Pages

Monday, June 14, 2010

Burung Dara Putih - Rusia

Dahulu kala di Rusia ada seorang raja. Raja di Rusia disebut Tsar. Tsar ini sangat berkuasa dan kaya sekali. Tetapi Tsar belum beristeri. Hal ini merusuhkan hati rakyat Rusia. Lebih-lebih lagi para nenek tua yang sudah ubanan.

Mereka menggelengkan kepala sambil mengeluh, “Tsar kita bukan hanya kaya saja. la juga bijaksana. Tetapi bagaimana jadinya nanti kalau ia tidak beristeri?”

Di antara para pegawai Tsar ada seorang pemanah bernama Petruska. la mahir benar melepas anak panah. Sasarannya selaiu kena. Kerjanya sehari-hari berburu unggas di hutan. Burung yang didapatnya dimasak di dapur istana untuk hidangan makan malam Tsar.

Pada suatu hari Petruska pergi berburu sebagai biasa. Tetapi tak seekor unggas pun ditemuinya. Berat benar rasa hati Petruska. Hari ini ia belum mendapat hasil satu pun. Sedangkan Tsar gemar sekali makan burung goreng. Hari sudah siang dan matahari sudah tinggi. Dengan langkah berat Petruska mencari jalan kembali. Tiba-tiba ia berhenti. Di depannya, di atas dahan sebuah pohon, hinggap seekor burung dara putih. Burung itu sedang asyik menyisik bulunya. Petruska tertegun melihat burung itu.

“Bagus sekali,” kata Petruska dalam hatinya.

“Sayang jika burung itu dibunuh. Tetapi aku punya kewajiban. Aku tak mau kembali dengan tangan kosong.”

Dibidikkannya anak panah dan dilepaskannya ke arah burung itu. Burung itu kena pada sayap kanannya. De­ngan teriakan sedih dara putih itu jatuh ke tanah. Dadanya berlumuran darah. Petruska memungut bu­rung itu.

Burung itu berkata, “Jangan bunuh aku. Bawalah aku pulang. Bersihkan luka-luka di badanku. Lalu biarkan aku istirahat sebentar. Kalau aku mulai mengantuk, usaplah aku de­ngan tangan kananmu. Engkau akan beruntung nanti.”

“Baiklah,” pikir Petruska.

“Biarlah Tsar malam ini makan hidangan lain.”

Burung itu dibawanya pulang ke rumahnya. Sampai di rumah dibalutnya luka burung itu. Lalu ditempatkannya di kayu jendela. Burung itu beristirahat sebentar. Tak lama kemudian kelopak matanya mulai menutup. Kepalanya diselipkannya ke bawah sayap kirinya yang tidak cedera. Burung itu sudah mengantuk. Petruska ingat pesan burung itu. Diusapnya burung itu dengan tangan kanannya. Tiba-tiba burung itu jatuh dari jendela. la berubah menjadi seorang puteri yang cantik!

Puteri itu berkata, “Petruska, engkau berhasil menangkap aku. Sekarang adalah kewajibanmu memelihara aku. Namaku Masya. Jadikanlah aku isterimu.”

Tentu saja Petrus­ka gembira sekali mendapat isteri secantik itu. Karena Petruska bukan orang kaya, mereka hidup sederhana. Walau pun begitu Petruska dan Masya bahagia sekali. Pada suatu hari, Petruska pulang dengan lesu. la lelah sekali. Hasil perburuan hanya sedikit.

Masya meletakkan tangannya ke bahu suaminya, lalu katanya, “Kita miskin sekali, Petruska.”

“Memang benar,” jawab Petruska dengan sedih.

“Apakah engkau punya uang seratus rubel?” Tanya Masya. (Rubel adalah mata uang Rusia.)

“Ada,” jawab Petruska.

“Dan hanya itu saja milik kita.”

“Baiklah,” kata Masya.

“Bawalah uang seratus rubel itu ke kota. Belikan seratus ikat benang sutera berbagai warna. Aku akan berusaha supaya kita jadi kaya.”

Petruska menurut kata isterinya. la pergi ke kota dan kembali dengan seratus ikat benang sutera halus.

Masya berkata, “Hari sudah malam. Engkau perlu istirahat. Pergilah tidur. Kita tunggu hari esok. Karena matahari pagi membawa hikmat dan rejeki.”

Petruska segera tidur, Masya duduk di atas sebuah bangku. la menganyam benang sutera itu diterangi sinar sebatang lilin. Sepanjang malam jari-jarinya bekerja menganyam sehelai permadani.

Pagi-pagi ketika suaminya bangun, Masya memperlihatkan hasil pekerjaannya. Petruska heran melihat permadani seindah itu. Seluruh kerajaan Rusia dilukiskan di situ. Dari Laut Baltik sampai pegunungan Ural, Laut Putih sampai Laut Hitam, semuanya ada. Hutan hijau penuh margasatwa. Ikan asyik berenang di sungai. Para perajurit sedang berbaris. Di laut tampak beberapa kapal sedang berlayar. Matahari, bulan dan bintang-bintang bertebaran di langit biru.

“Bawalah permadani sutera ini ke kota,” kata Masya.

“Pergilah ke tempat para saudagar berkumpul. Jangan menyebut harga barang ini. Juallah kepada orang yang pertama berani menawar.”

Di kota Petruska menuju ke balai para saudagar. Kecuali saudagar-saudagar Rusia, banyak juga sau­dagar dari negeri asing. Dari Armenia, Yunani dan Persia. Petruska menghamparkan permadani di depan mereka. Semua kagum dan memuji keindahannya.

“Berapa harganya?” tanya seorang saudagar.

“Berapa tuan berani bayar?” sahut Petruska.

Sau­dagar itu menggaruk-garuk kepalanya sambil berpikir. Sukar baginya menyebutkan harga. Begitu pula saudagar-saudagar lainnya. Tak ada yang tahu be­rapa kira-kira harga permadani itu.

Pada waktu itu, Perdana Menteri lewat. la heran melihat para saudagar berkerumun. Suasana balai itu biasanya ramai.

“Selamat pagi, Tuan-tuan,” kata Perdana Menteri.

“Ada apa di sini?”

Kemudian tampak olehnya permadani itu.

“Ya Tuhanku!” katanya.

“Tangan siapakah yang menciptakan keindahan ini?”

“Isteri saya yang membuatnya,” kata Petruska.

“Berapa harganya?” tanya Perdana Menteri.

“Saya sendiri tidak tahu. Tawaran yang pertama, itulah yang saya terima.”

“Aku mau membelinya seharga lima ribu rubel,” kata Perdana Menteri.

“Tuan yang pertama menawar. Permadani ini milik tuan,” kata Petruska.

Setelah menerima uang lima ribu rubel, Petruska menyerahkan permadani kepada Perdana Menteri. Petruska pulang dengan gembira. Perdana Menteri membawa permadani itu ke istana.

“Hai!” seru Tsar ketika melihatnya.

“Itu lukisan kerajaanku. Aku ingin memilikinya. Berapa harganya?”

“Mahal, Tuanku. Lima puluh ribu rubel,” kata Perdana Menteri.

“Baiklah,” kata Tsar.

Disuruhnya Bendahara Kerajaan membayar harga itu. Permadani sutera itu lalu dibawa masuk istana. Perdana Menteri yang sudah banyak untung itu orang serakah. la ingin dapat untung lebih banyak lagi. Akan disuruhnya isteri Petruska membuat permadani lagi. Perdana Menteri pergi ke rumah Petruska. Diketuknya pintu pondok kecil itu.

Masya membuka pintu dan bertanya, “Selamat pagi, Tuan ada perlu apa?”

Perdana Menteri tercengang melihat kecantikan Ma­sya. Mulutnya bungkam. la tidak dapat menjawab karena kagumnya. Karena tidak mendapat jawaban, Masya menutup pintu kembali. Barulah Perdana Menteri sadar. la kembali ke istana. Ia segera menghadap Tsar dengan muka muram.

“Tuanku,” kata Perdana Menteri.

“Saya baru datang dari rumah pemanah Petruska. Ternyata isterinya cantik sekali. Sepantasnya ia jadi isteri raja. Di seluruh Rusia ini rasanya tak ada wanita secantik dia.”

“Betulkah?” tanya Tsar.

“Aku ingin melihatnya sendiri.”

Dengan menyamar sebagai orang biasa Tsar dan Perdana Menteri sampai di pondok Petruska. Tsar mengetuk pintu. Pintu terbuka dan Masya berdiri di ambang pintu.

“Selamat siang, Tuan ada perlu apa?” tanya Masya.

Tsar tertegun dan terdiam. la juga bungkam karena kagum. Karena tidak mendapat jawaban Masya menutup pin­tu kembali. Setelah Tsar sadar ia kembali ke istana dengan hati sedih.

“Memang benar kata Perdana Menteri,” pikir Tsar.

“Wanita itu seharusnya jadi isteri raja. Tak pantas jadi isteri pemanah.”

Berhari-hari Tsar teringat terus kepada Masya. Akhirnya Tsar memutuskan akan mencuri isteri Petruska.

Dipanggilnya Perdana Menteri dan diperintahkannya menyingkirkan Petruska.

“Carilah akal supaya Petruska pergi dari sini. Usahakan supaya ia tidak dapat kembali lagi,” perintah Tsar.

“Kalau berhasil, kuberi hadiah rurnah, kebun dan emas. Kalau tidak kupenggal lehermu!”

Perdana Menteri bingung sekali. Bagaimana ia dapat menyingkirkan Petruska? Karena putus asa ia pergi ke rumah minum. Setelah puas minum ia duduk terdiam setengah mabuk.

Seorang tamu lain menepuk bahunya sambil bertanya, “Mengapa murung begitu, Tuan?”

Perdana Menteri menceriterakan tugas yang diberikan Tsar kepadanya.

“Ah,” kata orang itu.

“Mudah saja. Petruska orang yang penurut. Suruhlah ia pergi ke tempat yang mustahil. Berilah tugas yang mustahil di tempat itu. Pasti ia tidak akan sanggup. la tentu mati di jalan.”

“Tugas yang bagaimana?” tanya Perdana Menteri.

“Suruhlah ia pergi ke negeri Entah Berentah. Suruh cari sesuatu yang disebut gaib di sana. Dan suruh bawa benda itu kepada Tsar,” kata orang itu.

“Bagus sekali,” kata Tsar mendengar usul Perdana Menteri.

“Celaka aku,” pikir Petruska ketika menerima perintah Tsar.

Petruska pulang dengan hati sedih.

Masya bertanya, “Mengapa engkau sedih dan murung begitu?”

Petruska menceritakan tugas Tsar yang diberikan padanya.

“Jangan khawatir,” kata Masya.

“Sebaiknya engkau istirahat dulu. Pergilah tidur. Kita tunggu saja hari esok. Karena matahari pagi membawa hikmah dan rejeki.”

Keesokan harinya Petruska bersiap-siap akan berangkat. Masya memberikan sebuah gulungan be­nang dan sehelai handuk yang disulam.

“Petruska,” kata Masya kepada suaminya.

“Gulingkan gulungan benang ini di depanmu. Ikuti terus ke mana ia berguling. Kalau ia berhenti, engkau pun berhenti. Kemudian keluarkan handuk bersulam ini. Gosok muka dan tanganmu dengan handuk ini.”

Petruska menggulingkan gulungan benang. Diikutinya ke mana arah ia berguling. Makin lama makin jauh. Hari berganti hari, gulungan itu terus berguling siang dan malam. Petruska terus mengikuti. Kakinya terasa sakit dan matanya pedih.

Sampai di tengah sebuah rimba gulungan itu berhenti. Hari sudah senja. Petruska memperhatikan sekelilingnya. Gulungan benang jtu berhenti di depan sebuah pondok. Petruska tegak memperhatikan pondok itu. Kemudian dikeluarkannya handuk bersulam. Digosoknya muka dan tangannya dengan handuk itu. Dalam pondok tinggal seorang wanita tua. la tukang sihir. Nenek sihir sedang duduk menenun dalam pondoknya.

Ketika melihat Petruska ia berseru, “Hai! Hai! Hai! Pemuda tampan dan gagah dan cakap! Tahukah engkau rumah siapa ini? Dan apa akibatnya kalau ada orang sampai ke mari?”

“Nanti dulu, Nenek Sihir,” kata Petruska.

“Aku lelah sekali. Hampir tak tahan aku berdiri. Kakiku pegal dan mataku pedih karena mengantuk.”

Sambil berkata begitu Petruska menggosok tangannya dengan handuk bersulam.

Melihat handuk itu Nenek Sihir terkejut dan bertanya dengan tajam, “Dari mana kau dapat handuk itu?”

“Dari isteriku,” jawab Petruska.

Nenek Sihir gembira sekali.

“Handuk bersulam ini kepunyaan anakku,” kata Nenek Sihir.

“Isterimu adalah anakku. Selamat datang menantuku! Mengapa engkau mengembara sejauh ini? Masuklah ke dalam pondok!”

Petruska menceritakan tugas Tsar yang diberikan kepadanya.

Nenek Sihir berkata, “Aku akan minta tolong pada Katak Sakti. la tinggal di atas sebuah pohon di tengah Rawa Hijau. Sekarang engkau harus istirahat dulu. Pergilah tidur. Hari sudah malam. Tunggu saja hari esok. Karena matahari pagi membawa hikmah dan rejeki.”

Ketika Petruska sudah tidur, Nenek Sihir mengambil sapu ajaibnya. la duduk di atas tangkai sapu lalu terbang.

Sampai di Rawa Hijau sapu itu mendarat di tepi.

la berseru, “Katak Sakti di tengah rawa! Ada di mana kau?”

Dari tengah rawa terdengar suara gemuruh. Itulah tanda Katak Sakti mendengar seruan Nenek Sihir.

“Aku di sini,” jawabnya.

“Tahukah engkau di mana letak negeri Entah Berentah?”

“Aku tahu.”

“Dan tahukah engkau sesuatu yang disebut gaib?”

“Aku tahu!”

“Maukah engkau mengantarkan menantuku.ke sana? la harus mengambil sesuatu yang gaib itu.”

“Nenek Sihir,” kata Katak Sakti.

“Aku mau mengan­tarkan menantumu. Bawalah aku ke tempat tinggalmu sekarang.”

Nenek Sihir dan Katak Sakti duduk di atas sapu lalu terbang. Keesokan harinya, pagi-pagi Petruska sudah siap. Katak Sakti menyuruh Petruska duduk di atas punggungnya. Nenek Sihir mengucapkan selamat jalan. Kemudian terbanglah Katak Sakti dengan Petruska di punggungnya. Mereka terbang tinggi di udara menembus awan. Petruska menggigil karena hawa yang dingin. Setelah beberapa lamanya, terasa hawa panas. Warna awan yang putih berangsur menjadi merah.

Jauh di bawah tampak Sungai Api. Lidah api merah menyala menjilat ke semua arah. Katak Sukti menyuruh Petruska berpegang lebih erat. Kemudian Katak Sakti terbang lebih tinggi lagi. Waktu melintasi Sungai Api terasa hawa panas sekali. Setelah melewati Sungai Api Katak Sakti terbang rendah. Sampai di lapangan terbuka Katak Sakti turun.

“Turunlah di sini,” kata Katak Sakti.

“Inilah negeri Entah Berentah. Carilah bangunan yang bukan rumah, bukan istana dan bukan pondok. Setelah masuk, bersembunyilah di balik lemari. Nanti akan kau temui sesuatu yang disebut gaib. Karena di situlah tempatnya.”

Katak Sakti lalu kembali ke Rawa Hijau.

Petruska berjalan melalui bermacam gedung, ru­mah dan istana. Juga beberapa pondok dan gubuk dilewatinya. Akhirnya ia sampai pada sebuah bangunan. Bangunan itu terbuat dari ranting kayu. Tidak ada daun pintu dan jendela. Petruska masuk dan bersembunyi di balik lemari. La menunggu. Tak lama kemudian tempat itu bergetar. Seorang kakek tua masuk. Rambutnya putih dan janggutnya panjang.

“Hai Gaib!” seru kakek itu.

“Sediakan makanan!”

Sebagai jawaban muncullah di atas meja piring-piring berisi bermacam-macam makanan. Sebentar saja meja itu penuh.

“Hai Gaib!” kata kakek itu pula.

“Sediakan minuman!”

Sebuah tahang besar berisi minuman muncul di atas meja. Kakek tua itu makan dan minum sepuasnya. Kemudian ia pergi ke hutan.

Petruska keluar dari tempatnya bersembunyi.

la berseru, “Hai Gaib! Sediakan makanan!”

Langsung meja penuh makanan.

“Hai Gaib!” kata Petruska pula.

“Se­diakan minuman!”

Minuman pun datanglah.

Selesai makan dan minum Petruska berseru, “Hai Gaib! Mari ikut aku!”

Petruska keluar dari tempat itu. la tidak melihat apa-apa. Tetapi ia merasa diikuti. Pasti si Gaib ada di dekatnya.

Sampai di lapangan terbuka Petruska menyuruh Gaib membawanya kembali ke rumahnya. Petruska merasa badannya diangkat. Kemudian ia merasa diterbangkan. Makin lama makin tinggi. Setelah berhari-hari diterbangkan, akhirnya Petruska sampai di depan pondok kecilnya. Alangkah gembiranya Pe­truska akan bertemu lagi dengan Masya. Tetapi alangkah kecewanya!

Berkali-kali pintu diketuk, tak ada yang membukakan. Pintu didorongnya, ternyata tidak terkunci. Ruangan dalam berantakan. Meja kursi terbalik di sana-sini. Piring mangkuk pecah bertebaran di lantai. Dan Masya, isterinya, tidak ada! Barulah Petruska sadar, bahwa isterinya diculik Tsar! Itu sebabnya ia disuruh pergi dengan tugas yang mustahil!

“Aduh!” keluhnya.

“Tsar yang tidak tahu malu itu mencuri isteriku!”

Sedang berkata begitu Petruska merasa ada sesuatu di bahunya. Burung dara putih! Burung itu berubah menjadi Masya yang cantik! Alangkah gembiranya Petruska dan Masya karena sudah bertemu lagi!

Masya menceritakan apa yang terjadi. Setelah Petruska pergi. Tsar dengan pengawal-pengawalnya datang. Mereka memaksa akan membawa Masya ke istana. Tetapi Masya segera berubah menjadi burung dara putih la!u terbang!

Petruska menceritakan bagaimana ia sampai ke Entah Berentah. Juga bagaimana ia mendapatkan si Gaib! Karena Tsar berniat jahat, Petruska tidak akan menyerahkan Gaib kepada Tsar.

Petruska menyuruh Gaib menyediakan rumah de­ngan periengkapannya. Di tempat pondok kecil itu sekarang berdirilah sebuah gedung putih. Rumah yang megah itu dikelilingi kebun mawar. Dalam kolam berenang beberapa ekor angsa. Petruska dan Masya hidup dengan tenang di rumah itu dilayani si Gaib.

Pada suatu hari Tsar dengan pengiringnya pergi berburu. Rombongan itu sampai ke depan rumah Petruska. Tsar bertanya pada seorang penebang kayu, siapa pemilik rumah itu.

“Tuanku, itu rumah Petruska, si pemanah,” kata pe­nebang itu.

“la sudah kembali dari Entah Berentah membawa si Gaib.”

“Oh, begitu!” kata Tsar dengan berangnya.

“Ayo serbu rumah itu! Seret Petruska ke luar!” perintah Tsar pada para pengawal.

Ketika para pengawal mencoba menyerbu, mereka rubuh satu per satu. Petruska menyuruh si Gaib membinasakan mereka.

Tsar menyuruh para pengiring yang lain menyerbu. Mereka pun binasa semua. Kini tinggal Tsar dan Perdana Menteri saja!

“Hai Petruska si pemanah!” seru Tsar.

“Jangan serang aku! Aku menyerah dan akan menurut semua kehendakmu!”

“Baik!” sahut Petruska.

“Binasakan dulu perdana menteri pengkhianat itu! Dialah yang menghasut Tuanku dan memfitnah saya!”

“Baik, akan dilaksanakan!” kata Tsar.

Tetapi Perdana Menteri sudah lari. Petruska menyuruh Gaib mengejar. Sebentar saja Perdana Menteri binasa dan rubuh ke tanah.

Tsar sadar akan kesalahannya. Diajaknya Petruska dan Masya ikut ke istana. Si Gaib juga tidak ketinggalan. Sampai di istana Tsar mengadakan pesta untuk menghormat Petruska dan Masya. Maka ramailah orang-orang makan, minum dan menari!

Dan sebentar-sebentar terdengarlah suara Petruska berseru, “Hai Gaib! Sediakan ini! Sediakan itu!”


TAMAT

No comments:

Post a Comment