in a book
and you will see
words
and magic
and mystery.
A look for adventure, exciting, intense
With mystery unfolding and growing suspense.
Books
Bind folks
With friendship’s bands.
Kedua temannya setuju dan mereka berangkat ke sana bersama-sama.
Sewaktu sampai di kebun pisang, Kera berkata, “Hanya aku saja yang dapat memanjat. Aku akan memanjat pohon pisang itu dan melemparkan pisangnya ke bawah. Masing-masing mendapat bagian yang sama.”
Pelanduk melompat-lompat di tebing sungai sambil membuat suara gaduh sekali. la sedang memperhatikan lumpur di pantai yang menandakan air akan surut.
“Mengapa kau terlalu gembira?” tegur Raja Buaya yang sedang berendam dan dengan pandainya menyembunyikan tubuhnya dalam lumpur. Hanya mata dan moncongnya saja yang kelihatan.
“Jawablah, apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan kupenggal.”
Tetapi Timur Lenk berkata, “Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya.”
“Nasrudin,” katanya suatu hari, “Setiap khalifah di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah. Misalnya: Al-Muwaffiq Billah, Al-Mutawakkil ‘Alallah, Al-Mu’tashim Billah, Al-Watsiq Billah, dan lain-lain. Menurutmu, apakah gelar yang pantas untukku ?”
“Nasrudin! Kalau setiap benda yang ada di dunia ini ada harganya, berapakah hargaku?”
“Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika, …”
“Menjauhlah engkau, hai mullah!” teriak pengawal. (Nasrudin dikenali sebagai mullah karena pakaiannya)
“Api! Api! Api!”
Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasrudin berkomentar, “Aku rasa engkau benar.”
“Oh kasih yang agung.
Seluruh diriku terselimuti olehMu.
Segala yang tampak oleh mataku.
Tampak seperti wujudMu.”
“Sedang apa kau, Nasrudin ?”
“Yah,” kata sang Mullah, “Bisa saja terjadi tanpa kita diberi tahu.”
“Tidakkah ini sayuran terbaik di dunia, Mullah ?” tanya raja kepada Nasrudin.
“Teramat baik, Tuanku.”
“Aku tak yakin itu dapat dilaksanakan,” kata seorang pendengar yang skeptik.
“Tapi pernahkah engkau mencobanya ?” balas sang filosof.
Seseorang protes, “Tapi penemunya tentu tidak akan mengembalikan sorbanmu. Hadiahnya tidak sebanding dengan harga sorban itu.”
“Nah,” kata Nasrudin, “Kalau begitu aku tambahkan bahwa sorban itu sudah tua, kotor, dan sobek-sobek.”
“Empat puluh tahun.”
“Tapi beberapa tahun yang lalu, kau menyebut angka yang sama.”
“Aku konsisten.”
“Kebenaran,” ujarnya “adalah sesuatu yang berharga. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material.”
“Tapi aku mengabdi kepada Allah saja,” kata Nasrudin.
“Kau tahu,” katanya pada Nasrudin, “Ada sebuah negeri yang aneh. Di sana udaranya panas bukan main sehingga tak seorangpun yang mau memakai pakaian, baik lelaki maupun perempuan.”
Nasrudin senang dengan lelucon itu. Katanya, “Kalau begitu, bagaimana cara kita membedakan mana orang yang lelaki dan mana yang perempuan?”