Pages

Sunday, June 13, 2010

Keris Empu Gandring - Jawa Tengah

Di desa Pangkur tinggallah suami isteri. Suaminya bernama Gajahpara, sang isterinya bernama Ken Endok. Dari perkawinan mereka, telah lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Ken Arok. Tapi rupanya sang ibu tidak menyukai bayinya. Bayi Ken Arok yang malang oleh ibunya dibuang ke kuburan.
Secara kebetulan seorang pencuri yang bernama Lembong menemukan bayi itu. Kemudian ia membawanya pulang. Setelah Ken Arok besar, anak tersebut membuat kesalahan. Lembong segera mengusirnya.

Rupanya nasib baik telah mempertemukan Ken Arok dengan seorang penjudi ulung. Ken Arok kemudian diangkat menjadi anak Bango Samparan si penjudi. Mulai saat itulah Ken Arok mengenal dunia perjudian.
Kesenangan berjudi Ken Arok sudah mendarah daging. Nasib sial telah menyebabkan harta benda ayah angkatnya habis di meja perjudian. Akhirnya Ken Arok melarikan diri tanpa tujuan.
Tapi nasib mujur masih membayangi Ken Arok. la berjumpa dengan brahmana bernama Lohgawe. Lohgawe sangat menyukai kecerdikan dan kepandaian Ken Arok. Dengan perantaraan Lohgawe Ken Arok diperkenalkan kepada Akuwu Tunggul Ametung yang kemudian mengangkatnya menjadi seorang abdi.
Ken Arok yang berwajah tampan, dan bercita-cita besar ini pernah menerima sebilah keris dari seorang Empu. Ketika Ken Arok hendak melaksanakan cita-citanya, teringatlah ia pada Empu Gandring di Pasuruan.
“Sebaiknya aku menemui Empu Gandring kembali, aku ingin dibuatkan sebilah keris lagi untuk mengejar cita-citaku,” pikir Ken Arok.
Setelah keputusan dalam hatinya bulat, maka berangkatlah Ken Arok ke Pasuruan hendak menemui Empu Gandring.
Setiba di rumah Empu Gandring, Ken Arok segera memberi salam. Seorang laki-laki tua yang berusia sekitar tujuh puluh tahun, keluar mendapatkan Ken Arok.
Setelah menyilahkan tamunya duduk sang Empu bertanya, “Dari mana Anakda datang dan apa maksud kedatangan Anakda ke gubuk Bapak?”
“Sudah lupakah Bapak kepada Anakda? Anakda ini Ken Arok dari Tumapel. Dahulu Bapak pernah memberikan sebilah keris kepada hamba.”
“Oh ya, Bapak baru ingat. Maafkan Bapak, maklum umur Bapak sudah hampir tujuh puluh tahun, mata Bapak pun sudah mulai rabun, Nak.”
“Anakda sangat berterima kasih atas pemberian keris yang dahulu. Ternyata keris itu penuh tuah dan telah mendatangkan keberuntungan kepada Anak­da.”
“Syukurlah, Nak. Itu yang Bapak harapkan.”
Empu Gandring selain pandai membuat keris, beliau pun seorang penganut agama yang taat. Beliau sering bertapa dan memuja para dewa-dewa.
“Kedatangan Anakda ke sini, maksudnya hendak memohon kepada Bapak untuk membuatkan sebilah keris lagi. Apakah Bapak tidak berkeberatan?”
“Oh, sekali-kali tidak, Nak, asalkan Anakda jangan mempergunakan keris buatan Bapak untuk suatu kejahatan.”
“Terima kasih, Pak. Tapi Anakda mengharapkan keris tersebut selesai dengan cepat. Kapan kiranya ke­ris itu siap?”
“Secepat-cepatnya satu atau satu setengah tahun.”
“Ah terlalu lama, Pak. Anakda kira keris itu bisa siap dalam dua sampai tiga bulan saja.”
