Pages

Sunday, June 13, 2010

Mengapa Pungguk Terbang Malam Hari - Asal Mula Mengapa

Beberapa tahun yang lalu, burung-burung Pungguk adalah burung siang. Burung-burung Pungguk itu selalu bernyanyi pada siang hari dan tidur pada malam hari, seperti burung-bu­rung lainnya. Tetapi kebiasaannya seperti itu segera berubah setelah burung Pungguk bertemu dengan Puteri Bulan.
Pada suatu malam, Burung Pungguk masuk ke sebuah lubang di pohon kenanga tua, lalu tidur. Setiap malam ia selalu tidur di lubang itu. Ketika tengah malam, Burung Pungguk terbangun karena mendengar suara Harimau Kumbang yang nyaring. Burung Pungguk menjenguk keluar. la sangat terkejut karena melihat sebuah bola besar yang bercahaya. Bola besar itu seperti perak dan tergantung di langit.
“Wah, indah sekali! Sungguh ajaib!” katanya.
Kemudian iar melihat seorang puteri sedang duduk di pinggir bulan. Puteri itu sedang menyisir rambutnya yang berwarna hitam. Pada pandangannya yang pertama, Pungguk telah jatuh cinta pada puteri itu. “Aku harus terbang ke tempatnya dan puteri itu akan kujadikan isteriku,” kata Pung­guk memutuskan.
Berkali-kali pungguk mencoba terbang ke bu­lan. Tetapi ia selalu kembali ke bumi dengan sedih dan kelelahan.
Akhirnya ia berkata, “Mungkin kalau kubujuk dengan kata-kata manis, Puteri Bulan itu mau turun ke bumi dan menikah denganku.”
Pungguk selalu mendengarkan kata-kata temannya, yaitu Tekukur. Tekukur itu selalu mendekur kepada kekasihnya. Pungguk pergi ke tempat Tekukur dan menceritakan masalahnya.
“Jangan khawatir,” kata Tekukur. “Kalau kamu sudah kuajar kata-kata manis untuk membujuk, pasti kamu tidak akan ditolak lagi.”
Pungguk tinggal di rumah Tekukur selama tiga hari. Pada hari keempat, ia pulang kembali ke lubangnya yang ada di pohon kenanga tua itu. Pada waktu malam ia memuja cahaya bulan yang cemerlang di langit.
“Buah hatiku yang kusayangi, pandanglah diriku dengan kasih sayang,” kata Pungguk merayu.
Mula-mula Puteri Bulan tidak mempedulikannya. Puteri Bulan mengunyah pinang sambil membelai-belai rambutnya.
Tetapi Pungguk membujuk dengan sungguh-sungguh supaya Puteri Bulan mau turun ke tempatnya. “Puteri Bulan yang rupawan, dengarlah kata-kataku ini. Di atas muka bumi ini, kamu sajalah yang kucintai,” kata Pungguk.
Puteri Bulan menoleh dan melihat ke bawah. “Apa yang gaduh itu?” katanya dengan sombong. “Jangan menggangguku lagi dengan kata-kata yang tak berguna itu.” Kemudian Puteri Bulan menarik awan untuk menutupi wajahnya.
Pungguk yang malang itu sedih sekali. Ia tidak dapat lagi melamun Puteri Bulan kesayangannya itu. Dengan sedih ia masuk ke sarangnya.
Barangkali kata-kataku tidak begitu manis,” pikirnya.
Ketika itu Puteri Bulan ingin tahu apa yang terjadi pada Pungguk akibat perbuatannya itu. Pu­teri Bulan mengintip dari celah-celah awan dan melihat Pungguk sudah tidak ada lagi.
Ini menimbulkan kemarahan Puteri Bulan. la mengira sudah pasti Pungguk akan sedih hatinya dan menunggu kedatangannya lagi. Disibakkannya awan yang menutupi wajahnya, tetapi ia tetap tidak dapat melihat Pungguk.
Puteri Bulan mengambil pinang dan mengunyahnya lambat-lambat. Sambil mengunyah pinangnya, ia berpikir apa yang terjadi pada Pung­guk.
Pada waktu itu Pungguk menyembunyikan kepalanya di balik sayapnya. Pungguk merasa gembira ketika melihat cahaya bulan. Pungguk memandang ke atas. Memandang ke tempat Puteri Bulan kesayangannya duduk.
“Kekasihku sudah kembali ke bulan!” teriaknya kegirangan sambil terbang ke pohon kenanga tua tadi.
