan kesedihannya. Sebulan telah berlalu. Pada suatu pagi, datanglah pangeran ke rumah pengasingan.

“Hai, gadis dusun, aku pangeran, memutuskan untuk menjadikan engkau sebagai isteriku. Engkau harus berterimakasih padaku, dan menyembahku. Lakukan!”

Dengan congkak ia berdiri di depan si Molek. Hatinya penuh kekaguman dan cinta, tapi juga penuh de­ngan keangkuhan. Si Molek menatapnya dengan perasaan dingin.

“Jika pangeran hendak menjadikan aku sebagai isteri, hargailah aku. Aku harus dilamar dengan baik.”

“Engkau gadis dusun yang tak tahu akan dirimu. Engkau harus dikurung, dan tak seorang pun kuperbolehkan menemuimu!” kata pangeran.

Pangeran pergi. Hari itu si Molek dimasukkan ke dalam sebuah kamar besar dalam rumah pengasingan. la makin terasing…. la duduk bersimpuh di tempat tidurnya sambil membuka jalinan rambutnya yang panjang. Kembali ia tak mau makan dan tak mau minum. la juga tak berkeinginan untuk tidur. la duduk bersim­puh terus di situ sampai hari menjadi gelap.

Malam itu sangat sunyi. Desau angin dari luar membawa harum bunga-bungaan. Dibukanya jendela kamarnya yang berterali besi. Jauh di atas bintang berkelip-kelip. Ditariknya nafasnya panjang-panjang. Kemudian air matanya pun mengalir. 0, pange­ran yang tampan tapi tinggi hati. lapun menaruh cinta kepadanya. Tapi ia tak mau diperlakukan dengan rendah.

Karena lelah berpikir disertai lapar dan haus, akhirnya ia tertidur. Pada saat itu dari sebuah sudut kamar terdengarlah suara lonceng berbunyi. Lonceng itu menggema perlahan-lahan, memperdengarkan sebuah lagu merdu, lembut dan sangat halus.

Tidurlah Molekku sayang
Tidurlah dengan senang
Di luar embun menitik

Bagai air matamu yang bermanik-manik.

Si Molek tertidur dengan nyenyak. Rambutnya yang terurai menjurai sampai ke lantai, hitam legam. Menjelang pagi, lonceng itu berbunyi lagi, membangunkan si Molek dari kelelapannya.

Bangunlah Molekku sayang
Dari kelelapan yang panjang
Di luar matahari mulai bersinar

Bagai sinar matamu yang berbinar-binar.

la bangun tergesa-gesa. Suara apakah itu? Ditengoknya sekeliling. Tiada sebuah loncengpun tergantung di situ.

“Tapi itu adalah suara lonceng, merdu bagaikan buluh perindu,” pikirnya.

Si Molek menengok lagi sekeliling. Kini tampaklah olehnya sesuatu di atas sehelai tirai jendela. Seekor burung kenari kecil bertengger di situ, memandangnya dengan matanya yang hitam legam. Warna bulunya yang biru, sangat cantik, bagaikan biru langit senja menjelang malam.

Si Molek berdiri mendekatinya, dan kenari itu menelengkan kepalanya yang mungil, memandangnya dengan jenaka.

“Apakah yang kaulakukan di situ, hai burung kecil?” tanya si Molek.

“Aku ingin menemani. Engkau kesepian, aku kira.”

“Ya, sangat.kesepian. Bahkan bermain-main di taman pun, aku tak diijinkan.”

“Jangan sedih. Aku adalah jelmaan peri yang baik hati. Aku akan menjadi kawanmu. Lupakan segala yang mendukakan hatimu.”

“Bagaimanakah aku dapat melupakannya, kenari?”

“Engkau pasti dapat. Aku akan selalu menyanyi untukmu, dan akan selalu berada dekatmu.”

Demikianlah kenari menemani si Molek tiap hari. la bernyanyi-nyanyi menghiburnya dengan suaranya yang merdu. Malam hari disenandungkannya lagu-lagu lembut pengantar tidur, dan pagi hari disiulkannya lagu-lagu yang penuh gairah. la bertengger di bahu si Niolek, atau di punggung tangannya, dan dibawakannya cerita-cerita yang bagus-bagus.