“Oh tak semudah itu, Nak. Untuk mendapatkan besi yang baik Bapak harus bertapa. Setelah mendapat ilham, baru Bapak mengambil besinya. Menempanya juga memerlukan waktu, sudah tentu Bapak harus berpuasa dahulu. Belum lagi untuk mencari pamornya, kemudian menghaluskannya. Semua memerlukan tapa, agar mantera dan kesaktiannya sempurna. Dalam waktu dua tiga bulan dapat Bapak pastikan tak selesai.”
“Baiklah kalau begitu, tapi janganlah Bapak menyuruh Anakda menanti begitu lama, bagaimana kalau waktunya agak dipersingkat?”
“Rupa-rupanya Anakda sudah tak sabar menunggu, baiklah Bapak akan kerjakan pesanan Anakda selekas mungkin. Tapi jangan terlalu dipastikan, barangkali dalam enam bulan bisa siap, dan barangkali juga belum siap. Bapak tak dapat menentukan waktu siapnya, Bapak harap jangan tergesa-gesa, sebab tergesa-gesa dapat berakibat kurang baik.”
“Kalau begitu baiklah, Pak . Dalam enam bulan lagi hamba datang untuk mengambil keris itu.”
“Enam bulan belum tentu selesai, Nak. Jangan Anakda menentukannya,” kata Empu Gandring.
Setelah pamitan. Ken Arok meninggalkan rumah Empu Gandring. la segera pulang ke Tumapel, sedangkan Empu Ganding termenung seorang diri. la merasa heran atas sikap Ken Arok yang memaksa membuatkan keris dalam waktu singkat.
Ken Arok tak sabar menanti enam bulan lamanya, ia sudah ingin segera mengambil keris pesanannya. Sebulan, dua bulan lalu. Tak terasa enam bulan telah lewat.
Dengan menunggang kuda, Ken Arok berangkat ke Pasuruan. Dengan tergesa-gesa ia menuju ke rumah Empu Gandring. Sikapnya tergesa sekali. Setelah mengucapkan salam, segera ia amsuk ke tempat empu Gandring bekerja.
“Bagaimana, Pak? Sudah siapkah pesanan Anakda itu?”
“Oh sayang, Nak. Keris itu belum siap. Ini sedang Bapak haluskan. Manteranya belum cukup.”
Apa? Belum siap, bukankah Bapak mengatakan dalam enam bulan keris itu akan siap? Setelah enam bulan Anakda boleh datang untuk mengambilnya!”
“Bukan begitu janji Bapak dahulu, Nak. Ingatlah baik-baik. Bapak hanya berjanji akan mengerjakanya selekas-lekasnya. Dan Bapak katakan boleh jadi dalam enam bulan akan selesai, tapi Bapak tidak memastikannya.”
“Ah, lain benar dengan perkataan Bapak dahulu,” kata Ken Arok yang mulai marah.
“sekarang juga keris itu harus siap dan Anakda bawa.”
“Tak mungkin, Anakku, keris ini belum siap benar. Manteranya belum sempurna,” kata Empu Gandring.
“Tidak bisa, saya tak dapat menunggu lagi. Bagaimana Bapak ini, seorang tua yang tak dapat dipegang janjinya. Seharusnya Bapak memberi contoh kepada kami anak muda. Sekali lagi keris itu harus selesai hari ini juga!”
Empu Gandring sangat terkejut mendengar kata-kata Ken Arok. Tapi beliau tetap sabar.
Katanya, “Anakku Ken Arok, sabarlah. Lekas marah tak baik. Seorang muda dan gagah seperti Anakda, tidak boleh pemarah sekali. Seorang pemarah bisa khilap, dan jika didengar orang lain akibatnya kurang baik….”
“Saya marah karena Bapak tidak menepati janji. Orang tua yang tak dapat dipegang janjinya. Hai Empu Gandring, sekali lagi saya katakan, keris itu harus selesai sekarang juga, mengerti?”