Puteri Bulan memandang ke arah Pungguk sam­bil tersenyum. Pungguk merasa senang. “Buah hatiku yang kucintai, kau jangan pergi lagi,” katanya merayu. “Turunlah ke sini, mari kita menikah.”
Puteri Bulan duduk di pinggir bulan sambil mendengarkan kata-kata manis itu.
“Aku seorang puteri,” kata Puteri Bulan kepada Pungguk. “Oleh karena itu, tidak pada tempatnya kalau aku menjadi isteri burung biasa.”
“Jangan berkata begitu, kekasihku. Kalau kau menikah denganku, kau akan menjadi permaisuri hatiku,” Pungguk merayu dengan sungguh-sungguh.
Beberapa saat lamanya Puteri Bulan berpikir sambil melihat ke arah Pungguk yang ada di bawah.
“Ya,” katanya kepada Pungguk. “Lebih baik menjadi Permaisuri daripada menjadi Puteri Bu­lan.”
Pungguk sangat gembira. “Cepat kekasihku, kita dapat menikah malam ini dan kamu akan menjadi permaisuri,” kata Pungguk.
Tetapi Puteri Bulan tidak senang disuruh cepat-cepat. “Tidak,” kata Puteri Bulan. “Aku tidak mau cepat-cepat menikah. Kalau kamu duduk dengan tenang dan tidak menggangguku sampai aku selesai mengunyah pinang, aku akan turun dan meni­kah denganmu.”
Pungguk hampir saja menjerit mendengar berita yang menggembirakan itu, tetapi ia tidak jadi karena teringat kata-kata Puteri Bulan. “Aku harus diam. Kalau tidak, Puteri Bulan tidak mau tu­run,” kata Pungguk pada dirinya sendiri.
Pungguk duduk di atas ranting, diam seperti sebuah batu. Pungguk sama sekali tidak bergerak. Malam sunyi senyap, seolah-olah semuanya mati.
Pungguk pun tidak memejamkan matanya karena patuh pada kata-kata Puteri Bulan.
Sambil mengunyah pinang Puteri Bulan memandang ke arahnya. la marah karena Pungguk memandangnya dengan tajam.
“Mengapa aku harus diganggu oleh makhluk kurang ajar ini? Aku tidak akan berbuat apa-apa lagi padanya,” pikir Puteri Bulan.
la mengambil sepah pinang di mulutnya dan dibuang ke bumi. Begitu sampai ke bumi, Puteri Bu­lan mengubah sepah itu menjadi seekor burung yang indah sekali, supaya Pungguk tidak dapat mencari sepah itu.
Tetapi ketika Pungguk melihat Puteri Bulan membuang sepah itu, ia pun berteriak kegirangan. “Kekasihku, cepat turunlah. Kita dapat menikah sekarang.”
“Mengapa? Aku belum selesai mengunyah se­pah itu. Aku harus menghabiskannya dahulu sebelum menikah denganmu. Carilah sampai ketemu, sehingga aku dapat menghabiskannya.”
“Apakah kau mau berjanji akan menikah denganku setelah sepah itu kutemukan?” tanya Pungguk.
“Aku tidak akan ingkar janji,” kata Puteri Bu­lan. “Aku akan menikah setelah kau membawa sepah itu ke tempatku. Jangan gaduh dan menggangguku sebelum kau menemukan sepah itu.”
Pungguk pun merasa senang. Ia yakin Puteri Bu­lan akan menikah dengannya. Ia pun mencari se­pah yang akan diberikannya kepada Puteri Bulan itu dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, ia tidak pernah lagi terbang pada siang hari, sebab hanya pada malam harilah ia dapat melihat Pu­teri Bulan kesayangannya. Ia masih terbang de­ngan diam-diam karena masih ingat pada kata-kata Puteri Bulan bahwa ia tidak boleh membuat gaduh.
Kalau Pungguk lelah mencari, ia pun duduk di atas dahan pohon dan melihat ke arah Puteri Bu­lan yang duduk di pinggir bulan. Dengan sedih ia merengek, “Permaisuri hatiku, tunjukkanlah di mana aku dapat menemukan sepah itu.”
Puteri Bulan memandang Pungguk dengan tenang-tenang saja. Tetapi kadang-kadang Puteri Bulan juga tersenyum. Senyumannya membuat Pungguk lupa pada kerisauannya. Ia berteriak kegirangan sambil terus terbang mencari sepah itu.
Burung Pungguk = Burung Hantu


TAMAT

1 comment: