Pages

Saturday, June 12, 2010

Peti Terbang - H. C. Andersen

Sekali peristiwa, ada seorang pedagang. Ia kaya sekali. Begitu kayanya, hingga uang peraknya cukup untuk mengaspal jalan di depan rumahnya. Bahkan jalan di sampingnya! Tentu saja ia tidak berbuat begitu.

Ia terlalu cerdik untuk berbuat seperti itu. Ia lebih tahu untuk apa uang itu. Jika ia mengeluarkan satu sen, ia harus mendapat sepuluh sen kembali! Ia amat pandai dan cerdik. Meski pun demikian, ia harus mati juga.

Segala kekayaan itu diwarisi anak laki-lakinya. Tetapi ia hidup menuruti kesenangannya. Tiap malam ia pergi menonton wayang dan sandiwara. Atau pergi ke pesta dansa. Topi serta topengnya dibuat dari uang kertas.

Dengan cara begitu, tentu uangnya segera akan habis. Itu pun segera terjadi. Pada suatu hari, ia tinggal memiliki lima rupiah. Ditambah beberapa sen lagi. Pakaiannya tinggal sepasang yang usang, bersama sepasang sepatu sandal.

Teman-temannya tidak menghiraukan lagi. Ia telah tidak mempunyai uang. Untuk apa diajak menonton atau berjalan-jalan! Begitulah jika orang tidak mempunyai uang!

Tetapi ada juga seorang yang berhati baik. Teman itu memberinya sebuah peti. Ia berkata, “Masukkanlah!”

Teman itu memang bermaksud baik sekali. Tetapi apa lagi yang harus dimasukkan ke dalam peti? Hartanya telah habis sama sekali! Ia telah tak punya apa-apa. Oleh karena itu, ia sendiri yang masuk ke dalamnya!

Anehnya, jika kunci peti itu ditekan, ia bisa terbang!

Itulah yang telah dilakukan oleh anak pedagang itu. Hup, ia pun terbang dengan peti-petinya. Keluar dari rumah, melalui cerobong asapnya. Makin lama makin tinggi. Makin lama makin jauh. Jauh sekali.

Peti itu sudah tua. Segera juga dasarnya berbunyi berderak. Abu, anak pedagang itu menjadi takut. Khawatir kalau dasar peti itu patah. Tentu ia akan jatuh ke tanah. Kalau tak untung, tulangnya patah-patah. Ia segera mengambil keputusan, turun!

Ia lalu mendarat di hutan, di negeri orang Turki. Petinya disembunyikan di bawah daun-daun kering. Ia lalu masuk ke dalam kota.

Ia tidak menyolok menarik perhatian. Sebab sudah biasa, orang Turki hanya berpakaian sehelai kemeja dan sepatu sandal.

Ia berjumpa dengan seorang ibu yang menggendong bayi.

Ia bertanya, “Maaf, nyonya Turki, istana apakah itu, di dekat kota itu? Itu, yang jendelanya tinggi-tinggi?”

Nyonya itu menjawab, “Itulah istana puteri Sultan. Dulu pernah diramalkan, bahwa akan bersengsara karena kekasihnya. Oleh karena itu, tak seorang pun diperbolehkan menemuinya. Kecuali bersama Sultan dan permaisuri.”

“Terima kasih,” kata Abu. Ia pergi kembali ke dalam hutan.

Ia lalu masuk ke dalam petinya. Ia terbang dan mendarat di atap istana. Melalui jendela, ia merangkak ke kamar tuan puteri.

Puteri itu tergeletak di atas dipan. Ia sedang tidur. Ia amat cantik dan menarik. Di dahinya ada seekor nyamuk. Abu terpaksa memukulnya.

Puteri itu terbangun. Ia amat terkejut.

Tetapi Abu berkata, “Jangan terkejut. Aku adalah dewa bangsa Turki. Yang datang dari langit.”

Perkataan itu amat berkenan di hati puteri. Mereka lalu duduk berdampingan. Abu berkata, ia mengagumi mata tuan puteri.

Katanya, “Seperti danau yang jernih. Peri-peri mungil, berenang di dalamnya.”

Ia pun berceritera tentang dahi tuan puteri, “Serupa benar dengan istana salju. Penuh ruangan dan lukisan yang indah.”

Ya, ceritera-ceritera itu bagus sekali! Tuan puteri senang mendengarnya. Kemudian Abu mengajukan lamaran. Segera saja lamaran itu diterima.