Si Molek benar lupa akan kesedihannya. Kini ia mau makan dengan lahap. la makan dari satu piring, dan minum dari satu gelas dengan kenari. Mereka bernyanyi bersama-sama, dan burung-burung di luar bertengggeran di muka jendela yang berterali besi itu, turut menyanyi.

O o apakah yang terjadi di rumah pengasingan? Mengapa kini selalu ramai? Mengapa kini si Molek selalu menyanyi? Mengapa burung-burung selalu berterbangan ke sana?

Pangeran terheran-heran. Pagi-pagi ketika matahari mulai bersinar, ia pergi melihat keadaan itu. Dari luar pintu gerbang terpandang olehnya sesuatu yang menakjubkan. Di jendela yang disinari cahaya matahari itu, berdiri si Molek. Rambutnya yang hitam ikal tergerai. Pada kisi-kisi jendela bertenggeranlah bermacam-macam burung, dan pada punggung tangan kirinya, o, apakah itu? Pangeran mengamat-amatinya. Burung juga kiranya. Tapi sangat cantik warna bulunya. Biru bagai birunya langit senja menjelang malam.

Samar-samar terdengarlah paduan suara yang sa­ngat indah. Suara itu makin lama makin keras dan makin merdu. Siapakah yang menyanyi? Ah, si Molek dengan burung yang di punggung tangannya?

Pangeran termangu-mangu beberapa waktu lama-nya. Kemudian dibukanya pintu gerbang. Serentak burung-burung yang bertengger di jendela beterbangan. Si Molek tinggal berdua dengan kenari di punggung tangannya. Kepala burung itu dielus-elus-nya.

“Molek!” kata pangeran.

“Aku pangeran, memerintahkan engkau menuruti kehendakku. Engkau harus menjadi isteriku dan mengucap terima kasih padaku.”

Si Molek memandang pangeran sekejap. Sangat ingin ia mengatakan ya. Tapi keangkuhan pangeran tak tertanggungkan olehnya. Jika pangeran betul-betul mencintainya, pangeran harus juga menghargainya.

“Tidak,” jawab si Molek.

la membalikkan tubuhnya. Rambutnya yang panjang tergerai di hadapan pangeran. Dengan kemarahan yang besar, pangeran merenggut rambut itu.

“Engkau sangat tak tahu diri,” katanya.

Dikeluarkannya sebuah pisau kecil dari sakunya, lalu dipotongnya rambut itu sebatas bahu.

Si Molek sangat terkejut. Dipegangnya rambutnya yang telah menjadi pendek. Air matanya berlinang-linang.

“Engkau masih kuberi kesempatan sekali lagi,” kata pangeran.

Ditinggalkannya si Molek yang hancur hatinya. Kenari turut bersedih hati. Dan marah. Dan benci kepada pangeran. Dihiburnya si Molek dengan nyanyiannya yang paling merdu.

Menyanyilah Molekku sayang
Menyanyi dengan senang
Suatu kelak akan datang
Kebahagiaan sempurna bagimu

Kenari lalu meloncat-loncat sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya yang kecil mungil. Si Molek memandangnya dengan diam. Air matanya terus mengalir. Diusap-usapnya rambutnya.

“Rambutmu akan panjang lagi, Molek. Jangan menangis terus,” hibur kenari.

“Aku ingin pergi dari sini, kenari. Tak dapatkah engkau menolongku?”

0, betapa ingin kenari menolongnya. Tapi ini belum saatnya. Pangeran harus menerima dahulu hukuman atas keangkuhannya.

Hari-hari lewat lagi dengan sangat perlahan-lahan. Si Molek hampir tak dapat menahan kejemuannya. Kadangkala tengah malam ia terbangun dan menangis terisak-isak. Sampai berapa lamakah ia harus berada di sini? Apakah lagi yang akan terjadi atas dirinya?

Kenari terbang dan menyelusup ke rambut si Molek. Digosok-gosoknya paruhnya ke rambut itu. Dan si Molek menghentikan isaknya.

“Engkau sangat baik. Tapi aku tak tahan. Berbuatlah sesuatu, agar aku lepas dari penjara ini,” katanya dengan sedih.

Kenari menggosok-gosokkan paruhnya lagi ke ram­but si Molek.

“Baiklah, Molek,” katanya.

“Tak lama lagi, engkau akan bebas. Mudah-mudahan engkau bahagia de­ngan kebebasanmu itu.”

Pangeran menepati ucapannya. Pada suatu pagi ia datang lagi. la sangat ingin melihat si Molek. la sangat ingin melihat gadis itu menganggukan kepalanya untuk perintah yang diberikan kepadanya.

Si Molek harus bersedia menjadi isterinya, dan berlutut di hadapannya dengan ucapan terima kasih. Dikenakannya pakaiannya yang sangat bagus.

Gemerincing suara kunci menyentakkan si Molek dari keasyikannya bermain dengan kenari. la menoleh. 0, pangeran datang lagi. Pangeran berdiri dihadapannya dengan anggun. Matanya menatap si Molek. Tapi si Molek menunduk.

“Molek, hari ini aku harus mendapat jawaban ya darimu. Katakanlah disertai sembahmu!” kata pa­ngeran.

“Tidak.” jawab si Molek.

“Kecuali bila pangeran menaruh rasa hormat juga padaku, dan memintaku dengan baik.”

“Gadis tak tahu diuntung!” teriak pangeran.

Direnggutnya rambut si Molek, dan dalam sekejap mata, rambut itu telah terpotong hampir habis. Si Molek tetap menundukkan kepalanya. Pada saat itu terdengarlah jeritan kesakitan. Sekali, Dua kali. Si Molek menengadahkan kepalanya. Tampaklah olehnya dua alur darah mengalir di kedua pipi pangeran, turun dari kedua matanya yang terkatup. Darah itu terus juga mengalir, membasahi pakaiannya yang indah membasahi kedua tangannya. Membasahi lantai yang dipijaknya.

Si Molek jatuh pingsan. Si Molek mendapati dirinya terbaring di lantai. Disekelilingnya berdiri raja dan permaisuri, para menteri dan seisi istana. Kejadian ini sangat mengejutkan mereka.

“Tangkap gadis ini dan penjarakan!” perintah raja.

Si Molek sadar akan keadaannya, lalu melompat dan berlutut di hadapan raja dan permaisuri.

“Hamba mohon ampun, yang mulia,” katanya dengan suara hampir berbisik.

“Ampun? Tengok puteraku!”

Si Molek menoleh ke arah pangeran. Mukanya yang tampan masih digenangi darah. Tiba-tiba hatinya terasa pedih sekali.

“Sungguh tiada ampun bagimu, gadis dusun! Segera bawa dia ke penjara!” kata raja lagi.

Tangan si Molek diikat, lalu ia didorong ke luar.

Burung kenari mengikutinya, dan hinggap tinggi di atas pohon. Dari sana ia bernyanyi dengan suara keras.

Sang pangeran sangat kejam
Sang pangeran sangat kejam
Si Molek yang tak berdaya

Disiksanya dengan kejam.

Semua menengok ke atas, dan kenari pindah ke dahan lain.

“Apa yang dimaksud burung itu, gadis dusun?” tanya raja.

“Hamba kurang mengerti, yang mulia.”

“Bukankah ia burungmu?”

“la penghibur hamba, yang mulia.”

“Engkau tentu mengetahui apa yang dimaksudnya. Katakan!”

“Hamba kurang mengerti, yang mulia,” si Molek mengulangi jawabannya.

Sebuah tamparan hinggap di pipinya. Dari atas pohon terdengar lagi nyanyian kenari.

Sang raja sangat kejam
Sang raja sangat kejam
Si Molek yang tak berdaya

Disiksanya dengan kejam.

Lalu kenari berkata, “Akulah yang mematuk mata pangeran. Pangeran sangat kejam. la sangat angkuh la mencintai si Mo­lek. Tapi si Molek harus merendahkan dirinya serupa pelayan. Dikurungnya si Molek serupa burung. Diguntingnya rambutnya yang disayanginya. Sang pa­ngeran sangat kejam. Kini lepaskanlah si Molek. Biarkan ia pergi ke tempat yang disukainya.”

Raja sangat malu akan sikap puteranya dan sikapnya sendiri. Pangeran sangat dimanjakan. Ia pun tak pernah diajar untuk menghargai orang lain. Raja memandang si Molek dengan teliti, lalu disuruhnya pengawal membuka tali yang mengikat tangannya.