“Boleh kau berteriak-teriak begitu. Pasti keris ini tak akan aku berikan kepadamu. Siapa tahu kau akan mempergunakan keris ini untuk membunuh orang!”
“Apa katamu? Aku akan membunuh orang? Bagaimana mungkin aku membunuh orang dengan keris yang belum selesai? Katakan, dari siapa kau mengetahui aku akan membunuh orang? Sebelum rahasia ini meluas, lebih baik kubunuh kau!”
Ken Arok dengan marah merebut keris yang dipegang Empu Gandring. Kemudian orang tua yang malang itu ditikamnya. Empu Gandring roboh seketika. Di dadanya berlumuran darah segar.
Dengan mengacungkan keris yang masih berdarah, berkatalah Ken Arok, “Nah, inilah hadiah bagi orang yang tak menepati janji!”
Tiba-tiba tubuh Empu Gandring bangkit, tangan kanannya menunjuk ke arah Ken Arok. Dengan sinar mala yang bernyala-nyala ia mengutuk Ken Arok.
“Hai Ken Arok, kau telah membunuhku yang tak berdosa. Keris yang telah kubuat dengan susah payah kau tikamkan kepadaku. Tapi ingatlah, jiwamu pun akan melayang oleh keris itu. Camkan ini. Ken Arok.”
Sehabis mengutuki Ken Arok, tubuh Empu Gandring kembali roboh dan tak bergerak lagi. Ken Arok merasa ngeri mendengar sumpah Empu Gandring. Hatinya mulai kecut, tapi ia tak menyesali perbuatannya.
Keris itu kemudian dibawanya pulang ke Tumapel. Sehari sebelum dipergunakan untuk membunuh Tunggul Ametung, keris itu dipinjamkan kepada Kebo Ijo. Dengan keris itu Ken Arok membunuh Tunggul Ametung. Sedang Kebo Ijo yang tak tahu apa-apa ditangkap dan dituduh sebagai pembunuhnya.
Perbuatan ini diketahui oleh isteri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Melalui jalan yang berliku-liku Ken Arok dapat menikahi Ken Dedes yang sedang hamil. Tak lama kemudian Ken Dedes melahirkan anak laki-laki, yang diberi nama Anusapati. Anusapati ini adalah anak Tunggul Ametung.
Ken Arok sangat ditakuti oleh penduduk sekitar Gunung Kawi. Pada ketika itu Tumapel masih dalam kekuasaan kerajaan Kediri, yang diperintah maharaja Kertarajasa atau Dandang Gendis.
Ketika antara Dandang Gendis dan para brahmana terjadi perselisihan. Ken Arok tak menyia-nyiakan kesempatan. Ken Arok bergabung dengan brahmana, kemudian meruntuhkan kemaharajaan Kediri pada tahun 1222. Ken Arok yang semula berada di Kutaraja, setelah menjatuhkan Kediri, berkuasa penuh. Kemudian ia mendirikan ibu kota di Singosari. Kerajaannya kemudian dikenal dengan nama Singo­sari.
Ken Arok yang kini telah menjadi Rajasa, dan kekuasaannya meliputi Kediri dan Singosari, sedang duduk di istananya. la didampingi Ken Dedes, permaisurinya yang cantik. Wajah Rajasa Ken Arok yang berseri-seri, nampak sangat gagah.
Sangat berlainan dengan wajah permaisurinya Ken Dedes. la nampak murung. Wajahnya agak pucat seperti orang habis sakit. Ken Arok mengetahui hal ini.
“Adinda Ken Dedes, bagaimana perasaanmu sekarang? Bukankah adinda lebih bahagia dari pada ketika bersuamikan Tunggul Ametung?”
“Benar, Kanda Ken Arok.”
“Aku mengetahui hal itu. Dahulu kau hanya seorang isteri Akuwu, sedangkan sekarang menjadi permaisuri Rajasa Ken Arok, raja Kediri dan Singo­sari. Kandalah raja pertama dari dua kerajaan itu. Puaskah hati Adinda?”
“Puas, Kanda,” kata Ken Dedes.
“Tapi mengapa wajah Adinda kelihatan pucat dan agak murung. Sudahlah, tentang suamimu jangan kau ingat-ingat terus. Walau pun sampai hari ini belum kita ketahui pembunuhnya. Atau barangkali Adinda Ken Dedes mengetahui, siapa pembunuhnya?”
“Bagaimana hamba tahu, sedangkan Kanda sendiri tak mengetahuinya.”
“Jika saja Kanda tahu, siapa pembunuh bupati Tumapel itu, pasti akan Kanda hukum orang itu seberat-beratnya. Tapi sudahlah Adinda, tak usah hal itu memberatkan hati Adinda selalu. Lebih baik kita membicarakan hal rumah tangga kita. Anak-anak kita Anusapati dan Tohjaya sudah dewasa.”
Ken Arok memperlihatkan wajah yang kurang puas ketika mengucapkan nama Anusapati, anak tirinya. Ken Dedes melihat perubahan wajah suaminya. la juga mengerti, suaminya tidak menyukai Anusapati.
“Tentang anakku Anusapati, ada yang menyusahkan hati Kanda,” kata Ken Arok.
“Jika tidak salah, sekarang usianya telah sembilan belas tahun. Tapi mengapa ia kelihatan sangat bodoh. Membaca dan menulis tidak lancar, mengendarai kuda hampir tak pandai, dalam ilmu peperangan ia sangat kurang. Sangat berlainan dengan adiknya yang masih muda, tapi cekatan. Sebenarnya Anusapati tak pantas menjadi putera seorang Rajasa Amurwabumi Ken Arok raja Kediri dan Singosari.”
Ken Dedes diam sejenak mendengar keluhan suaminya terhadap puteranya dari Tunggul Ametung. Hatinya sakit, tapi disembunyikan saja.
“Bagaimana pun juga, Anusapati putera kita, Kanda..”
Ya sudahlah, Kanda akan beristirahat, karena besok Kanda akan berangkat ke Tulungagung untuk memeriksa keadaan di sana.”
Setelah Ken Arok masuk ke peraduannya. Ken Dedes juga masuk ke kamarnya.
Di tempat tidur ia termenung saja, dari mulutnya keluar kata-kata, “Ken Arok mengapa kau berbohong padaku, apa kau kira aku tak tahu siapa pembunuh suamiku? Dan mengapa kau kejam sekali terhadap Anusapati, apakah salahnya?”
Belum habis perkataan Ken Dedes, masuklah seorang pemuda yang berwajah suram. la adalah Anusapati.
la segera menghampiri ibunya dan berkata, “Bu, siapakah sebenarnya ayahku?”
“Ken Arok,” kata Ken Dedes.
“Ibu berdusta, jika benar ayahku Ken Arok, mengapa hanya Tohjaya yang dikasihinya. Segala ha­diah yang bagus-bagus, Tohjayalah yang menerimanya. Berterus teranglah Ibu, siapa sebenarnya ayahku?”
Ken Dedes jadi serba salah, ia terdiam. Air matanya mengalir. Ketika Anusapati melihatnya, ia terharu. Dihampirinya ibunya lebih dekat.
“Ibu menangis? Mungkin hambalah penyebabnya. Biarlah hamba pergi saja dari sini. Tadi siang ketika Anakda sedang bermain-main dengan adik-adik, tiba-tiba Ayah datang. la memarahi Anakda. Dikatakannya Anakda pemalas, bodoh dan pembohong. Betapa sakit hati Anakda!”
Mendengar kata-kata puteranya Ken Dedes tak tahan lagi, menangis dan meratap.
“Ken Arok, apakah salah Anusapati? Mengapa kau bedakan dia dengan adik-adiknya. Sudahlah, Nak, jangan menangis!”
“Bu, katakan, siapa ayahku yang sebenarnya?”
“Baiklah, Anakku! Ibu ceritakan hal yang sebenar­nya. Kau anak Ibu, tapi ayahmu bukan Ken Arok. Hanya adik-adikmu adalah anak ibu dengan Ken Arok.”
“Jadi anak siapakah saya?”
“Sabar, Anakku. Kau adalah putera Tunggul Ametung, bupati Tumapel.”
“Di manakah ayahku sekarang?”
“Beliau telah mati dibunuh orang.”
Anusapati terkejut seperti disambar petir.
Diguncangnya bahu ibunya dan berkata, “Siapa pembunuh ayahku? Katakan, Bu!”
Kembali Ken Dedes bimbang. Haruskah Anusapati tahu rahasia itu?
“Katakan, Bu, siapa pembunuhnya?”
“Ayahmu dibunuh dengan keris Empu Gandring. Jangan terkejut, pembunuhnya adalah Ken Arok sendiri!”
“Ken Arok! Jadi Ken Aroklah pembunuh ayahku! Awas kau, Ken Arok.”
“Anusapati, jangan keras-keras, nanti didengar orang!”
“Di mana keris itu sekarang, Bu?”
“Ibu tahu tempat keris itu!”
Sejak saat itu dendam di hati Anusapati semakin besar. Ken Dedes, ibunya seorang yang jujur. Ken Dedes seorang puteri pendeta Mahayana Empu Purwa, tinggalnya di pertapaan Panawijen. Dari pertapaan itulah Ken Dedes dilarikan Tunggul Ametung dan dibawa ke Tumapel.
Ken Dedes seorang ibu yang baik, ia tak membeda-bedakan cinta kasihnya terhadap anak-anaknya.
Dendam Anusapati sudah tak tertahankan lagi, ia mendesak ibunya supaya menunjukkan tempat keris Empu Gandring itu.
“Berikan keris itu pada Anakda, Bu.”
“Sabar, Nak, ibu tahu tempatnya.”
Ken Dedes segera mengambil keris Empu Gandring, dan menyerahkannya kepada Anusapati.
Diperhatikannya keris bertuah itu, sambil berkata, “Ken Arok, ayahku kau bunuh dengan keris ini, kau pun harus mati di ujung keris ini.”
Anusapati berkata dengan penuh dendam. Ken Dedes seorang ibu yang baik, ia juga harus menuntut bela atas kematian suaminya Tunggul Ametung. la tidak menyesal telah memberi tahu, siapa pembunuh Tunggul Ametung.
Hari mulai senja ketika sang Rajasa Amurwabumi Ken Arok bangun dari tidur siangnya. Rajasa Ken Arok kemudian beristirahat seorang diri di halaman belakang istananya. Beliau sedang memikirkan perjalanan yang akan dilakukan besok hari.
Anusapati telah lama menanti saat ini, ia menyelinap masuk dengan diam-diam. Ayah angkatnya diperhatikannya dari belakang. Di dalam hatinya bergolak dendam yang sukar dipadamkan.
“Aku bukan puteranya, pantas ia tidak menyayangiku!” pikir Anusapati.
Terbayanglah masa kanak-kanaknya. Pada masa itu ia selalu diperlakukan kurang adil.
“Hai, Kanda Anusapati, lihat betapa indahnya pakaianku ini,” kata Tohjaya pada suatu hari.
“Wah, benar, Dik. Indah sekali! Dari mana kau dapat?”
“Sudah tentu dari Ayahku!” jawab Tohjaya.
Anusapati merasa iri melihat adiknya berpakaian hagus, sedang ia tidak. Hatinya sangat sedih atas perlakuan ayah yang membeda-bedakan kasih. Tapi apa daya, ia hanya seorang anak. la sering mengadukan hal semacam ini kepada ibunya. Hati Ken Dedes sendiri seperti teriris sembilu rasanya.
Pada suatu hari Tohjaya kembali menghampiri Anusapati. la memperlihatkan sebuah cincin kepada kakaknya. Maksudnya hendak mengolok-olok kakaknya.