“Tuan harus datang hari Sabtu,” kata tuan puteri.

“Pada hari Sabtu ayahanda sultan dan ibu permaisuri datang. Mereka akan minum teh bersamaku di sini. Tetapi tuan harus berceritera yang bagus-bagus. Orang tua saya suka akan dongeng-dongeng. Ibu suka yang berisi nasihat-nasihat. Ayah suka yang jenaka. Ia suka tertawa terbahak-bahak. Tentu kami akan bangga, saya bersuami dewa bangsa Turki!”

“Aku memang tak dapat memberikan mas kawin yang lain, kecuali sebuah dongeng!” kata Abu.

Ia lalu berpamitan. Tuan puteri memberikan sebilah pedang. Pedang itu bertatahkan ratna mutu manikam. Si Abu amat pandai mempergunakannya.

Ia lalu naik ke atap dan pergi terbang. Dibelinya sebuah baju baru. Ia lalu pergi ke hutan untuk mengarang sebuah dongeng. Sebab hari Sabtu harus sudah selesai. Itu bukan soal yang mudah!

Ketika ia selesai mengarang, hari Sabtu telah tiba.

Sultan dan permaisuri telah lama menanti di tempat tuan puteri. Mereka diiringkan segala pembesar dan menteri. Air teh telah lama disediakan. Begitu juga kue-kuenya. Pemuda itu disambut dengan penuh kehormatan.

“Dapatkah tuan menceriterakan sebuah dongeng?” tanya permaisuri.

“Yang dalam, berisi dan mengandung pelajaran?”

“Ya”, sambung sultan. “Tetapi kami harus juga dapat tertawa!”

Pemuda itu menjawab, “Dongeng semacam itu segera akan kuceritakan.

Dengarkanlah baik-baik. Semua hadirin lalu minum teh seteguk, kemudian siap untuk mendengarkan.

Abu mulai berceritera,

“Sekali peristiwa, ada sekelompok batang-batang korek api. Mereka amat bangga akan asal-usulnya. Mereka berasal dari sebatang pohon cemara yang amat tinggi. Tiap batang merupakan sebagian dari pohon tersebut. Pohon itu dulu telah tua sekali. Tinggi menjulang di dalam hutan.

Korek api itu duduk di antara sebuah pemantik dan sebuah periuk besi. Mereka berceritera kepada kedua benda itu. Ceritera tentang masa mudanya.”

Kata mereka, “Ketika kami masih muda, kita tinggal di antara kehijauan. Setiap pagi dan malam, kami selalu minum teh intan. Yaitu embun. Siangnya, kami bermalas-malasan di siniar matahari. Setidak-tidaknya, jika matahari bersinar.

Setiap burung berceritera dan mendongeng kepada kami. Kami tahu, bahwa kami kaya sekali. Pohon-pohon yang lain, hanya mampu berpakaian di musim panas. Tetapi kami, selalu berpakaian hijau sepanjang tahun Di musim panas maupun di musim dingin.

Pada suatu hari datanglah serombongan penebang kayu. Mulai saat itu, terjadilah perubahan besar pada keluarga kami. Kami ditebang dan dipotong-potong. Batang kami menjadi tiang utama sebuah kapal layar. Ia melayari tujuh lautan, jika ia mau!

Dahan-dahan pergi ke tempat lain. Sedangkan kami mendapat tugas membantu manusia. Memberikan api dan penerangan. Jadi, kami merupakan bangsa ternama di dapur ini.”

Kata periuk besi, “Riwayatku lain sekali, semenjak aku dilahirkan, aku selalu dicuci dan dibersihkan, tetapi yang lebih sering, aku dipakai untuk memasak. Aku yang menjaga kelangsungan hidup di keluarga ini. Aku paling utama di sini. Aku paling gembira jika aku dibersihkan. Kemudian biasanya aku diletakkan di papan.

Di sana aku dapat bercakat-cakap dengan siapa pun yang ternama. Tetapi sebenarnya kami memang agak terasing dari dunia luar. Untungnya ada si ember air. Ia sering bertugas di kebun. Jadi ia yang membawa khabar dari luar.

Tetapi sumber segala berita ialah si keranjang belanjaan. Setiap hari ia pergi ke pasar. Berdesak-desakan di antara manusia. Tetapi ia suka melebih-lebihkan. Ia pun kadang-kadang memburuk-burukkan, apa pun dan siapa pun. Baru-baru ini si periuk tua telah menjatuhkan diri. Hanya karena jengkel mendengarkan ocehannya. Ia jatuh berkeping-keping di lantai.”

“Ah, engkau terlalu banyak cakap”, kata si pemantik.

Ia berkata sambil menyemburkan bunga api, “Lebih baik kita menyelenggarakan malam gembira!”

“Ya, marilah kita tentukan”, kata korek api.

“Siapa dari kita ini yang paling ternama”.

“Jangan”, kata periuk besi.

“Aku selalu berendah diri menyebutkan asal usulku. Aku ada usul lain. Semua saja berceritera, mengenai pengalamannya. Aku dulu yang mulai. Makin tegang ceriteranya, makin asyik yang mendengar. Dengan demikian kita mendapat malam gembira! Sekarang dengarkan, aku mau mulai. Jauh dari sini, di tepi pantai……”

“Aduh”, sela piring-piring, “Permulaan yang menarik!”

“Jadi”, sambung periuk besi. “Di tempat itulah masa kecilku. Bersama-sama sebuah keluarga yang menyenangkan. Meja kursinya selalu dibersihkan. Lantai tak pernah lupa dipel. Dua minggu sekali gorden-gorden diganti.”

“Engkau mendongeng amat menarik”, kata sikat pengepel.

“Aku segera menjadi tahu, bahwa yang mendongeng suka kebersihan!”

“Ya”, kata si ember menyambung.

“Kita segera tahu mendengar dongeng itu.”

Ia berjingkrak-jingkrak, hingga airnya berguncang-guncang.

Periuk besi itu melanjutkan dongengnya. Datar tak bernada seperti semula. Tetapi piring-piring sangat terkesan. Sikat pengepel lalu membuat mahkota. Dibuat dari seikat daun seledri. Diletakan di atas kepala periuk besi.

Ia tahu dengan pasti, bahwa yang lain tentu menjadi iri. Mungkin menjadi jengkel.

Ia pun berpendapat, “Jika sekarang ia kuberi mahkota, nanti ia akan membuatkan untukku!”

“Sekarang aku mau menari”, kata si catut.

Ia mulai menari. Bukan main lucunya, Hampir saja semua tak percaya! Bagaimana ia dapat mengangkat kakinya sebelah-sebelah!

Kursi dapur melihat dengan tegang, sampai-sampai kain pelapisnya menjadi koyak!

“Dapatkah aku sebuah mahkota?” tanya si catut

Ya, ia berhak menerimanya.

“Ah, itu tidak luar biasa”, pikir korek api.

Tetapi untuk menjaga nama, mereka tidak mengatakannya.

Giliran jatuh pada si teko. Ia harus menyanyi. Tetapi ia sedang masuk angin.

“Lagi”, katanya. “Aku hanya menyanyi jika air mendidih”.

Ah, itu hanya alasan. Si teko hanya merasa terhormat, jika menyanyi di meja keluarga. Atau di meja perjamuan.

Pada papan di dekat jendela, berdiri si pena bulu angsa. Ia biasa dipergunakan untuk menulis oleh si pelayan dapur. Ia sebenarnya tak banyak menarik perhatian. Hanya saja ia berdiri terlalu dalam di dalam botol tinta. Tetapi ia malah merasa bangga.

Ia berkata, “Jika si teko tak mau menyanyi, biarkanlah! Di depan jendela ada si burung bulbul. Di dalam sangkarnya. Dialah baru, yang pandai menyanyi! Memang ia tak berpendidikan, tetapi, untuk waktu ini, janganlah kita menghiraukan hal demikian.”

“Aku kira itu kurang tepat”, kata si ketel air.

Ia sebenarnya mempunyai jabatan penyanyi dapur. Ia juga masih sekeluarga dengan si teko. Bahkan ia masih termasuk kakak tirinya.

“Ia adalah penyanyi asing”, katanya.

“Manakah rasa kebangsaan kita? Biarlah si keranjang belanjaan yang memutuskan!”

“Aku bosan”, kata keranjang belanjaan.

“Aku bosan dan jengkel setengah mati. Apakah begitu caranya memeriahkan malam gembira? Lebih baik kita bereskan rumah tangga kita. Masing-masing akan teratur di tempatnya. Aku bersedia menjadi pengatur. Bukankah itu sesuatu yang lain?”

“Bagus”, jawab semuanya.

“Marilah kita beramai-ramai sedikit. Tak mengapa gaduh sedikit”.

Tetapi, pada saat itu pintu dapur terbuka. Pelayan dapur masuk. Semua membungkam. Semua diam di tempat masing-masing. Rapih, teratur, seperti semula.

Pelayan itu mengambil korek api, Kemudian di gesekkannya, sehingga menyala. Cahanyanya bersinar menerangi ruang dapur.

“Lihatlah kepada kami!” pikir korek api.

“Betapa agungnya kami. Lihatlah sinar cahaya kami.”

Tetapi mereka segera padam. Habis terbakar.

“Dongeng yang menarik”, kata permaisuri.

“Aku merasa seolah-olah bersama mereka ada di dapur. Ya, aku mengizinkan puteriku kawin dengan engkau”.

“Begitulah hendaknya”, sambung sultan.

“Engkau akan kawin dengan puteriku”.

Sekarang mereka berkata dengan engkau dan aku. Tidak memakai sebutan tuan. Abu sudah dianggap anggauta keluarga! Tanggal pernikahan segera ditentukan.

Malam menjelang perkawinan, kota bermandi cahaya. Pada rakyat dibagikan roti mari dan kue donat.

Anak-anak berteriak sepanjang jalan, “Hidup! Hidup mereka, pengantin berdua!”

Suasana kota amat meriah.

“Aku akan ikut meramaikan!” pikir Abu.

Ia lalu memborong petasan dan kembang api. Dimasukkan semuanya ke dalam peti. Ia sendiri segera mengikuti. Kemudian ia terbang di atas kota.

Suara petasan riuh di udara. Kembang api berpancaran, menambah terangnya kota. Cahayanya berwarna-warni, hijau, kuning, merah seperti pelangi.

Rakyat Turki bersorak-sorak. Mereka menari-nari di sepanjang jalan. Mereka melompat-lompat, berjingkrak-jingkrak.

Sandal-sandal beterbangan di udara. Mental terlepas dari kaki mereka. Pertunjukan demikian, belum pernah mereka saksikan. Mereka merasa pasti, bahwa Abu memanglah dewa bangsa Turki.

Si Abu lalu turun ke hutan kembali. Ia ingin tahu, bagaimana pendapat rakyat. Diam-diam ia pergi ke kota. Ia menyelinap di antara rakyat.

Alangkah bangga hatinya! Di sana ia mendengar bermacam-macam hal. Masing-masing memuji menurut pendapatnya sendiri!

“Ia benar-benar dewa kami”, kata seorang.

“Matanya bersinar seperti bintang. Janggutnya bagus, seperti air mancur!”

Yang lain berkata lagi, “Ia terbang berkeliling. Mantelnya menyala-nyala! Dewa-dewa kecil mengintip dari lipatannya!”

Ya, itu semua pujian yang membanggakan. Semuanya benar-benar menyenangkan. Kedua telinganya tak bosan-bosan mendengarnya. Seperti dikilik-kilik saja rasanya!

Ia lalu kembali masuk ke dalam hutan. Hari berikutnya akan dilangsungkan perkawinan.

Ia ingin masuk ke dalam petinya. Tetapi, di mana peti itu? Dicarinya berkeliling. Segala semak-semak diintipnya. Sia-sia saja. Yang ditemukan hanya setumpuk abu!

Peti itu telah terbakar!

Rupa-rupanya, api kembang api ada yang tercecer. Ketika Abu mendarat, api lalu membesar. Peti itu habis terbakar. Tinggal abu sisa-sisanya saja.

Abu Tertegun. Ia tak dapat terbang lagi. Tak dapat mengunjungi tuan puteri. Tak dapat datang melangsungkan perkawinan!

Puteri sultan menunggu sepanjang hari di atas atap. Ia menunggu dengan setia. Sepanjang masa. Tetapi Abu tak kunjung datang. Barangkali, sekarang pun ia masih menunggu di atas atap. Tentu saja jika tidak hujan!

Bagaimana dengan si Abu?

Ia meneruskan menjelajah dunia. Tetapi hanya jalan kaki!

Di mana-mana ia selalu berceritera. Tentang apa saja. Yang nyata mau pun tidak. Tetapi dongeng sebagus dongeng ini, tak pernah ada lagi.

TAMAT

No comments:

Post a Comment