Pages

Sunday, June 13, 2010

Pinangan Pangeran Kaki Abu - Denmark

Pada jaman dahulu, ada seorang raja Inggris yang mempunyai seorang puteri cantik jelita. Dora namanya. Tak seorang pun menyamai kecantikannya. Tetapi sayang sekali, sang puteri mempunyai satu kekurangan besar. Ia sangat sombong dan tinggi hati. Banyak sudah putera raja yang datang melamar, ingin mempersuntingnya. Tetapi sang puteri selalu menolak. Ia bahkan menghina pangeran-pangeran itu dan mengejek dengan kata-kata yang menyakitkan hati.

Pada waktu itu adalah seorang putera raja yang masih muda remaja dari Denmark. Ia juga mendengar berita tentang puteri yang cantik itu. Ia ingin memperisterinya. Segera diutusnya beberapa ponggawa istana untuk meminang puteri Dora.

Mendengar lamaran putera raja dari Denmark itu, Dora menjawab dengan ejekan yang menyakitkan hati, “Lebih baik aku menenun sepanjang hari untuk mencari nafkahku sendiri daripada menikah dengan pangeran miskin!”

Terpaksa para utusan pulang dengan tangan kosong. Pinangannya telah ditolak. Tetapi sang pangeran telah berniat untuk mendapatkan puteri Dora dengan cara apapun.

Ia mengirim utusan-utusan baru dengan surat lamaran dan hadiah enam ekor kuda yang amat bagus. Kuda-kuda ini berbulu putih bagaikan susu. Mulutnya halus kemerah-merahan, bersepatu emas dan selimut berwarna merah darah. Kuda begitu bagus dengan pakaian yang begitu elok belum dijumpai orang di Inggris.

Baginda raja sangat berkenan. Ia membujuk puterinya agar mau menerima lamaran ini. Seorang yang dapat memberikan mas kawin semahal itu tentu sangat kaya dan pantas mempersunting puterinya.

Tetapi apa jawaban puteri Dora? Ia menyuruh pelayan-pelayan istana memotong bulu-bulu suri dan ekor kuda-kuda yang sangat elok itu. Bulunya yang putih bersih dibuat hitam dengan kotoran. Lalu kuda-kuda itu dikirimnya kembali.

“Lebih baik aku duduk-duduk di pinggir jalan sambil menjual kuali daripada menikah dengan pangeranmu!” pesan sang puteri.

Para utusan pulang dan menyampaikan jawaban dan perlakuan sang puteri. Betapa marah Baginda raja mendengar semuanya itu. Penghinaan kepada puteranya adalah penghinaan kepada dirinya sendiri.

Hampir ia memerintahkan kepada bala tentaranya menyeberang ke Inggris untuk membalaskan sakit hatinya. Tetapi sang pangeran menyabarkan Baginda. Ia mau mencoba sekali lagi dengan cara biasa. Jika sekali lagi ia gagal, ia sudah tahu apa yang akan diperbuatnya. Raja setuju.

Kemudian disuruhlah orang membuat sebuah perahu layar. Perahu itu dibuat sebagus-bagusnya. Belum pernah ada sebuah perahu yang menyamai bagusnya. Pada sisi-sisinya diukirkan lukisan-lukisan binatang, seperti rusa, naga dan singa. Haluan dan buritan dilapisi dengan emas. Juga tiang layarnya. Layar dibuat dari sutera merah dan putih mengkilap. Untuk awak kapal yang harus menjalankan, dipilihkan pemuda-pemuda yang paling tampan.

Sekali lagi sang pangeran menulis sepucuk surat lamaran kepada puteri dora yang sombong itu. Ia meminta supaya sang puteri sudi menerima lamarannya dan perahu itulah sebagai mas kawinnya.

Perahu itu sangat laju jalannya. Segera saja ia berlabuh di pantai Inggris, dekat istana. Banyak orang datang menonton dengan kagum. Belum pernah mereka melihat perahu layar sebagus itu.

Para utusan menghadap dan menyampaikan lamaran junjungannya dari Denmark. Baginda raja sangat senang. Ia minta puterinya supaya akhirnya mau menerima lamaran ini. Seorang yang begitu pemurah tentu pantas menjadi suaminya.

Puteri Dora mendengarkan bujukan ayahandanya dengan tenang-tenang. Ia pura-pura akan memikirkannya sampai hari esok. Malam itu ia menyuruh beberapa ponggawa istana menenggelamkan perahu yang indah itu. Keesokan harinya ia berkata kepada para utusan agar sedapat-dapatnya segera pulang ke Denmark.

“Lebih baik aku mengemis dari pintu ke pintu daripada harus memanggil pangeran miskin itu suamiku!”

Baginda raja dari Denmark marah bukan buatan mendengar semua itu dari para utusan. Ia mau segera memerintahkan angkatan lautnya siap dan berangkat membalas dendam.

Sekali lagi sang pangeran membujuk ayahandanya agar jangan dahulu melakukan pembalasan. Ia sendiri akan membuat puteri Dora yang tinggi hati itu menyesali kata-kata dan perbuatannya yang menghina itu.

Ia lalu berangkat sendirian meninggalkan Denmark. Sang pangeran sampai di Inggris tanpa seorang pun mengenalnya. Ia memakai topi usang, mengenakan pakaian kumal dan sepatu kayu yang sudah berlubang-lubang. Pangeran yang kaya raya menyamar sebagai pengemis miskin. Ia memakai nama samaran Kakiabu.

Menjelang tengah malam sampailah Kakiabu di dekat istana raja. Ia minta makan dan penginapan kepada seorang gembala sapi. Penggembala itu memberinya makan seadanya. Kakiabu boleh tidur di kandang. Semalam-malaman ia ditemani oleh sapi-sapi penggembala yang baik hati itu.

Keesokan harinya Kakiabu diberi pekerjaan membantu penggembala menghalaukan ternak-ternaknya ke tempat minum ternak. Tempat itu kebetulan tidak jauh dari istana dan dapat dilihat dari jendela kamar puteri Dora. Ketika Kakiabu sampai di tempat minum ternak, ia mengeluarkan tongkat kumparan dari emas. Kakiabu menggunakannya untuk menghalau sapi-sapinya.

Kebetulan sekali puteri Dora sedang berdiri di balik jendela kamarnya. Ia sedang melihat-lihat keluar dan ia melihat tongkat indah di tangan pengemis yang miskin. Sang puteri sangat heran dan tertarik sekali. Seorang pelayan disurhnya minta kepada Kakiabu supaya menjual tongkatnya. Berapa pun harganya akan dibeli.

“Hamba tidak akan menjualnya dengan harga uang berapa pun. Tetapi puteri Dora boleh memilikinya, asal nanti malam hamba boleh diperbolehkan tidur di luar pintu kamarnya.”

“Tidak,” jawab puteri Dora.

“Tak mungkin permintaan demikian kululuskan.”

“Baiklah,” kata Kakiabu.

“Hamba pun tidak memaksa puteri Dora untuk membelinya.”

Lalu ia berbalik dan pergi.

Sang puteri tidak dapat lagi menahan keinginannya. Ia biasa segala yang dikehendakinya terkabul. Bagaimana pun ia harus mendapatkan harta si pengemis itu. Ia tidak mau seorang pun melihat pengemis kumal tidur di depan pintu kamarnya. Dengan sembunyi-sembunyi ia mengutus seorang pelayannya pergi kepada Kakiabu.

“Katakan, bahwa ia harus datang kalau hari sudah larut malam. Dan ia harus sudah pergi lagi waktu fajar menyingsing.”

Kakiabu menyetujuinya. Maka terjadilah seperti yang dikehendakinya. Sebelum matahari terbit, ia sudah meninggalkan istana.

Keesokan harinya, ketika sang puteri melihat keluar jendela, ia melihat Kakiabu menghalau sapi-sapinya dengan kili-kili dari emas. Lagi-lagi sang puteri mengutus dayang-dayangnya untuk membeli kili-kili itu dari Kakiabu.

“Harganya sama dengan kemarin!” jawab Kakiabu.

Mendengar jawaban yang sama, puteri Dora menjadi semakin heran. Tetapi tidak ada cara lain untuk mendapatkan kili-kili yang indah itu. Ia setuju. Lalu terjadilah seperti malam sebelumnya.

Pagi hari yang ketiganya, Kakiabu menghalau sapi-sapinya ke tempat minum ternak seperti biasanya. Kali ini ia menggunakan puntalan dari emas murni. Tentu saja sang puteri menjadi lebih terpesona. Ia mengajukan tawaran seperti yang sudah.

“Sekarang Kakiabu, kau boleh menyebutkan jumlah uang berapa pun, akan saya bayar!”

“Tidak” jawab Kakiabu.

“Ini pun tak dapat dibeli dengan uang. Tetap kalau hamba boleh tidur malam ini di dalam kamar puteri Dora, bolehlah puteri Dora mengambilnya.”

“Kau sudah gila agaknya!” seru puteri Dora terkejut.

“Tak mungkin aku meluluskan permintaan semacam itu!”

Tetapi tawaran Kakiabu sudah tak dapat ditawar-tawar lagi.

“Kalau tuan puteri benar-benar menghendaki benda ini, puteri Dora harus memmenuhi apa yang hamba minta. Kalau tidak, jangan harapkan hamba melepaskan hartaku ini.”

Puteri Dora memandang kepada para dayang-dayangnya. Dayang-dayang memandangi puteri Dora. Lalu pandangan mereka beralih kepada puntalan dari emas murni yang indah mempesonakan itu.

“Tuan puteri tidak boleh tidak harus memilikinya!” bisik mereka.

Mereka bersepakat akan berjaga-jaga di sekeliling puteri Dora malam itu, bila ia meluluskan permintaan Kakiabu, yaitu tidur di dalam kamarnya.

Akhirnya puteri Dora setuju. Tetapi Kakiabu harus datang malam sekali. Para dayang-dayang akan membukakan pintu. Tidak seorang pun dalam istana boleh mengetahuinya.

Malam tiba. Puteri Dora mulai mengantuk sudah. Semua dayang-dayang duduk di sekeliling tempat tidurnya. Masing-masing memegang sebuah lilin menyala.

Kakiabu masuk. Dengan tenang ia merebahkan diri di atas babut di dekat pintu. Sang puteri sudah tertidur. Satu per satu kepala para dayang-dayang itu mulai terkulai. Mereka tak kuat lagi menahan kantuk. Mereka telah dua malam berturut-turut tidak memejamkan mata sebentar pun karena menjaga sang puteri junjungannya. Tak lama kemudian semua tertidur dengan nyenyaknya. Tidak heran bahwa mereka belum juga terbangun waktu matahari sudah cukup tinggi.

Baginda biasa makan pagi bersama puterinya yang tercinta. Ia heran bahwa sang puteri belum kelihatan sesiang itu. Jangan-jangan ia sakit. Baginda menuju ke kamar puterinya. Masih sepi.

“Apakah ini?” pikir Baginda ketika melihat di depan pintu sebuah topi usang dan sepasang sepatu kayu buruk.

Di bukanya pintu dengan hati-hati dan ia masuk. Sang puteri kelihatan masih tertidur dengan pulasnya di atas ranjang, dikelilingi oleh dayang-dayangnya. Semua tidur nyenyak. Di dekat pintu, seorang pengemis kumal enak-enak mendengkur.

Baginda memang seorang raja yang sangat sabar. Lebih-lebih terhadap puteri kesayangannya. Tetapi melihat kejadian ini, Baginda sungguh-sungguh marah. Dengan susah payah hatinya ditenang-tenangkan. Ia memanggil nama sang puteri untuk membangunkannya. Para dayang-dayang berlarian cerai-berai karena kebingungan. Sang puteri tak dapat mengatakan sepatah kata pun karena takutnya.

Dengan marah dan sedih Baginda berkata, “Puteriku, kini tahulah aku. Orang macam itu yang lebih kau sukai. Sebenarnya aku dapat menyuruh gantung saja orang ini. Tetapi baiklah, karena itulah pilihanmu, kau berdua akan kunikahkan sekarang juga. Sesudah itu kalian harus pergi dari iastana ini. Aku tidak mau melihatmu lagi!”

Baginda keluar. Tak lama kemudian pendeta masuk dengan dua orang saksi. Puteri Dora yang tinggi dinikahkan dengan pengemis buruk yang miskin. Mereka kemudian diharuskan pergi dari istana. Harus pergi kemana saja. Dengan diam-diam mereka berjalan.

Ketika melewati kandang di mana Kakiabu biasa menginap, ia berkata kepada sang puteri, “Kita tak mungkin berjalan secara begini. Puteri Dora harus berganti pakaian yang lebih sesuai.”

Isteri penggembala itu memberikan sepasang pakaian yang sudah agak usang dan sepasang sepatu kayu.

“Nah, begini akan lebih baik!” kata Kakiabu.

Dan mereka berangkat.

Mereka berjalan dengan saling berjauhan. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Lama-lama sang puteri mengangkat kepalanya. Ia mengamati-amati dari samping pengemis kumal di sebelahnya. Puteri Dora merasa heran. Ternyata pengemis kumal itu, yang kini adalah suaminya yang syah, tidaklah seperti yang dikiranya. Ia masih kelihatan muda. Dan tampangnya tidaklah jelek, meski pun dengan pakaian yang kumal, ada ketampanan di balik pakaian buruknya.

Tidak antara lama, puteri Dora merasa capai. Ia tidak biasa berjalan kaki. Sepatu kayunya menyakitkan.

Ia mengeluh, “Kanda Kakiabu, jangan berjalan terlalu cepat!”

“Benar juga,” jawab Kakiabu.

“Kini aku wajib bertanggung jawab terhadap tuan puteri. Tak mungkin kubiarkan saja di tepi jalan.”

Pada rumah pertama yang dijumpainya, ia menyewa sebuah gerobak tua. Gerobak itu dialasi dengan jerami, sehingga agak empuk untuk tempat duduk sang puteri. Dengan mengendarai gerobak, mereka sampai di sebuah pelabuhan. Kakiabu mencari tumpangan untuk dia sendiri dan isterinya. Di kapal mereka bekerja sebagai pelayan, karena tidak mempunya uang untuk ongkosnya. Puteri Dora merasa sedikit lega sesudah keluar dari negara ayahandanya. Tetapi ia tidak tahu kemana sebenarnya tujuan kepergiannya.

Pelayaran berakhir di Denmark. Mereka mendarat dengan selamat. Kakiabu segera menyewa sebuah gubug kecil, tidak jauh dari istana raja. Gubug itu terdiri dari satu ruangan saja. Di sudut ada tungku untuk masak.

Kakiabu pergi sebentar dan kembali membawa alat tenun dan segumpal rami halus murahan.

“Kerjakan ini,” katanya.

“Sedang aku mencoba mencari pekerjaan. Kita berdua harus bekerja. Kalau tidak, kita tidak dapat makan. Menganggur terang tidak mungkin.”

Waktu berjalan terus hari demi hari. Kakiabu berhasil mendapatkan pekerjaan di istana sebagai penebang pohon. Tiap sore ia pulang membawa roti dan uang sedikit. Isterinya bekerja pada alat tenunnya dengan tekun sampai jari-jarinya terasa sakit dan kakinya gemetaran capai.

Pada suatu petang, Kakiabu pulang membawa kuali-kuali dan alat dapur segerobag kecil. Ia telah membelinya dengan kredit, katanya. Sang puteri harus membawanya ke kota dan menjualnya.

Kakiabu berangkat keesokan harinya ke tempat pekerjaan seperti biasa. Isterinya pergi ke kota menjual kuali. Waktu hampir tengah hari, baru beberapa kuali terjual, tiba-tiba beberapa bangsawan istana lewat dengan mengendarai kuda. Entah apa sebabnya, seekor dari kuda-kuda itu sekonyong-konyong menjadi liar. Malang, hal itu terjadi persis di dekat tempat duduk sang puteri. Sekejab mata hancurlah semua kuali itu. Dan sungguh-sungguh kejam, para bangsawan itu terus pergi begitu saja. Puteri Dora pulang ke gubugnya dengan sedih dan takut akan kemarahan suaminya.

Ketika sore itu Kakiabu kembali, puteri Dora menceriterakan segala pengalamannya hari itu. Ia menangis.

“Kini sampailah kita kepada nasib kita yang paling buruk.” Kata Kakiabu.

“Aku sudah tak punya uang sema sekali untuk melunasi hutang kita. Besok pagi, terpaksalah puteri Dora mendatangi setiap rumah, dari pintu ke pintu meminta-minta, sampai hutang kita lunas terbayar!”

Puteri Dora melakukan segala yang dikatakan suaminya. Dalam hati ia kagum akan kesabaran suaminya. Ia tidak kelihatan marah sama sekali. Seharian itu ia mendatangi setiap rumah untuk meminta-minta pemberian orang sekedarnya. Sore hari ia pulang membawa beberapa potong roti dan uang yang tidak seberapa jumlahnya.

“Ini tak akan banyak menolong.” Kata Kakiabu.

“Tetapi aku telah mendapatkan sebuah pekerjaan yang lumayan buat puteri Dora. Di dapur istana. Istana sedang sibuk mengadakan persiapan pernikahan putera mahkota. Kalau pekerjaan tuan puteri baik, mungkin mereka mau membayar layak. Pokoknya besok pagi kita pasti mendapatkan uang yang lebih banyak daripada hasil mengemis hari ini.”

Keesokan harinya ketika puteri Dora akan berangkat ke istana, Kakiabu berkata, “Hari ini aku terpaksa tinggal di rumah. Aku merasa tidak enak badan.”

Mendengar ini puteri Dora menangis dan berkata, bahwa kalau Kakiabu sakit, ia tak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah. Kakiabu menjawab bahwa sang puteri telah ditunggu-tunggu di istana, maka harus pergi.

Sang puteri mencium suaminya dengan penuh kasih sayang dan berangkat dengan berat hati. Seharian ia bekerja di dapur istana. Ketika ia kembali, Kakiabu sudah agak merasa sehat. Ia juga mengabarkan bahwa hari itu ada suatu pengumuman penting untuk semua penduduk.

“Putera mahkota akan menikah dengan seorang puteri dari Rusia. Pakaian pengantin puteri telah sampai, tetapi sang puteri sendiri terhalang oleh taufan besar, sehingga belum dapat datang pada saat yang ditentukan. Besok pagi setiap gadis dan setiap wanita dari dekat istana dipanggil ke istana. Mereka akan diukur. Siapa yang persis sama bentuk tubuhnya, harus menggantikan sang puteri dalam upacara perkawinan itu.”

“Apakah aku juga hrus pergi?” kata puteri Dora sambil mengamat-amati pakaiannya yang buruk.

“Tentu. Tuan puteri pun harus pergi. Kalau untung upahnya akan cukup untuk membayar hutang kita.”

Ketika puteri Dora akan berangkat, Kakiabu berkata, bahwa ia merasa lebih tidak sehat dari kemarin. Sang puteri ragu-ragu untuk meninggalkan suaminya sakit sendirian. Tetapi Kakiabu mendesaknya. Puteri Dora memeluk suaminya, lalu berangkat.

Di halaman istana orang sudah ramai berkerumun. Tukang ukur sibuk mengukur setiap wanita. Nampaknya sukar sekali menemukan seorang yang persis memenuhi permintaan. Tetapi sungguh ajaib, waktu giliran sampai kepada puteri Dora, tukang ukur berseru, bahwa ia cocok dalam segala sesuatunya. Semua orang memandang heran. Sang puteri lalu dibawa ke dalam. Ia dikenakan pakaian pengantin dan sepatu berenda-renda.

Ketika mahkota juga diletakkan di atas kepalanya, tiap hadirin berseru, “Sang puteri yang dari Rusia pun tak kan lebih cantik!”

Sebuah kereta kencana yang ditarik oleh enam ekor kuda putih mulus, sudah siap di depan pintu. Isteri Kakiabu diminta masuk ke dalamnya. Di dalam kereta itu telah duduk sang pangeran, putera mahkota, yang juga berpakaian sangat bagus. Mereka duduk berdampingan tanpa saling melihat, tanpa berbicara.

Dengan lambat-lambat kereta diberangkatkan diiringi berpuluh-puluh penumpang kuda. Semua berpakaian kebesaran. Beberapa menit kemudian iring-iringan lewat di depan gubug kecil, tempat tinggal Kakiabu dan isterinya. Akan tetapi, astaga! Apa yang terjadi? Gubug itu menyala terbakar.

Dengan tiba-tiba, isteri Kakiabu bangkit dan berteriak, “Suamiku! Tolong suamiku! Ia sedang sakit. Tentu ia tak dapat keluar! Tolong!”

Pada saat itulah baru sang pangeran berkata, “Kalau tukang tebang pohon yang buruk itu suamimu, biarkan saja dia terbakar. Ia tidak pantas menjadi suamimu!”

Tetapi isteri Kakiabu menjawab keras, “Dia suamiku! Ia sangat baik. Ia sangat mencintaiku. Tak mungkin aku membiarkannya. Sekali pun tuanku memberikan tempatku sekarang ini kepadaku, aku lebih senang kembali kepadanya. Aku telah mengalami masa-masa paling bahagia bersamanya!”

Tiba-tiba pangeran, yang tiada lain Kakiabu itu, tersenyum dan berkata, “Sungguh-sungguh dinda isteriku yang setia. Dahulu dinda mengatakan lebih baik mencari nafkah dengan menenun dan menjual kuali atau meminta-minta daripada menjadi isteriku. Semuanya telah terjadi!”

Baru sekarang puteri Dora mengenali Kakiabu, suaminya yang sangat dicintainya. Dengan serta merta ia memeluk suaminya.

“Segala penderitaanku telah membawa manfaat yang besar sekali. Maafkan daku Kanda. Aku akan tetap setia di sampingmu untuk selama-lamanya.!”


TAMAT

No comments:

Post a Comment