“Lihatlah, Kanda, cincin ini pemberian Ayah, katanya dari tanah Melayu,” kata Tohjaya.
Anusapati tak dapat berkata-kata lagi, hatinya terasa hancur. Bayangan ketidak adilan sang Rajasa Amurwabumi Ken Arok, seperti tergambar di hadapannya. Hatinya bergolak, darahnya mendidih, darah muda seorang pangeran yang tak mendapat kasih.
Anusapati segera menghunus keris Empu Gandring. la melompat ke hadapan sang Rajasa Amurwabumi Ken Arok dengan mata penuh dendam. Keris segera diancamkan ke arah dada Ken Arok, yang terkejut bukan main.
“Hai Ken Arok, Pembohong, Penipu, Penjahat besar! Lihatlah baik-baik apa yang aku pegang? Lihat baik-baik keris ini!”
Ken Arok undur selangkah, hatinya menjadi kecut amat sangat. la mengenali keris itu. Itu adalah kerisnya yang dipesan dari Empu Gandring. Keris itu adalah keris yang dipergunakannya untuk membunuh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.
“Kau kenal bukan, keris siapa ini?” suaranya keras penuh dendam.
Sesaat Ken Arok termangu seperti orang linglung. Hatinya sangat takut. la juga teringat akan kutukan Empu Gandring, bahwa ia akan mati di ujung keris sakti itu juga.
Dengan rnulut gemetar ia berkata kepada Anusapati yang kelihatan beringas sekali.
“Oh, ampunilah aku Anusapati! Empu Gandring, ampunilah hamba! Tunggul Ametung, ampunilah hamba,” ratap Ken Arok, seolah-olah kegagahan sang Rajasa Amurwabumi Ken Arok telah lenyap.
“Apa katamu? Lakumu tak ubahnya seperti anak kecil saja! Mana kegagahanmu! Ken Arok, ayahku telah kau bunuh! Maka sekarang kau pun harus kubunuh!”
“Maafkan aku Anakku, Anusapati!”
“Sekarang kau menyebut-nyebut anakku! Mana kasih sayangmu kepadaku? Kau katakan aku tolol! Kau katakan aku pembohong dan tak berguna! Kau perbedakan aku dengan adik-adikku!”
“Ampun, Anusapati! Aku berjanji tidak akan berbuat serupa itu kembali….!”
“Tidak, siapa yang berhutang harus membayar! Hutang darah harus dibayar dengan darah! Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa!”
Ken Arok yang tak berhasil membujuk Anusapati, mulai ketakutan! Tubuhnya menggigil! Keringatnya mengalir dengan deras! Kakinya terasa lemas. la akan mencoba melarikan diri.
Tapi tiba-tiba Anusapati berseru, “Nah, rasakan pembalasanku!”
Keris Empu Gandring ditikamkan ke dada sang Amurwabumi. Keris bertuah itu tertanam dalam dada sang Amurwabumi. Dan matilah Ken Arok, seperti kutukan Empu Gandring.
Anusapati segera pergi meninggalkan mayat Ken Arok yang tergeletak di belakang istananya yang megah. Anusapati mendapatkan ibunya.
“Musuh kita telah kubunuh, Bu!” kata Anusapati dengan napas masih tersengal-sengal.
Ken Dedes memejamkan matanya, ia mengucap syukur pada dewata. Sakit hatinya telah terbayar, tapi sang ibu masih mempunyai perasaan was-was. Takut kalau-kalau perbuatan puteranya dilihat orang.
Setelah sang Rajasa Amurwabumi Ken Arok wafat, kerajaan Singosari dan Kediri diperintah oleh Anusapati yang segera naik tahta. Kemudian ternyata kelak, bahwa keris Empu Gandring yang sakti itu masih meminta banyak korban. Anusapati sendiri kemudian terbunuh dengan keris itu.

TAMAT

No comments:

Post a Comment