Pergilah Molek, ke tempat yang engkau suka,” katanya akhirnya.

Diberinya si Molek beberapa perhiasan yang indah. Terima kasih, yang mulia. Seperti ini hamba ketika datang ke mari, seperti ini pula hamba ingin meninggalkannya,” kata si Molek.

Si Molek kembali ke dusunnya dengan perasaan sangat bahagia. Di atas pundaknya bertenggerlah burung kenarinya. la telah bebas. Pulang ke tempat yang dicintainya.

Seisi dusun menyambutnya dengan riang gembira. Kebebasannya dirayakan dengan tarian dan nya-nyian-nyanyian yang paling merdu.

“O, o, kembang dusun telah kembali ke tengah kita,” mereka berseru-seru.

Tapi si Molek salah duga. la tidak bahagia seperti dulu lagi. Beberapa bulan setelah perayaan itu, ia menjadi pendiam, la tidak suka lagi tertawa. la tidak suka lagi menyanyi-nyanyi. Kenangannya senantiasa melayang ke istana. Sedang apakah pangeran sekarang? Apakah yang dapat dilakukannya kini? Dapatkah ia memandang kembali?

Si Molek kini sering termenung pada waktu-waktu senggangnya. Bahkan pada waktu ia sedang mengerjakan kebun bunganya. Kenari tak henti-henti menghiburnya. Menyenandungkan lagu-lagu indah menjelang tidur, dan menyiulkan lagu-lagu riang pada waktu ia bekerja. Tapi si Molek tetap tak terhibur.

“Kenari, engkau tak tahu apa yang kupikirkan,” katanya suatu malam.

“Aku tahu, Molek,” jawab kenari.

“Jika demikian, marilah kita kembali ke istana.”

“Ah, Molek. Dulu engkau ingin sekali lepas dari sana, dan kini engkau ingin kembali ke sana. Apakah yang kau inginkan, Molek?”

“Aku selalu teringat kepada pangeran, kenari.”

“Lupakanlah. la telah membuat engkau sangat menderita.”

“Tak mungkin, kenari. Tidakkah engkau, dapat membayangkan, betapa menderitanya orang yang tak dapat melihat?”

“Hukuman itu patut diterimanya, Molek.”

“O, kenari, kenari. Engkau sangat baik terhadapku. Tidak dapatkah engkau berbuat yang sama terhadap pangeran? la memang sangat kejam. Tapi bukankah ia sudah mendapat hukuman? Lagi pula, kenari, aku… aku mengasihinya, sejak pertama kali dulu aku melihatnya.”

“Baiklah kalau begitu, Molek. Kita kembali ke is­tana,” kata kenari.

“Terima kasih, kenari,” kata si Molek dengan wajah bersinar-sinar.

Si Molek kembali ke istana. la dibawa menghadap raja.

“Ijinkanlah hamba merawat pangeran, yang mulia,” sembahnya.

“Engkau?”

Raja terkejut dan heran. la tak percaya. Gadis yang sudah sangat disakiti ini ingin merawat orang yang menyakitinya?

Raja menatap wajah si Molek. Wajah itu tetap sangat molek dan lembut. Matanya yang bagai bintang kejora membalas tatapannya dengan penuh hormat.

“Benar, yang mulia, sekiranya yang mulia tidak berkeberatan,” jawab si Molek.

“Akan kita coba. Bila pangeran suka, engkau boleh merawatnya,” kata raja.

“Terima kasih, yang mulia.”

Dalam taman di depan rumah pengasingan, pa­ngeran berjalan tertatih-tatih. la tak mau ditemani oleh siapa pun juga. Di sanalah sekarang ia menghabiskan waktunya. Dibayangkannya si Molek berdiri di muka jendela, di bawah sinar matahari pagi yang cerah. Alangkah molek ia, alangkah molek.

Kini ia hanya dapat membayangkan pemandangan itu. Pemandangan yang sangat indah, yang takkan pernah lagi dapat dilihatnya. Setiap hari ia menyesali dirinya yang angkuh dan kejam.

Pada suatu pagi ia berjalan lagi tertatih-tatih di dalam taman. Tiba-tiba didengarnya nyanyian yang sa­ngat merdu, datang dari arah pintu gerbang. Pa­ngeran menghentikan langkahnya. Ditelengkannya wajahnya. Lalu ia melangkah lagi tertatih-tatih. Suara itu sudah sangat dikenalnya.

“Molek…. Molek ….,” katanya sambil mengulurkan kedua tangannya.

Suara itu terdengar makin jelas dan makin dekat. Akhirnya nyanyian itu habis. Pangeran terus mengulurkan kedua tangannya.

“Molek…. Molek ….,” panggilnya berulang-ulang.

Menyaksikan keadaan pangeran, air mata si Molek berlinang-linang dengan deras. Diulurkannya tangannya, lalu digenggamnya tangan pangeran. Dituntunnya ke luar pintu gerbang rumah pengasingan.

“Molek, apakah aku bermimpi?” tanya pangeran.

“Tidak, pangeran. Aku si Molek.”

Sang pangeran terhibur. Untuk pertama kali sejak ia buta, ia tertawa. Bahkan untuk pertama kali sejak ia memiliki hati yang angkuh. Alangkah ringan sekarang terasa hatinya. la merundukkan wajahnya, seakan tampak olehnya burung-burung yang bercengkerama di sekelilingnya.

Dengan tersenyum dielus-elusnya punggung seekor burung merpati yang hinggap di pangkuannya. Sejak hari itu si Molek menjadi penuntun pangeran dalam kebutaannya. Baginya disediakan sebuah kamar yang sangat indah dalam istana, dan ia dilayani seperti seorang puteri raja. Tiap pagi dijemputnya pangeran yang menunggu di serambi istana, lalu mereka berjalan perlahan-lahan sekeliling taman.

De­ngan penuh gembira si Molek bercerita tentang dusunnya, tentang pekerjaannya, tentang tetangga-tetangganya yang baik hati. Bahwa mereka bekerja de­ngan giat dan penuh kegembiraan. Hati yang angkuh dan kejam tiada mereka punyai. Karena mereka selalu diliputi oleh cinta dan rasa sepenanggungan.

Pada suatu pagi si Molek tidak melihat pangeran di serambi. la cemas. Pangeran sakit, pikirnya. Atau ia telah mendahului pergi ke taman di rumah pengasingan? Bergegas ia pergi ke sana. Pangeran tidak juga nampak. la berlari ke taman belakang istana. Dan di sana tampaklah pangeran, duduk di sebuah kursi. Wajahnya ditundukkannya, dan kedua tangannya menopang dagunya. Si Molek mendekatinya, lalu duduk perlahan-lahan di dekatnya.

“Pangeran,” panggilnya dengan lembut.

Pangeran tidak menoleh.

“Pangeran tidak suka lagi kutemani?”

Pangeran tidak menyahut.

“Jika demikian, aku akan pergi dari sini. Aku akan kembali ke dusunku.”

Tiba-tiba pangeran mengulurkan kedua tangannya. Si Molek menyambutnya.

“Jangan pergi, Molek. Engkau tak boleh pergi. Hatiku sekarang duka lagi. Dengarlah. Aku seorang pa­ngeran. Sebentar lagi ayahanda akan mengundurkan diri dari pemerintahan. Dan aku, pangeran, ahli waris tahta kerajaan ini. Tapi aku buta. Aku buta, Molek. Bagaimanakah sebuah kerajaan diperintah oleh seorang buta?”

Si Molek tersenyum. Ditatapnya wajah pangeran. Alangkah tampan wajah itu, tapi penuh diliputi kedukaan. Si Molek merasa bahwa cintanya kepada pa­ngeran bertambah besar. Kebutaan telah merubah sifatnya yang buruk. Alangkah mahal tebusannya, tapi alangkah mahal pula nilainya.

“Molek, maukah engkau tetap bersamaku, selama-lamanya?” tiba-tiba pangeran bertanya.

Suaranya penuh mengandung harapan. Si Molek tersenyum lagi.

“Aku ingin engkau menjadi permaisuriku. Maukah engkau, Molek? Maukah engkau menjadi pelita dalam hidupku yang gelap ini?”

0, bunga-bunga bagai menyanyi, pohon-pohon bagai menyanyi, awan-awan bagai menyanyi dan seluruh burung itu pun menyanyi, mengiringi suara si Molek yang merdu.

Itulah jawaban si Molek untuk pangerannya. Hari itu juga pangeran menyampaikan niatnya kepada raja untuk menikah dengan si Molek. Baginda nenyetujuinya. Si Molek sungguh sangat molek, wajahnya dan hatinya. Lalu pada hari yang dianggap baik, diadakanlah pesta yang sangat besar. Putera mahkota telah memilih calon isterinya, seorang gadis dusun.

Baginda menyampaikan perihal asal-usul si Molek kepada rakyatnya. Rakyat menyambutnya dengan penuh sukacita. Seorang di antara mereka telah berada di dalam istana, bahkan sebagai isteri pangeran.

Pangeran terdiam. Hatinya seperti ditindih batu.

“Molek, aku sangat menyesal dan malu. Aku sa­ngat kejam padamu. Tapi sekarang semuanya sudah terlambat.. Penyesalanku takkan dapat mencelikkan mataku.”

Si Molek pun sangat sedih. la berdiam diri beberapa lamanya. Pada saat itu terdengarlah suara kenari di puncak pohon.

Sang pangeran sangat menyesal
Sang pangeran sangat menyesal
Dan si Molek yang lembut hatinya

Menghibur dengan kasihnya.

Kenari terbang menukik ke arah si Molek, dan hinggap di bahunya. Kemudian terdengarlah paduan suara yang merdu sekali. Suara itu menggema mencapai ladang, mencapai tepi-tepi hutan, memanggil burung-burung segala jenis untuk memenuhi tempat itu.

Hari itu balairung istana dihias sangat indah. Sebuah permadani beledu merah memanjang dari serambi sampai tempat duduk kedua mempelai. Tempat duduk itu pun amat sangat indahnya. Dinding-dindingnya dihias dengan ukir-ukiran dan untaian-untaian bunga yang harum semerbak. Gaun si Molek berwarna putih melebihi kapas, berhiaskan intan dan mutiara. Pada kepalanya terpasanglah sebuah mahkota yang berkilau-kilauan.

Demikian pula dengan pangeran. Wajahnya bertambah tampan. Matanya yang buta itu sama sekali tidak nampak buta. la tersenyum dengan amat lembut. Digenggamnya tangan si Molek.

Ketika hadirin telah memenuhi ruangan, kedua mempelai berdiri. Tiba-tiba, di luar dugaan siapapun juga, pangeran berlutut di hadapan si Molek. Diciumnya tangan si Molek dengan penuh cinta kasih.

“Terima kasih, Molek. Kasihmu telah memberi jalan terang padaku,” katanya.

Si Molek mengangkat pangeran berdiri, dan menatap matanya. Pada saat itu meluncurlah kenari dari atas sebuah pilar istana, dan hinggap di punggung tangan si Molek. Si Molek mendekatkannya ke mata pangeran. Perlahan-lahan kenari mematuk mata kiri pangeran, lalu beralih ke mata kanannya. Seketika terbukalah mata pangeran. la menatap si Molek dengan sangat terpesona.

“Engkaukah si Molek?” tanyanya hampir berbisik.

Si Molek tersenyum.

“Ya, si Molek isteri pangeran, gadis dusun yang ketika lahir diberi nama Bintang Kejora oleh orang tua-nya,” jawabnya.

“Engkau membuatku sangat bahagia. Dengan apakah aku harus menyampaikan rasa terima kasihku padamu?” tanya pangeran.

“Berterima kasihlah kepada kenari, pangeran. Ialah yang menolong kita dari penderitaan. Kenari, peri yang baik hati.”

Kenari di punggung tangan si Molek menyanyi.

Sang pangeran sangat bahagia
Si Molek sangat bahagia
Kini aku harus pergi

Bahagialah kalian selamanya.

Kenari lalu terbang bagaikan panah dilepaskan dari busurnya. Makin lama makin kecil, akhirnya hilang sama sekali dari pandangan.

Pangeran menggantikan ayahandanya menjadi raja, la memerintah dengan penuh keadilan, didampingi permaisurinya yang molek dan bijak serta rendah hati. Sesungguhnya cinta kasih selalu menjadi pelita bagi hati yang diliputi kegelapan, keangkuhan dan angkara murka. Dan pangeran telah memperoleh pelitanya yang sempurna, si Bintang Kejora yang jelita.


TAMAT

No comments:

Post a Comment