Pages

Thursday, July 1, 2010

Friedel, Si Pelamun - 4 Cerita Sebelum Tidur

Friedel, seorang anak laki-laki, sedang duduk seorang diri di dalam kelas. Sebentar-bentar mulutnya terbuka seakan-akan mau menelan habis buku tulis di depannya. Lalu matanya berair. Hatinya sedih bercampur jengkel.

Memang ia sedang dihukum lagi. Sudah sering dia diperingatkan agar tidak melamun di kelas. Tapi masih juga ia melamun.

Di depannya terletak buku tulisnya. Tangan dan jarinya sudah pegal. Dia membaca apa yang tertulis di bukunya itu, aku tak boleh melamun di dalam kelas.

Sudah dua puluh kali ia menulis kalimat ini. Ia harus menulis kalimat itu tiga puluh kali lagi.

Alangkah menjemukan! Sedang di luar matahari bersinar dengan hangatnya. Tiba-tiba seekor lalat yang besar terbang masuk melalui jendela. Lalu berputar-putar mengelilingi kepala anak ini.

"Alangkah baiknya jika lalat ini sebuah kapal terbang! Akan segera kunaiki dan terus terbang ke tempat yang jauhhhh....," demikian pikir Friedel.

"Kau sudah bermimpi lagi, Friedel!" ujar lalat itu lalu hingga di meja.

"Berani bersumpah aku tak bermimpi!" jawab Friedel tersinggung.

"Hah...., apa yang kau pikirkan baru-baru ini?" tanya lalat itu lagi.

Kedua matanya yang besar seakan-akan tertawa dan tubuhnya yang seperti baja itu berkilau.

"Aku pikir alangkah senangnya kalau kau sebuah kapal terbang!"

"Memang aku benar-benar sebuah kapal terbang," ujar lalat besar itu.

"Coba lihat!"

Memang di punggungnya ada kabin kecil dengan pintu dan jendela kecil-kecil.

"Boleh aku naik?" tanya Friedel bersemangat.

"Naiklah!" jawab lalat.

"Kita akan terbang berkeliling. Tapi ingat, kau tidak boleh takut!"

Tanpa banyak pikir, anak ini melompat ke dalam kabin. Dengan suara menderu-deru mereka terbang keluar melalui jendela sekolah. Mereka terbang tinggi melintasi padang-padang luas, hutan-hutan, sungai-sungai, melewati puncak-puncak gunung yang tinggi serta lembah-lembah yang dalam.

Akhirnya tibalah mereka ke atas laut yang biru luas. Hati Friedel berdebar-debar. Ia agak takut.

"Wah, bagaimana bisa kembali ke kelas dan kapan kuteruskan lagi menulis tiga puluh kalimat itu?" demikian pikirnya.

"Tapi sepatah pun ia tak mau berkata agar tak menjengkelkan lalat itu. Bukankah dia sendiri yang memintanya? Karena menginginkan perjalanan udara itu?

Dia melihat ke bawah dan permukaan laut yang maha luas itu membuat kepalanya pening. Hatinya agak terhibur tatkala nampak sebuah pulau di arah depan.

Tatkala mendarat di pulau itu, lalat itu memerintah, "Turunlah!"

Lalu ia berjalan di depan Friedel dengan langkah-langkah yang berat, dan membawanya langsung ke tempat Walikota.

Di sana berkumpul banyak orang. Nampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu. Mereka duduk mengelilingi meja besar. Mereka adalah para penasehat negeri itu. Wajah-wajah mereka nampak murung.

Ketika Friedel sampai, mereka memberi hormat dengan ramah. Mereka juga menanyakan namanya, dari mana asalnya dan berapa usianya.

Tiba-tiba serempak mereka bertanya, "Kau bisa berenang?"

"Tentu!" jawab Friedel dengan bangga.

"Kau takut air?" tanya mereka lagi dengan bersemangat.

"Sama sekali tidak," jawabnya lagi.

Para penasehat itu lama berdiam diri seraya memperhatikannya. Sebaliknya anak ini pun memandang terheran-heran kepada Walikota dan para penasehat di sekelilingnya. Sungguh, bentuk badan mereka sangat aneh.

Kepala mereka bundar seperti tempurung kelapa, badan mereka tak beda dengan bentuk ember, tangan dan kakinya sangat pipih nampaknya. Topi-topi lebar berujung lancip menutupi kepala mereka. Setiap mereka bergerak selalu terdengar bunyi-bunyi berkeresek.

Dan anehnya, mereka takut angin. Walaupun tidak ada pintu atau jendela yang terbuka, setiap kali ada saja di antar mereka yang berteriak, "Tutup pintu dan jendela, ada angin!"

Sekarang wajah-wajah mereka kelihatan ketakutan dan sedih. Pasti mereka sedang memperbincangkan sesuatu masalah yang gawat.

Ia minta dengan hormat agar di ijinkan duduk menunggu di pojok ruangan agar tak mengganggu sidang mereka.

Sesaat kemudian, Walikota membawa sebuah buku bergambar yang bagus lalu memperlihatkannya kepada Friedel. Salah seorang meletakkan sebuah baki besar penuh manisan di depannya. Kemudian mereka berbisik lagi dengan sedih.

Bahkan wajah Walikota menjadi mendung, lalu air mata menggenang di sudut matanya.

"Ah, apa yang sedang terjadi?" pikir Friedel.

Karena ia tidak dapat mendengar pembicaraan mereka, maka dia menunduk lagi dan melihat-lihat buku gambar sambil makan manisan.

Sejenak kemudian mereka menoleh pada Friedel. Ia jadi cemas, mungkinkah ada salahnya?

Cepat-cepat ia menutup bukunya. Tapi dengan suara lembut, Walikota itu memanggilnyaa dan meminta agar ia bersedia ikut dalam pembicaraan mereka.

Setelah duduk bersama mereka, semua diam kembali. Yang kedengaran hanya tarikan-tarikan napas panjang.

Walikota bangun berdiri lalu berkata, "Friedel yang baik! Karena kau bisa berenang dan tak takut pada air, maukah kau bantu melepaskan benana yang menimpa negeri kami ini?"

Friedel merasa heran dan malu. Lalu ia bangkit berdiri dan dengan sopan berkata, "Dengan senang hati. Apa yang bisa kubantu?"

Kembali semua menarik napas panjang dan Walikota pun berkata, "Hai Penasehat Pencatat sejarah, ceritakanlah kemalangan kita!"

"Friedel yang baik. Negara kami sangat teratur. Semua undang-undang negeri kami, kami tulisi dengan huruf indah di sebuah gulungan kertas. Gulungan itu kami letakkan di atas meja ini. Dengan begitu setiap kali kami bisa membacanya agar tidak melupakan pasal demi pasal.

Beberapa waktu yang lalu, sebuah jendela terbuka. Seekor burung yang jahat sekonyong-konyong terbang ke dalam. Dengan buas dia mematuk-matuk gulungan undang-undang kami itu.

Malanglah bagi kami, karena gulungan undang-undang itu dibawanya terbang ke lalu. Di tengah laut gulungan kertas itu dijatuhkan. Gulungan penting itu melayang-layang diterbangkan angin dan masih untung tersangkut ke sebuah batu karang.

Walaupun masih ada di sana, kami tak dapat berbuat apa-apa. Kami tak berdaya mendapatkannya kembali. Sekarang, sedikit demi sedikit kami mulai lupa pada peraturan-peraturan yang tertulis di situ. Dan dalam waktu dekat pasti kami lupa semuanya."

Penasehat berdiam diri, lalu kembali semua menarik napas dalam-dalam.

"Dan apa yang harus aku kerjakan?" tanya Friedel.

"Karena kau tak takut air dan pandai berenang, maka kau bisa naik sampan ke sana dan mengambilnya," kata Walikota itu.

"Tapi itu khan bisa kalian lakukan sendiri, bukan?"

Kata-kata Friedel ini sangat mengejutkan mereka. Serempak mereka berteriak dengan wajah pucat pasi, "Kami? Kami sendiri? Bagaimana kalau sampan itu terbalik?"

"Apa tak ada yang bisa berenang?"

"Tak seorang pun bisa!" teriak mereka.

"Mengapa begitu?" tanya Friedel.

"Kami akan hancur!" jawab mereka.

"Hancur?" suara anak ini hampir-hampir tak terucapkan.

Akhirnya ia bertanya dengan gugup, "Tapi...., mengapa hancur?"

"Ya, karena kami terbuat dari kertas....!" jawab mereka.

Friedel seolah-olah gagu, tak jadi mengucapkan sepatah kata pun. Dia cuma tertegun seperti disambar petir.

"Kau sudah mengerti bukan?" tanya mereka tak sabar.

"Aku baru mengerti!"

"Kalau begitu, marilah!" seru Walikota.

Maka masing-masing pun tergopoh-gopoh mengambil kantong-kantong besar lalu menggantungnya di leher. Mereka lalu berangkat ke jalan raya.

"Apa yang ada dalam tas kalian itu?" tanya Friedel.

"Batu," jawab mereka.

"Kalau tidak demikian, kami diseret angin!"

Untuk pertama kalinya Friedel melihat mereka gembira. Tawa dan obrolan tak putus-putus sepanjang jalan, sehingga Friedel dalam hatinya memutuskan bagaimanapun akan mengambil kembali gulungan itu.

Pantai sudah dekat. Tapi belum lagi mencapai tepinya, mereka berhenti.

"Sayang sekali, Friedel. Kami tak bisa terus menemani lebih jauh. Badan kami bisa kena ombak. Lihatlah batu karang di tengah-tengah laut itu. Di pinggir pantai tertambat sebuah sampan. Beberapa prajurit kami akan mengantarkan sampai ke situ. Semoga kau berhasil membawa pulang gulungan undang-undang kami!"

Mereka pun berpamitanlah dengan khidmat sekali sehingga ia merasa ngeri. Tapi setelah ia sampai ke sampan, ia melihat jarak ke batu karang itu dekat sekali.

Ia terpaksa ketawa melihat takutnya mereka itu. Disertai tepuk tangan dan sorak sorai gegap gempita, dia meninggalkan pantai. Dalam waktu singkat ia mencapai tempat tujuan. Gulungan kertas itu nampak di celah karang.

Friedel memungutnya dan melompat lagi ke dalam sampan. Sementara itu semua penduduk telah berbondong-bondong menantinya di pantai. Tempik sorak dan pekik-pekik sukacita terdengar semakin jelas tatkala mereka melihat Friedel sudah dekat.

Dia makin mendekati pantai. Beberapa laki-laki menyongsongnya sampai ke tepi air. Seorang di antaranya yang paling muda tak menghiraukan peringatan-peringatan dari yang tua-tua. Tiba-tiba sebuah gelombang kecil menyeret dan menelentangkannya.

Sekejap saja ia sudah datar dengan permukaan air, terayun-ayun tak berkutik. Teriakan dan jeritan wanita-wanita sangat menyayat hati. Orang-orang hanya melihat saja dengan ngeri.

Tapi Friedel segera menangkap kakinya dan menyeretnyaa ke atas. Pemuda yang malang itu segera dijemur di panas matahari. Dokter mereka pun segera tiba, lalu memeriksanya. Menurut keterangan beliau, jiwa korban dapat diselamatkan. Hanya sayang bentuk badannya sama sekali berubah. Tidak lagi bulat indah seperti sediakala, tapi jadi pipih.

Mereka berpesta untuk menghormati kepahlawanan Friedel dan peristiwa maha penting itu. Dari kertas warna-warni mahluk-mahluk aneh ini dapat membuat bentuk-bentuk meriah aneka ragam seperti singa-singaan, pohon-pohonan, bunga-bungaan, matahari, bulan dan lain-lain sebagainya.

Kemudian diarak-araklah mainan-mainan aneka corak itu di sepanjang jalan.

Akhirnya tibalah acara yang menurut mereka paling penting.

Dari kejauhan sebuah barissan panjang bergerak dengan khidmatnya. Itulah pawai inti untuk menghormati peristiwa kembalinya gulungan kertas undang-undang yang hilang.

Dua orang di depan barisan itu melangkah dengan gagahnya. Gulungan kertas lebar terpancang di ujung dua batang bambu yang masing-masing dipegang oleh dua orang itu.

Di kertas besar itulah tertulis undang-undang yang pernah hilang itu dengan tulisan-tulisan besar dan indah.

Setiap orang membacanya dengan jelas:
1. Hati-hati terhadap angin!
2. Hati-hati terhadap api!!
3. Hati-hati terhadap air!!!

Friedel tercengang....
Betapa tidak! Hanya tiga kalimat sederhana itu saja tuan-tuan penasehat negeri ini sudah kelabakan?

Apakah mereka tidak sekolah sehingga mereka demikian bodoh? Apa yang akan dikatakan gurunya di sekolah kepada mereka itu? Pasti setiap hari mereka mendapat hukuman lima puluh kali menulis kalimat-kalimat itu! Pasti!

Friedel menggeleng-gelengkan kepalanya memikirkan semuanya itu. Alangkah bodohnya mereka. Tiba-tiba ia sendiri teringat akan tulisannya di kelas yang belum selesai dikerjakan itu.

"Aku harus cepat pulang! Harus....!" teriaknya keras-keras.

"Tinggallah dengan kami!" pinta Walikota dengan sedih.

"Kami tetap akan menghormatimu dan selalu akan menyayangimu. Kau bisa banyak membantu kami."

"Tidak! Aku harus cepat pulang!" teriak Friedel berkeras.

Sekonyong-konyong lalat besar itu datang mendengung-dengung. Tanpa pikir panjang, Friedel melompat ke dalam kabin. Sebelum sempat mengucapkan "Selamat tinggal", lalat besar itu sudah menembus awan.

Hatinya sangat gembira tatkala mereka meluncur melalui jendela sekolah dan mendarat lagi. Tiba di dalam kelasnya, timbullah semangatnya. Dia meraih bukunya untuk melanjutkan tulisannya.

Dia akan menyelesaikan hukuman itu secepat-cepatnya. Setelah itu, ia takkan melamun lagi di kelas. Ia akan belajar baik-baik. Ia tak mau bodoh seperti mahluk-mahluk aneh itu.

No comments:

Post a Comment